Archive for April 20th, 2012

KARTINI-KARTINI DALAM GEREJA


KARTINI-KARTINI DALAM GEREJA *)

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS **)

Pada tanggal 21 April setiap tahun, kita memperingati HARI KARTINI. Pada tanggal istimewa tersebut para perempuan Indonesia, tua-muda, baik di sekolah maupun ditempat-tempat kerja mereka hampir semuanya mengenakan kebaya atau busana lainnya yang dapat dikategorikan sebagai “pakaian nasional”. Kegiatan-kegiatan khusus juga dilakukan oleh komunitas-komunitas kaum perempuan guna memperingati hari yang istimewa ini.

Raden Ajeng Kartini dan cita-citanya

Siapakah Kartini ini? Kartini atau lengkapnya Raden Ajeng Kartini (1879-1904) adalah puteri Raden Mas Adipati Sasraningrat dari Jepara, salah seorang bupati Jawa yang paling maju. Sang bupati mengirim puterinya ini untuk memasuki sekolah rendah Eropa pada masa kebanyakan bupati memiliki pandangan, bahwa gagasan atau ide mengenai pendidikan kaum perempuan sama sekali tidak dapat diterima. Kartini adalah seorang gadis yang luar biasa, dalam arti dia mempunyai suatu harapan bahwa pada suatu hari kelak dia dapat memberikan sumbangan bagi semakin cerahnya masa depan kaum perempuan. Dia menikah dengan seorang bupati lain yang juga progresif, yaitu Raden Adipati Arya Djajadiningrat dari Rembang, namun sungguh tragis dia wafat pada usia yang relatif muda (25 tahun), beberapa hari sesudah melahirkan anaknya yang pertama.

Cita-cita Kartini mengenai pendidikan kaum perempuan didukung oleh J.H. Abendanon, yang pada waktu itu menjabat direktur pendidikan “Etis” yang pertama (1900-1905). Cita-cita kedua orang tersebut tidak pernah mendapat prioritas pemerintah Hindia Belanda, terutama karena pengaruh para bupati yang konservatif dan pejabat-pejabat kolonial yang skeptis. Pada tahun 1911, Abendanon memberikan penghargaan pribadi kepada Kartini dengan menerbitkan surat-surat Kartini yang mengharukan, yang ditulis Kartini kepada Nyonya Abendanon dan juga kepada orang-orang lain antara tahun 1899 dan 1904 dengan judul Door duisternis tot licht (Dari gelap terbitlah terang). Ide Kartini mengenai pendidikan kaum perempuan mendapat tanggapan dari organisasi-organisasi non-pemerintah. Pada tahun 1913, di negeri Belanda didirikan sebuah yayasan swasta yang bernama “Kartini Fonds”, yang bertujuan mengurusi pendidikan bahasa Belanda bagi kaum Jawa, dan kemudian pemerintah kolonial memberikan subsidi. Sekolah-sekolah Kartini yang didirikan oleh yayasan ini di Jawa memainkan peranan yang penting pada masa-masa setelah itu. Kartini sendiri dikenang sebagai seorang tokoh emansipasi kaum perempuan yang pertama di Indonesia dan tokoh kebangkitan nasional.

Kartini-Kartini dalam Gereja

Sepanjang sejarah Gereja yang berumur sekitar 2.000 tahun ini memang ada banyak sekali tokoh perempuan yang menonjol. Untuk tulisan ini saya akan ambil beberapa pribadi saja dari daftar panjang puteri-puteri terbaik Gereja, entah dalam hal kesucian hidupnya, kepeloporannya dalam hal pembaharuan gereja, menjadi pembawa damai, pekerja sosial, perawat pendidik, melayani orang-orang miskin dan tersisihkan, ada pula yang mistikus dan berperan sebagai nabiah pada zamannya, dan lain sebagainya. Ada yang biarawati, ada yang awam. Ada yang ratu, keturunan bangsawan, ada pula yang berasal dari keluarga miskin. Ada yang berpendidikan, ada pula yang berlatar pendidikan ala kadarnya, malah ada yang buta huruf. Namun common denominator (angka sebutan senama)-nya adalah kesucian hidup mereka.

Santa Klara dari Assisi (1193-1253). Menjelang kelahirannya sang ibu pergi untuk berdoa di gereja. Di situ dia mendengar suara yang mengatakan: “Jangan takut, karena engkau akan dengan sukacita membawa suatu sinar cahaya terang-benderang yang akan menerangi dunia.” Oleh karena itu bayi yang dilahirkan itu dinamakan Chiara, artinya “yang bercahaya” dalam bahasa Italia. Dalam keluarga besar Fransiskan, Santa Klara dari Assisi dikenal sebagai pengikut terbaik Santo Fransiskus dari Assisi. Namun sebelum berjumpa dengan Fransiskus dia sudah dipandang sebagai seorang gadis muda yang suci karena ketaatannya, kemurahan-hatinya, cintakasihnya kepada orang-orang miskin dan kehidupan doanya yang mendalam. Ketika orangtuanya berencana menikahkan Klara, dia minta nasihat dari Fransiskus. Tidak lama kemudian dia mempersembahkan dirinya kepada Allah dan mengikuti jalan kesempurnaan seperti diajarkan oleh Fransiskus. Mula-mula Fransiskus memberi nasihat kepadanya untuk diam di sejumlah biara, namun pada akhirnya memindahkannya ke gereja kecil San Damiano yang telah diperbaiki. Klara diam dalam biara di situ dalam hidup kemiskinan dan pertobatan … untuk 42 lamanya.

Klara yang puteri bangsawan itu adalah pendiri Ordo II dalam lingkup keluarga Fransiskan, yaitu Ordo Suster-suster Klaris (Inggris: Poor Clares). Dua orang adiknya dan ibunya yang sudah menjanda juga bergabung dalam ordo para suster kontemplatif ini. Salah seorang adiknya, Agnes, juga kemudian diangkat Gereja menjadi seorang kudus (santa). Peraturan hidup yang ditentukan oleh Sri Paus untuk ordonya adalah menurut aturan Benediktin, tetapi Klara terus berjuang agar komunitas suster-susternya itu hidup menurut peraturan hidup yang lebih keras (dalam hal penghayatan hidup kemiskinan) daripada yang ditentukan Paus itu. Dua hari sebelum Klara wafat, Paus Innocentius IV memberikan persetujuan atas peraturan hidup para suster Klaris yang lebih keras itu. Sri Paus datang sendiri dari Perugia ke biara San Damiano. Hal itu sangat membahagiakan Klara yang sudah dalam keadaan sekarat itu. Alkisah, Klara meninggal dunia sambil memegang dokumen dari Paus tersebut.

Klara dikanonisasikan sebagai orang kudus oleh Paus Alexander IV pada tahun 1255, hanya dua tahun setelah kematiannya. Pada tahun 1958 Paus Pius XII mengangkat Santa Klara sebagai orang kudus pelindung televisi. Bersama bapa rohaninya, Fransiskus, Klara mau mengikuti jalan perendahan diri Allah dalam diri Yesus Kristus (Flp 2:6-11). Fransiskus adalah putera seorang pedagang kaya dan Klara adalah puteri bangsawan. Keduanya memilih jalan perendahan dan hidup miskin, seperti Guru mereka, Yesus Kristus, Sang Firman yang menjadi Manusia (Yoh 1:14). Setiap tanggal 24 Juni di Assisi dirayakan suatu perayaan keagamaan untuk mengenang penuh-syukur peranan syafaat Santa Klara sekitar tahun 1230 untuk keselamatan kota Assisi terhadap serbuan tentara Kaisar Frederick II yang membawa-serta pasukan muslim yang berjumlah 20.000 orang. Memang sepanjang sejarah Gereja selalu ada para perempuan yang menginginkan Allah sebagai satu-satunya milik mereka. Mereka dengan penuh sukacita melepaskan segala yang dimilikinya di dunia agar dapat hidup secara paling sederhana. Itulah yang dilakukan oleh para suster Klaris yang sejati. Sekarang para suster Klaris berada di banyak negara di seluruh dunia, menepati peraturan hidup yang disusun Santa Klara dalam jalan menuju persatuan dan kesatuan dengan-Nya.

Santa Katarina dari Siena (1347-1380). Orang kudus ini adalah seorang dari dua orang perempuan yang bergelar Pujangga Gereja (yang seorang lagi adalah Santa Teresa dari Avila). Mengenai orang kudus dari Italia ini, berikut ini saya mengutip apa yang ditulis oleh Rhonda Chervin (dalam Mary Neil OP & Ronda Chervin, GREAT SAINTS GREAT FRIENDS): “Cerita tentang Katarina dari Siena, meskipun kurang dikenal dibandingkan dengan cerita tentang Santo Fransiskus dari Assisi, adalah cerita yang spektakular, penuh semangat dan membuat dirinya disayangi. Siapa yang tidak akan merasa takjub membaca tentang seorang perempuan yang diangkat menjadi seorang Pujangga Gereja, yang tadinya buta huruf sampai diajar membaca oleh Yesus sendiri?” (hal. 39).

Katarina adalah anak ke 24 dari Jacopo dan Lapa Benincasa, orang ‘biasa-biasa’ saja. Saudara kembarnya meninggal sesaat setelah dilahirkan, oleh karena itu ada buku-buku yang mengatakan bahwa dia adalah anak ke 23. Anak ini bertumbuh sebagai gadis yang pintar, penggembira, keras kepala, dan sangat religius. Alkisah, dia mengecewakan ibunya dengan memotong rambutnya dalam rangka protesnya kepada sang ibu karena merasa terlalu didesak untuk mempercantik penampilannya dengan harapan dapat menarik seorang calon suami. Namun ayahnya, dengan penuh pengertian menyediakan sebuah ruangan untuk Katarina sendiri agar dia dapat berdoa dan bermeditasi dengan leluasa. Ketika berumur 12 tahun Katarina mengucapkan kaul keperawanan. Dalam hidup doanya, Katarina sering mengalami penglihatan-penglihatan dan mendengar suara-suara. Untuk mempersiapkan dirinya menjadi anggota Ordo III Dominikan, dia mengurung dirinya selama tiga tahun di bawah bengkel ayahnya. Dia keluar dari isolasinya pada tahun 1366 guna menanggapi dorongan untuk – dalam nama Kristus – melayani orang-orang sakit dan dipenjara. Dia juga melakukan evangelisasi, menjelaskan bahwa keberanian diperlukan seseorang apabila mau mengikuti jejak Kristus di dunia.

Sebagai seorang mistikus, Katarina mempunyai banyak pengalaman rohani yang berpuncak pada rasa sakit sama seperti yang dialami Yesus di kayu salib (stigmata). Akan tetapi gejala-gejala itu tidak terlihat dari luar. Pengalaman-pengalaman mistik Katarina menginspirasikan Buku tentang Doktrin Ilahi, yang dinilai berisikan tulisan-tulisan tentang mistisisme Kristiani paling besar di abad ke 14. Semua tulisan Katarina dipenuhi dengan kesadaran akan cintakasih dan pengampunan Kristus. Dia bercakap-cakap dengan Allah, yang mengatakan kepadanya hal-hal seperti mengapa orang-orang Kristiani harus mengasihi sesama mereka: “Jiwa yang mengenal Aku langsung berkembang untuk mengasihi sesamanya, karena dia melihat bahwa Aku mengasihi sesama itu dengan cara yang tak terlukiskan, jadi dia sendiri mengasihi obyek di mana dilihatnya Aku telah mengasihi lebih lagi. Dia juga akan lebih lanjut mengetahui bahwa dia tidak ada gunanya bagi-Ku dan bagaimana pun tidak dapat membayar kembali kepada-Ku cintakasih murni dengan mana dia merasakan dirinya dikasihi oleh-Ku, dengan demikian dia berusaha untuk membayar kembali itu melalui medium yang telah Kuberikan kepadanya, yaitu sesamanya, yang adalah medium yang melaluinya kamu semua dapat melayani Aku” (Lawrence G. Lovasik SVD, BEST – LOVED SAINTS, hal. 99).

Kesucian hidup Katarina menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat dan membawa banyak sekali pertobatan. Cerita-cerita mengenai penglihatan-penglihatan spiritual dan karya amalnya menarik sekelompok sahabat-pengikut yang dikenal sebagai Caterinati yang selalu mengikuti ke mana saja Katarina pergi. Menjelang usia 30 tahun, Katarina menjadi juru damai antara penguasa Firenze dan Negara Kepausan. Pada tahun 1378 Katarina dengan sekitar 24 orang pengikutnya berangkat ke Roma untuk mencoba membantu Paus Urbanus mengatasi masalah skisma kepausan. Pada waktu itu ada dua orang anti paus, hal mana memecah-belah Gereja Barat ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Meskipun dia banyak melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial dan politik zamannya, yang patut dicatat adalah kesuciannya, kepercayaannya yang penuh keyakinan akan perlunya persatuan dan kesatuan umat Kristiani dan keselamatan sesama manusia. Katarina meninggal dunia pada usia 33 tahun, tidak bedanya dengan Tuhan dan Gurunya yang sangat dikasihinya. Dia adalah salah seorang yang paling populer dari semua orang kudus perempuan yang memiliki karunia profetis (kenabian).

Santa Jeanne d’Arc (1412-1431). Jeanne d’Arc (Inggris: Joan of Arc) yang dikenal juga sebagai Jeanne la Pucelle (Yoana si bocah cilik) adalah gadis desa yang buta huruf. Nama Jeanne termasyhur di dunia Kristiani dan non-Kristiani karena perannya yang unik dalam sejarah Eropa. Jeanne dibesarkan seperti gadis-gadis desa lainnya di Domrémy, Perancis. Meskipun tidak pernah belajar membaca dan menulis, Jeanne hafal benar kata-kata dalam “Syahadat Para Rasul”, doa “Bapa Kami”, dan doa “Rosario”. Sebagai seorang perempuan, Jeanne juga mahir dalam menjahit dan menenun. Semua penduduk desanya mencintai Jeanne untuk kelemah-lembutan dan kesalehan anak gadis ini. Jeanne adalah seorang anak yang taat kepada orangtua dan tidak pernah menyusahkan orangtuanya sampai dia berumur 13 tahun.

Sejak saat itu Jeanne mendapat penglihatan-penglihatan, merasakan adanya dorongan-dorangan batin dalam bentuk suara-suara yang memanggil dan mengusik hatinya untuk menyelamatkan negeri Perancis, khususnya untuk menolong pemulihan Pangeran Charles VII yang lemah, tak dapat diharapkan, namun suka berfoya-foya, agar memegang pemerintahan Perancis yang memang haknya, yang selama itu dipegang oleh orang-orang Inggris dan orang-orang Burgundia. Menurut Jeanne suara-suara yang didengarnya itu berasal dari Santo Mikael Malaikat Agung, Santa Katarina dan Santa Margareta. Suara-suara itu mendesak Jeanne untuk pergi menghadap Pangeran Charles VII agar memerangi orang-orang Inggris dan Burgundia dengan lebih serius. Setelah tiga tahun berjalan, barulah Jeanne diperkenankan menghadap sang pangeran. Pada pertemuan pertama itu Jeanne mengenakan pakaian layaknya seorang laki-laki. Hal ini dilakukannya bukan agar kelihatan maskulin, melainkan untuk melindungi keperawanannya terhadap nafsu-berahi para serdadu. Setelah diuji oleh para teolog yang hadir, akhirnya Jeanne dapat meyakinkan sang pangeran dan pejabat-pejabat Gereja yang hadir, bahwa misinya berasal dari Allah sendiri.

Kepada Jeanne dipercayakan komando atas pasukan Perancis yang akan terjun ke arena pertempuran. Pataka-nya bertuliskan kata-kata “Yesus, Maria”. Pertempurannya yang pertama adalah dengan pasukan Inggris yang sedang mengepung Orleans. Hasilnya sukses besar bagi pihak Perancis, disusul kemudian dengan kemenangan-kemenangan di Patay dan Troyes. Charles VII pun kemudian dimahkotai sebagai raja Perancis. Situasi konflik bersenjata sebenarnya menguntungkan pihak Perancis, namun angkatan bersenjata Perancis tidak memanfaatkan situasi yang menguntungkan tersebut. Di Compiegne pasukannya menderita kekalahan. Jeanne dikhianati dan ditangkap oleh pasukan Burgundia, lalu dia pun dijual kepada pihak Inggris. Raja Charles VII samasekali tidak terketuk hatinya untuk menolong Jeanne. Setelah 9 bulan lamanya meringkuk dalam penjara, Jeanne diseret ke pengadilan uskup Beauvais dengan tuduhan pokok melakukan praktek sihir dan takhyul. Dalam persidangan yang berlangsung sampai 15 kali itu, Jeanne membela dirinya dengan berani dan cemerlang, bahkan pada kesempatan itu pun dia mampu berdebat dengan para penuntutnya yang umumnya adalah para cendekiawan. Jeanne selalu menolak tuntutan untuk mengungkapkan “suara-suara surgawi” yang didengarnya. Berdasarkan tuduhan palsu, akhirnya Jeanne dinyatakan bersalah. Ia diserahkan kepada penguasa sipil dan dibakar hidup-hidup di depan umum. Seperti Guru dan Tuhannya, Jeanne menemui ajal karena tuduhan palsu dan pengadilan agama, yang tanpa malu-malu menjual kebenaran untuk tujuan politik Inggris. Ia menyerahkan nyawanya kepada Yesus. Salah seorang petinggi Inggris yang hadir menyerukan sebuah penyesalan terlambat: “Kita kalah, kita telah membakar seorang kudus!” Kemudian para anggota keluarganya mendesak agar kasus Jeanne diteliti ulang.

Duapuluh lima tahun sesudah pelaksanaan hukuman mati itu, Paus Kalistus III menunjuk suatu komisi untuk meneliti keputusan pengadilan itu. Akhirnya dinyatakan, bahwa keputusan itu dibuat berdasarkan rekayasa busuk. Jeanne dikanonisasikan oleh Gereja pada tahun 1920. Ia dinyatakan kudus, bukan karena patriotisme atau keberaniannya berperang, melainkan karena kesalehan hidup dan kesetiaannya dalam memenuhi apa yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Pertanyaannya bagi kita, putera-puteri bangsa dan Gereja: Bersediakah kita hidup dan mati demi mengikuti suara hati kita yang unik, yang sudah diteguhkan oleh Kristus dan Gereja-Nya – ataukah kita lebih suka nampak berhasil di mata dunia lewat berbagai kompromi dengan si jahat? Santa Jeanne d’Arc adalah orang kudus pelindung negeri Perancis.

Santa Angela Merici (1474-1540). Angela adalah pendiri ordo suster-suster Ursulin (OSU). Ia dilahirkan di Desenzano, sebuah kampung di dekat Lago Garda yang indah di Italia Utara. Melalui karya ordonya ini banyak anak mengenal Kristus dan mengikuti jejak-Nya. Hidupnya di masa kecil yang berbahagia di tengah sebuah keluarga petani diganggu oleh kematian tragis-mendadak ayah dan ibunya. Pada saat itulah jiwa Angela yang sedang gelisah dipenuhi oleh kasih ilahi, sehingga dia sadar tidak akan sendirian karena memiliki Allah sebagai Bapa. Angela dan seorang saudarinya dengan siapa dia syering aspirasi-aspirasi suci dan praktek kesalehan, kemudian pindah ke rumah seorang paman yang kaya. Secara tak disangka-sangka saudarinya juga meninggal dunia. Sekali lagi dipenuhi kesedihan dan kegalauan, Angela mohon kepada Allah untuk diberikan suatu tanda. Pada suatu hari, di lapangan terbuka dia melihat langit terbuka dan di situ kelihatanlah saudarinya bersama Santa Perawan Maria. Mereka terlihat gilang-gemilang penuh kemuliaan. Setelah kematian pamannya, Angela kembali ke rumahnya yang dulu, tapi kali ini sebagai seorang anggota Ordo Ketiga Santo Fransiskus (Sekarang: Ordo Franciscanus Saecularis). Banyak perempuan muda ikut terlibat dalam karya kerasulan bersama Angela, yaitu menolong orang sakit dan mengajar katekismus kepada anak-anak yang dikuatirkan akan kehilangan iman mereka disebabkan oleh gelombang humanisme yang semakin hebat. Perempuan-perempuan muda dan anak-anak itu, semuanya mencintai Angela yang bagi mereka adalah seorang yang lemah lembut, manis dan penuh sukacita. Tidak lama kemudian semakin banyak anak-anak datang ke rumah itu untuk belajar dan bermain. Mereka pun kemudian membawa serta orangtua mereka untuk semakin dekat pada sakramen-sakramen. Pada masa itu iman umat sudah begitu lemah, sehingga seseorang dinilai memiliki iman kuat jika sudah menerima komuni kudus setahun sekali. Angela berpuasa dan berdoa untuk siapa saja dalam kota yang kelihatan sudah kecanduan dengan hal-hal yang jahat. Banyak dari mereka yang kemudian bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja.

Dalam melakukan discernment untuk mengetahui apakah kehendak Allah atas dirinya, Angela memperoleh suatu penglihatan bahwa dia akan mendirikan sebuah ordo suster-suster di Brescia. Angela memang mengenal sebuah keluarga kaya dari Brescia yang setiap musim panas pergi berlibur ke Lago Garda. Pada waktu keluarga ini sedang berkabung karena kematian seorang anggotanya, mereka mendesak agar Angela mampir ke Brescia untuk menghibur mereka. Selagi di Brescia, Angela tidak menyia-nyiakan waktunya untuk mengurusi orang-orang sakit. Namun hasratnya yang berkobar-kobar adalah untuk melawan gelombang ajaran sesat. Ia bertanya kepada dirinya sendiri: “Apakah yang dapat dilakukan oleh seorang gadis yang tidak berpendidikan?” Roh Kudus, yang tahu bagaimana menggunakan orang-orang sederhana untuk mengacau-balaukan mereka yang bijak-berhikmat, kemudian mencerahkan pikiran Angela sehingga dia dapat membaca Ofisi Ilahi (Ibadat Harian) yang ditulis dalam bahasa Latin. Setelah mukjizat ini, banyak sekali orang-orang dari kota Brescia dan sekitarnya datang bertemu dengan Angela – termasuk para teolog – untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan dan keraguan mereka.

Angela didesak oleh para pengikutnya untuk mendirikan sebuah ordo suster-suster yang bergerak di bidang pendidikan, namun dia masih merasa belum pantas untuk tugas seperti itu. Lalu Angela pergi berziarah ke Tanah Suci untuk melakukan discernment. Namun celaka, pada awal perjalanan ziarah secara tiba-tiba matanya menjadi buta. Musibah ini tidak hanya membuatnya tidak mampu melihat tempat-tempat bersejarah di mana Yesus berjalan bersama para murid, mengajar dan wafat, melainkan juga menghilangkan segala kemungkinan baginya untuk mendirikan sebuah ordo biarawati di bidang pendidikan. Akan tetapi, Allah yang disembahnya memang mahakuasa dan penuh belaskasih. Angela dipulihkan dari kebutaannya di tengah perjalanan pulang, yaitu di sebuah tempat berdoa di pulau Kreta. Sepulangnya di Italia, Angela mendirikan ordo biarawati seperti dimimpikannya. Sebagai pelindung ordo dia memilih Santa Ursula. Santa Ursula dari Köln dan beberapa kawannya (sebelum abad ke-4) menjadi martir demi iman-kepercayaan mereka akan Kristus dan demi mempertahankan keperawanan mereka. Para suster ordo ini kemudian dikenal sebagai para SUSTER URSULIN. Sebelum wafatnya, Angela dalam ekstase penuh sukacita berkata: “Ke dalam tangan-Mu kuserahkan rohku”. Ketika wafat Angela tidak mengenakan pakaian seperti para pengikutnya (pada waktu itu memang mereka belum mengenakan pakaian biara), melainkan mengenakan pakaian berwarna coklat yang disayanginya, tanda bahwa dia adalah seorang anggota Ordo Ketiga Santo Fransiskus.

Dari tahun ke tahun, dekade demi dekade, abad demi abad, Ordo Ursulin berhasil merambah ke segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Siapa yang tidak kenal motto “SERVIAM”, sebuah motto para suster Ursulin dan anak-anak didik mereka? Cita-cita Angela adalah sama dan sebangun dengan cita-cita para anggota keluarga besar Fransiskan lainnya: “Hidup di tengah-tengah dunia, tetapi bukan dari dunia”, sesuai dengan apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh Santo Fransiskus dari Assisi. Melayani, melayani, sekali lagi melayani! Sampai hari ini para pengikut Santa Angela yang bukan biarawati masih ada, mereka disebut Angelin.

Akhirnya, marilah sekarang kita renungkan apa yang ditulis oleh orang kudus ini: “Saudari-saudariku yang terkasih, kita adalah anak-anak para kudus. Kita mencari tanah ke mana mereka telah pergi dan cintakasih kita adalah untuk Tuhan kita yang memerintah di tanah itu. Akan tetapi jalan menuju tanah itu adalah jalan penyangkalan-diri dan penderitaan. Demikianlah Dia, Kekasih kita, menempuh jalan itu dan menarik para kekasih-Nya untuk mengikuti-Nya. Kita termasuk di antara mereka yang mengikuti-Nya. Kita sekarang sedang menabur benih, namun akan menuai panen apabila Allah menentukan sudah tiba saatnya, asal saja kita tidak menyerah di tengah jalan.” “Lakukanlah sekarang, lakukanlah sekarang, apa yang anda ingin agar anda telah lakukan pada saat kematianmu.”

Santa Teresa dari Avila (1515-1582). Orang kudus ini juga dikenal dengan nama “Teresa dari Yesus” atau “Teresa Besar”. Ia adalah seorang pembaharu hidup membiara dan pujangga Gereja. Tulisan-tulisan rohani dari biarawati Karmelites yang termasyhur ini sangat terkenal, padahal dia tidak memiliki latar pendidikan yang sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan, bahwa dia lebih banyak belajar dari Roh Kudus daripada dari guru-guru yang lain. Orang kudus ini berasal dari keluarga kelas atas Spanyol. Pada usia 20 tahun ia diterima ke dalam biara Karmel di Avila. Pada awal hidup membiaranya, hati Teresa masih mendua terutama karena suasana rumah terasa nyaman baginya, hubungan yang terjalin dengan para saudara dan tetangga sangat baik. Dalam biara Teresa menjalani hidup-ganda untuk menarik dan membimbingnya ke dalam doa kontemplatif yang mendalam. Baru setelah 20 tahun lamanya mengalami penglihatan-penglihatan, lokusi-lokusi dan pengalaman rohani lainnya, Teresa berketetapan untuk melepaskan diri dari hasrat berhubungan dengan orang lain secara tetap, dan dia pun lebih hidup menyendiri untuk berdoa. Begitu mendalam kontemplasinya, sehingga pada suatu hari para suster mengira bahwa Teresa sedang meregang jiwa. Kedua matanya sudah ditutupi dengan lilin, ketika tiba-tiba bangun. Ketika ditanya apa rasanya mati, Teresa menjawab: “Kematian adalah ekstase.” Kemudian pada saat ayahnya meninggal dunia, Teresa jatuh sakit dan koma untuk 4 hari lamanya disusul dengan kelumpuhan selama 3 tahun. Dalam penderitaannya ini hati Teresa semakin mantap dan maju pesat dalam meditasi dan kontemplasi. Teresa banyak menerima karunia yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dia pun sering mengalami ekstase. Salah satu pengalaman rohaninya adalah ketika dia merasa seolah lubuk hatinya ditembus oleh cintakasih ilahi yang hangat. Pada tahun 1560 ia melihat kesengsaraan orang dalam neraka; sejak saat itu dia berikrar untuk selalu berbuat lebih baik.

Ketika berumur 50-an, Teresa dengan beberapa suster lainnya berniat mendirikan sebuah biara yang berpegang teguh pada gerakan Karmel yang asli, yaitu supaya para suster hidup semata-mata demi memuji Tuhan. Untuk diketahui, pada masa itu kebanyakan biara tidak dapat menahan serangan dari hal-ikhwal yang bersifat duniawi. Banyak orang masuk biara bukan untuk hidup doa, melainkan untuk melarikan diri dari keluarga masing-masing. Dengan bantuan Santo Yohanes dari Salib, juga seorang Karmelit, Teresa dibimbing lewat penglihatan-penglihatan yang bersifat supernatural dan lokusi-lokusi sehingga dapat mendirikan banyak biara Karmel-pembaharuan yang berorientasi pada kontemplasi. Para Karmelit ini disebut para Karmelit tak berkasut/bersepatu (Ordo Carmelitarum Discalceatorum-OCD), seperti yang ada di Lembang-Jawa Barat, Bajawa-Flores, Kakaskasen-Sulut. Dalam hidupnya Teresa tidak sepenuhnya menjadi pendoa kontemplatif yang mundur dari dunia, karena dia melayani banyak suster, imam dan orang awam yang tertarik pertama-tama oleh kepribadiannya yang hidup. Tulisan-tulisannya seperti “Puri batin” (Inggris: The Interior Castle) dan “Jalan Kesempurnaan” (Inggris: The Way of Perfection) menunjukkan hikmat-kebijaksanaan orang kudus ini. Tulisan-tulisannya tidak dipenuhi atau banyak diwarnai dengan hal-hal yang bersifat teologis, melainkan bersumber pada Roh Kudus yang berbicara lewat hatinya. Teresa meninggal dunia setelah menjalani hidup-berbuah dalam sejarah spiritualitas. Karena sakit kepala luarbiasa yang dideritanya, Gereja menetapkan Teresa Besar sebagai pelindung para penderita sakit kepala.

Cerita tentang Teresa Besar semoga menyadarkan kita semua, bahwa menyediakan waktu terbaik kita setiap hari untuk keheningan dan doa tidak akan merusak kegembiraan alami yang kita miliki, melainkan hanya menyalurkannya sehingga minat kita terhadap orang lain dimurnikan dalam kasih Kristus. Perempuan kudus yang penuh wibawa, polos, cantik dan memiliki kepribadian menarik dan menyenangkan itu meninggal dunia pada usia 67 tahun – setelah mengalami penderitaan yang disebabkan oleh para biarawati lainnya.

Santa Teresa dari Lisieux (1873-1897). Orang kudus ini adalah salah seorang dari orang kudus yang paling dicintai dari masa ke masa. Dia dikenal juga sebagai “Teresa dari Kanak-kanak Yesus” atau “Teresa Kecil” untuk membedakannya dengan Santa Teresa dari Avila. Dia juga dijuluki si “Kuntum Bunga yang kecil”. Ketika masih berumur 12 tahun Teresa sudah berjanji kepada Kristus: “Yesus di kayu salib yang haus, aku akan memberikan air pada-Mu. Aku akan menderita sedapat mungkin, agar banyak orang berdosa bertobat.” Pendosa pertama yang bertobat berkat doa gadis kecil ini adalah seorang penjahat kelas berat yang dijatuhi hukuman mati tanpa menyesali perbuatan-perbuatan jahatnya. Orang itu bertobat di hadapan sebuah salib sesaat sebelum menjalani hukumannya. Luar biasa!!! Pada usianya yang masih relatif muda (15 tahun) dan dengan izin khusus dari Paus, Teresa masuk biara Karmel di Lisieux. Meskipun para suster dalam biara (termasuk dua orang kakaknya) mencintai Teresa, hal ini tak berarti dia luput dari berbagai pencobaan batin dan kekeringan. Karena kematangan jiwanya, Teresa sudah diangkat menjadi magistra novis ketika dia baru berumur 20-an tahun.

Dalam biara dengan klausura ketat, Teresa berjuang untuk menempuh “jalan sederhana” menuju kesucian, yaitu secara konsekuen percaya dan mengasihi Tuhan. Ia selalu menampilkan wajah yang jernih dalam situasi yang bagaimana pun. Orang kudus muda ini menderita sakit paru-paru yang parah dan akhirnya meninggal ketika berusia 24 tahun. Ia mewariskan catatan riwayat pribadi yang ditulis atas permintaan pemimpin biaranya. Judulnya: “Kisah satu jiwa” (Inggris: The Story of a Soul). Di situ Teresa menunjukkan, bahwa kesucian dapat dicapai oleh siapa saja, betapa pun rendah, hina dan biasa-biasa saja orang itu. Caranya adalah dengan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan kecil dan tugas sehari-hari dengan penuh cintakasih yang murni kepada Tuhan. Teresa telah mengajarkan kita, bahwa kita dapat bersatu dengan Allah dengan mempersembahkan kepada-Nya setiap saat dari kehidupan kita sehari-hari. Persembahan sederhana itu dapat menjadi sarana bagi kita mencapai kesucian yang kita rindukan. Bersama dengan Santo Fransiskus Xaverius, Teresa diangkat menjadi pelindung Misi, meskipun belum pernah pergi ke luar negeri. Dia adalah juga pelindung para penjual bunga.

Beata Teresa dari Kalkuta (1910-1997). Siapa yang tidak kenal orang kudus termasyhur abad ke-20 ini? Pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 1979 dan sahabat Paus Yohanes Paulus II ini? Ibu Teresa diangkat oleh Gereja sebagai seorang Beata tidak lama setelah dia wafat. Nama aslinya adalah Agnesё Gonxhe Bojaxhiu, seorang Albania yang berkewarganegaraan India. Pendiri kongregasi Suster-suster Misionaris Cintakasih, yang karya karitatifnya sekarang sudah melanglang buana. Dia dihormati praktis oleh siapa saja yang sempat mengenalnya secara pribadi maupun lewat berbagai macam pemberitaan media.

Ketika diundang datang ke University of Notre Dame di Indiana yang dikelola oleh para imam/bruder Kongregasi Salib Suci (CSC), seorang teolog bertanya kepada Ibu Teresa mengapa dalam karya karitatifnya dia selalu memberikan ikan kepada orang yang memerlukan, dan bukan pancing yang diberikan sehingga lebih mendidik orang itu? Pasti diilhami Roh Kudus, Ibu Teresa menjawab, bahwa orang-orang yang ditolong oleh dia dan kongregasinya adalah orang-orang, yang memegang pancing saja sudah tidak bisa! Sebuah jawaban dari seseorang yang memiliki karunia berkata-kata dengan hikmat. Hikmat yang bukan datang dari pikirannya sendiri, melainkan dari Allah semata. Seperti Santo Fransiskus dari Assisi, Ibu Teresa sudah dipandang oleh orang banyak sebagai seorang kudus semasa hidupnya: a living saint!!!

Pada pertengahan dekade 80’an Ibu Teresa begitu terkenal, sehingga disamping para pengagumnya bermunculan juga mereka yang suka mengkritisinya, karena iri hati atau alasan lainnya. Salah satu pengeritiknya adalah seorang pendeta/ televangelist (penginjil televisi) sangat populer di tahun 80’an dari Louisiana, Amerika Serikat yang bernama Jimmy Swaggart. Pada masa itu program penginjilan Jimmy Swaggart dipancarkan oleh lebih dari 3.000 stasiun televisi dan banyak sekali jaringan cable-TV setiap minggunya, dan dinikmati oleh lebih dari 8 juta pemirsa di Amerika Serikat dan lebih daripada 500 juta orang di seluruh dunia. Suaranya indah kalau bernyanyi dan kasetnya pun banyak sekali beredar di Indonesia. Sebuah prestasi tersendiri dalam dunia penginjilan. Namun sebagai manusia dia pun mempunyai kelemahan.

Salah satu kelemahan Jimmy Swaggart adalah kesombongan. Dia suka mengeritik penginjil-penginjil lainnya, mencari salah mereka dengan sikap seakan-akan lebih suci dari yang lain (holier than thou). Kalau boleh saya memakai istilah ilmu ekonomi di sini, mungkin karena faktor kompetisi pasar. Pada suatu hari dia mengeritik Ibu Teresa dari Kalkuta. Kurang lebih dia mengatakan, bahwa meski banyak sekali pekerjaan baik telah dilakukan oleh Ibu Teresa, dia tidak akan masuk surga kalau belum “lahir baru”. Suatu pernyataan yang penuh dengan keangkuhan, kesombongan rohani. Pernyataannya ini dijawab oleh Tuhan sendiri. Hanya seminggu setelah itu, Bapak Pendeta Jimmy Swaggart tertangkap basah sedang berjalan keluar dari kamar sebuah motel bersama seorang perempuan yang bukan istrinya. Yang melakukan rekaman video adalah seorang pendeta yang pernah dibuat susah olehnya. Berulang kali Jimmy Swaggart mengungkapkan pertobatannya di depan umum dan sampai sekarang pun dia masih melakukan penginjilan, tetapi tidak lagi sehebat dan sepopular di masa jayanya dulu. Sekarang terdapat banyak sekali buku dan vcd tentang Ibu Teresa dari Kalkuta untuk anda pelajari.

Catatan Penutup. Sepanjang sejarah Gereja banyak sekali bermunculan tokoh-tokoh perempuan. Pribadi-pribadi yang sesungguhnya lebih daripada sekadar seorang Kartini atau seorang Srikandi. Kiranya semuanya sesuai rencana Allah sendiri, karena dengan kharisma dan talenta masing-masing mereka tampil pada saat Gereja membutuhkan. Seperti R.A. Kartini, banyak dari mereka meninggal dunia pada usia yang relatif muda. Kini mereka adalah bagian dari “Gereja yang sudah berjaya”. Tugas kewajiban kita masing-masing sebagai anggota “Gereja yang berjuan” adalah mohon doa syafaat mereka dan teristimewa meneladan mereka. Selamat memperingati Hari Kartini !!!

Cilandak, 17 April 2009 [HARI JUMAT DALAM OKTAF PASKAH]

Catatan:
*) Termuat dalam majalah MediaPASS (Media Komunikasi Paroki S. Stefanus, Cilandak, Jakarta Selatan), Edisi April 2009, hal. 4-10.
**) Seorang Fransiskan Sekular, tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.
1. Lokusi atau percakapan batin oleh Tuhan (atau Ibu Maria dan para kudus lainnya) yang kemudian oleh si visioner itu disampaikan kepada orang lain. Salah satu contoh adalah Pater Don Stefano Gobbi dipakai dengan cara itu oleh Ibu Maria ketika menyampaikan pesan-pesan untuk para imam (Bacalah buku: “Pesan Bunda Maria kepada para Imam”; Inggris: “Our Lady speaks to her beloved Priests).

p.s. Posting ke dalam blog SANG SABDA ini adalah sebagai bahan bacaan dalam rangka perayaan Hari Ibu Kartini, 21 April 2021.

GELAR YANG DIMILIKI OLEH YHWH SAJA

GELAR YANG DIMILIKI OLEH YHWH SAJA
(Bacaan Injil Misa Kudus, Pekan II Paskah, Sabtu 21-4-12)
Keluarga Fransiskan: Peringatan Santo Konradus dari Parzham (Biarawan Kapusin)

Ketika hari mulai malam, murid-murid Yesus pergi ke danau, lalu naik ke perahu dan menyeberang ke Kapernaum. Hari sudah gelap dan Yesus belum juga datang mendapatkan mereka, sementara laut bergelora karena tiupan angin kencang. Sesudah mereka mendayung kira-kira lima atau enam kilometer jauhnya, mereka melihat Yesus berjalan di atas air mendekati perahu itu. Mereka pun ketakutan. Tetapi Ia berkata kepada mereka, “Inilah Aku, jangan takut!” Karena itu, mereka mau menaikkan Dia ke dalam perahu, dan seketika itu juga perahu itu sampai ke pantai yang mereka tuju. (Yoh 6:16-21).
Bacaan Pertama: Kis 6:1-7; Mazmur Tanggapan: Mzm 33:1-2,4-5,18-19

Orang banyak begitu terkesan oleh mukjizat-mukjizat Yesus sehingga mereka ingin (dengan paksa) membuat Dia menjadi Raja (Yoh 6:15), dengan demikian akan menempatkan diri-Nya sebagai oposisi yang berhadap-hadapan dengan Herodes yang pada umumnya dipandang sebagai pengkhianat bangsa (dia memang bukan bangsa Yahudi). Namun Yesus tidak mau menerima hal tersebut. Tidak hanya tindakan seperti itu akan memprovokasi intervensi militer dari pihak Romawi; namun juga yang lebih penting adalah, bahwa apabila dinobatkan sebagai seorang raja dunia maka hal tersebut akan merupakan tafsiran yang salah samasekali dari Kerajaan yang hendak didirikan Yesus dengan kedatangan-Nya. Di hadapan Pilatus, Yesus menyatakan dengan penuh empati bahwa Kerajaan-Nya bukanlah dari dunia ini (lihat Yoh 18:36). Oleh karena itu Yesus menyingkir ke gunung seorang diri, dan para murid-Nya naik perahu menyeberang ke Kapernaum; sebenarnya untuk menghindar dari konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan.

Kita akan lihat, bahwa kesulitan para murid tidak berhenti sekali mereka berhasil “melarikan diri” dari orang banyak. Danau Galilea ini dalam teks Injil beberapa versi bahasa Inggris disebut “Sea of Galilee” (“Laut Galilea”: misalnya dalam Revised Standard Version; Christian Community Bible – Catholic Pastoral Edition; The New American Bible; The New Jerusalem Bible). “Laut” dipandang sebagai sebuah tempat “khaos” (Inggris: chaos), tempat tinggal roh-roh jahat dan kekuatan-kekuatan berbahaya yang harus dengan kuat ditahan oleh Allah. Misalnya dalam “Ucapan Ilahi terhadap Asyur”: Wahai! Ributnya banyak bangsa-bangsa, mereka ribut seperti ombak laut menderu! Gaduhnya suku-suku bangsa, mereka gaduh seperti gaduhnya air yang hebat! Suku-suku bangsa gaduh seperti gaduhnya air yang besar; tetapi TUHAN (YHWH) menghardiknya, sehingga mereka lari jauh-jauh, terburu-buru seperti sekam di tempat penumbukan dihembus angin, dan seperti dedak ditiup puting beliung” (Yes 17:12-13; lihat juga Mzm 18:16-17). Jadi, walaupun berhasil menghindar dari tekanan orang banyak, para murid Yesus sekarang mendapatkan diri mereka berkonfrontasi dengan kuasa-kuasa yang tak dapat mereka hindari atau kendalikan.

Pada titik krisis ini, ketika segala kekuatan lahir dan batin para murid hampir terkuras habis, muncullah Yesus yang berjalan di atas air. Melihat kenyataan itu, mereka sungguh merasa takut! Sang Guru, yang mampu melipat-gandakan roti dan ikan, sekarang “mendemonstrasikan” kuat-kuasa yang jauh lebih dahsyat, yang menunjukkan otoritas yang menentukan atas air danau yang mengamuk. Pada saat Yesus berbicara, kata-kata-Nya tidak hanya menghibur – “Jangan takut” (Yoh 6:20). Namun Yesus juga bersabda, “Inilah Aku”, kata-kata yang dengan cepat ditangkap oleh para murid-Nya sebagai gelar yang dimiliki oleh YHWH saja, satu-satunya Allah yang benar (Kel 3:14; bdk. Yoh 8:58).

Dalam cerita ini dengan berbagai cara Yesus memanifestasikan kuat-kuasa Allah, kuasa yang mencakup kendali (kontrol) atas kuasa-kuasa kegelapan dan pada saat sama keamanan dan proteksi bagi mereka yang telah dipanggil-Nya. Lebih lanjut Ia terus berbicara mengenai perlunya bagi semua orang untuk ikut ambil bagian dalam hidup-Nya sampai satu titik di mana kita sungguh-sungguh makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya. Namun sebelum kita mulai merenungkan kebenaran-kebenaran yang indah ini, kita masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat di pantai danau dan merenungkan keagungan Allah dan belas kasih-Nya.

DOA: Tuhan Yesus, kami percaya bahwa Engkaulah Allah yang Mahakudus, Mahakuasa, Raja atas segala raja dan sempurna dalam kasih. Oleh rahmat-Mu, tolonglah kami untuk menempatkan iman dan kepercayaan kami dalam Engkau. Semoga kami senantiasa terbuka bagi kasih dan kerahiman-Mu, dan semoga hati kami menjadi tenang dalam kehadiran-Mu seperti yang telah Kaulakukan atas air danau itu. Amin.

Catatan: Untuk mendalami Bacaan Injil hari ini (Yoh 6:16-21), bacalah tulisan yang berjudul “INILAH AKU, JANGAN TAKUT !!!” (bacaan tanggal 21-4-12) dalam situs/blog PAX ET BONUM http://catatanseorangofs.wordpress.com; kategori: 12-04 PERMENUNGAN ALKITABIAH APRIL 2012. Untuk mendalami Bacaan Pertama hari ini (Kis 6:1-7), bacalah tulisan yang berjudul “PENGANGKATAN TUJUH ORANG DIAKON YANG PERTAMA” (bacaan tanggal 7-5-11) dalam situs/blog PAX ET BONUM; kategori: 11-05 PERMENUNGAN ALKITABIAH MEI 2011.

Cilandak, 10 April 2012

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS