EKARISTI: BEBERAPA CATATAN
Katekese mengenai Misteri Ekaristi harus diarahkan pada penyadaran para beriman, bahwa perayaan Ekaristi benar-benar merupakan pusat seluruh kehidupan Kristiani, baik pada tingkat Gereja semesta (universal) maupun pada tingkat jemaat-jemaat lokal. Karena “semua sakramen lain, seperti juga segala pelayanan Gereja dan karya kerasulannya, erat berhubungan dengan Ekaristi Kudus dan diarahkan kepadanya. Sebab di dalam Ekaristi Mahakudus terangkumlah seluruh harta rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, kurban Paskah dan Roti kehidupan kita yang memberikan hidup kepada sekalian orang melalui daging-Nya, yang berkat Roh Kudus menjadi hidup dan menghidupkan. Dengan demikian manusia diundang dan dibimbing untuk mempersembahkan diri mereka sendiri, segala jerih payah mereka dan seluruh alam ciptaan bersama dengan Kristus.” (Instruksi Eucharisticum Mysterium tentang Misteri Ekaristi [25-5-1967], 6; bdk. Dekrit Presbyterorum Ordinis tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam [7-12-1965], 5).
Banyak sekali umat Katolik yang selagi menjalani kehidupan di dunia tidak pernah sungguh mengetahui atau memanfaatkan berbagai sarana indah guna mencapai keselamatan yang telah ditempatkan Kristus bagi kita semua melalui Gereja-Nya. Kita menghayati kehidupan sekular dalam sebuah dunia yang adalah sekular pula, hampir tidak menyadari bahwa Yesus Kristus telah membuat dunia ini menjadi sebuah dunia yang sakramental: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru” (Why 21:5) – sebuah dunia di mana setiap kegiatan dan setiap peristiwa dapat menjadi sarana rahmat ilahi yang membawa manusia kepada keselamatan.
Allah mengkomunikasikan diri-Nya kepada kita melalui berbagai gestures, kata-kata dan hal-hal yang bersifat sakramental. Semua itu adalah tindakan-tindakan Allah melalui Roh Kudus-Nya. Gesture utama Allah adalah tindakan menjadi manusia – inkarnasi-Nya. Jadi, Yesus adalah Sakramen yang pertama dan benar, karena Dia adalah tanda yang mujarab dari peng-ilahi-an (Inggris: divinization) umat manusia. Melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus membuat kita mampu berjumpa dengan Allah Tritunggal dan membagi kehidupan ilahi-Nya dengan kita.
Sesungguhnya, segala tindakan Yesus selama kehidupan-Nya di dunia pada akhirnya dimaksudkan untuk memberikan suatu kehidupan – kehidupan kekal. Inilah pesan dari kebangkitan Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25); sebuah ayat Kitab Suci yang begitu akrab terdengar di telinga manakala kita menghadiri Misa atau Ibadat Sabda berkaitan dengan peringatan kematian seorang saudari/saudara kita.
Gereja adalah Sakramen Kristus. Gereja adalah Sakramen Perjumpaan Kristus dengan kita, umat-Nya. Untuk kepentingan orang-orang yang hidup setelah zaman-Nya, Yesus mendirikan Gereja sebagai Sakramen di mana umat berjumpa dengan diri-Nya. Melalui Gereja, Yesus terus aktif di tengah dunia dan berkomunikasi dengan segenap umat manusia.
Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus, Yesus sebagai Kepalanya dan kita adalah para anggotanya. Dengan demikian, Gereja adalah sebuah tanda, sebuah Sakramen, …… Sakramen Kristus. Gereja memproklamasikan Kristus, dan dalam Gereja-lah Kristus dijumpai.[1] Kebersatuan dengan Kristus dan kebersatuan dengan Allah melalui Kristus ini membentuk Kerajaan Allah. Gereja mengakui bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di tengah dunia. Gereja merangkul Kerajaan itu dengan penuh sukacita dan syukur. Gereja berupaya keras untuk meluaskan ini kepada semua orang dan melakukannya lewat Sakramen-sakramen.
Sakramen-sakramen yang dirayakan dengan benar membawa pengharapan Gereja kepada dunia. Sakramen-sakramen adalah “tanda-tanda di muka” tentang sukses dan pemenuhan dunia dalam Kristus Yesus. Seperti Kristus-inkarnasi (Firman yang menjadi manusia; Yoh 1:14) adalah “wajah” Bapa surgawi, maka Gereja adalah “wajah” Kristus yang bangkit dan naik ke surga bagi semua orang di dunia. Gereja adalah tanda yang “mujarab”, Sakramen yang menghadirkan Yesus bagi dunia.
Maka, Gereja membuat kita mampu untuk berjumpa dengan Kristus dalam Sakramen-sakramen-Nya. Hal ini menyentuh pokok-pokok utama kehidupan kita dan menguduskannya. Semua itu berkisar di sekeliling Misa, yang juga dinamakan Ekaristi.
Ekaristi. Untuk memperoleh suatu ide yang benar tentang peranan Ekaristi dalam kehidupan kita, maka kita harus memandang dunia dengan menggunakan kacamata Alkitab. Dari situ kita akan menyadari bahwa umat manusia adalah instrumen yang dipilih untuk Penebusan kita. Kristus datang ke tengah-tengah dunia untuk menanggung sakit, untuk menderita dan mati dalam daging-Nya; dan Ia bangkit dalam daging-Nya. Jadi daging (badan) dan hal-hal tak bernyawa diasosiasikan dengan misi sang Juruselamat dan kemenangan-Nya atas kematian.
Kita dapat menggunakan segala sumber daya alam semesta dalam mengerjakan keselamatan kita. Dengan kata-kata Doa Syukur Agung I Misa: “Dalam Dia Engkau menciptakan, memberkati dan menganugerahkan segala sesuatu yang baik kepada kami”.[2]
Kita harus menjadi terilhami – seperti ditunjukkan oleh Kitab Suci – dengan kesadaran bahwa manusia menguasai kosmos dan lewat kerja mereka sehari-hari menyempurnakan gambaran ilahi dalam diri mereka. Melalui pekerjaan dan interaksi sosial, mereka mencapai sebuah komunitas relasi antar-pribadi yang berdasarkan kasih. “Allah adalah kasih, dan siapa yang tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1Yoh 4:16). Kita menjadi satu dengan Allah melalui kasih!
Semua ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang kita sebut “Liturgi”. Liturgi adalah sebuah perayaan di mana dirayakan kasih Allah itu. Dengan atau melalui Liturgi inilah Allah disembah dan dimuliakan dan umat (anda dan saya) dibuat menjadi peserta dalam kehidupan Allah dan Kerajaan-Nya. “Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya” (Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci, 10).
(1) Dalam Misa, Yesus yang ilahi-insani sekaligus itu – melalui tindakan Roh-Nya memampukan kita untuk berpartisipasi dalam kehidupan ilahi-Nya. (2) Kita berpartisipasi dalam tindakan suci itu dengan kuat-kuasa yang indah dari akal-budi, perasaan dan pancaindera kita – mendengar, bernyanyi, berbicara, mencicipi dlsb. (3) Ciptaan yang tak bernyawa pun mempunyai peranan: roti, anggur, terang lilin, dupa, pakaian upacara imam, piala, lonceng/bel, organ dll.
Dalam analisis akhir, melalui Liturgi Ekaristi, Kristus menjadi satu dengan anggota-anggota Tubuh Mistik-Nya. Pengudusan dunia jatuh di bawah pengaruh-Nya melalui kerja sama bebas kita yang didorong oleh rahmat. Dalam artian tertentu, diri kita sendiri adalah substansi yang dipersembahkan dan ditransformasikan dalam Misa, dan melalui kita dunia dipersembahkan dan ditransformasikan dalam perkembangannya setiap hari.
Roti (Tubuh Kristus) dan Anggur (Darah Kristus). Petikan yang indah dari salah satu surat Santo Paulus berikut ini pantas kita renungkan dengan serius dan acap kali: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:16-17).
Roti.[3] Roti adalah benda yang tidak boleh tidak ada dalam rumah, merupakan makanan dasariah (Am 4:6; Mrk 3:20; Luk 11:5; 15:17), sehingga sering searti dengan makanan/perjamuan pada umumnya (Luk 14:15; Kis 2:42). Roti tidak pernah dibelah dengan pisau melainkan selalu dengan tangan sebagai lambang membagi milik: “memecah-mecahkan roti” searti dengan memberikan roti (Yes 58:7; Yer 16:7), bersatu dengan orang lain, agar tercipta persatuan antara orang-orang yang sedang makan (Mzm 41:10; Mat 14:19; [bdk. Mrk 6:41; Luk 9:16; Yoh 6:11]; Mat 26:26 [bdk. Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:29]; Yoh 13:18; 1Kor 10:16). Roti secara metaforis melambangkan firman Allah, kehidupan sejati manusia (Ul 8:3; Am 8:11; Mat 4:4; bdk. Luk 4:4), yang sebelumnya sudah dilambangkan oleh “manna” yang turun dari surga. Yesus sendiri adalah “roti kehidupan” atau “roti hidup”, satu-satunya roti yang menghidupkan (Yoh 6:35-47), roti yang diberikan-Nya kepada para murid-Nya menjelang pengorbanan-Nya (Mat 26:25 [bdk. Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:23]). Dengan membagi-bagikankan roti kepada orang banyak, Yesus mengajarkan para murid-Nya bagaimana mereka, dengan berlimpah-limpah, seharusnya membagi-bagikan Firman dan Ekaristi (Mat 14:13-21 [bdk. Mrk 6:32-44; Luk 9:10-17]; Mat 15:32-38 [bdk. Mrk 8:1-9]; Yoh 6:1-15). Dalam Liturgi Ekaristi, roti diubah menjadi Tubuh Kristus sendiri.
Tubuh Ekaristis Kristus. Yesus berbicara tentang “tubuh” ketika Dia berbicara tentang kehadiran-Nya secara baru, yaitu secara ekaristis (Mat 26:26; bdk. Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:24). Dalam tubuh yang demikian, semua pengikut Yesus ikut serta sambil membentuk satu tubuh.
Anggur. Dalam Perjanjian Baru, anggur tidak pernah muncul dalam konteks ibadat, kecuali dalam rangka perjamuan (terakhir) Yesus, di mana anggur di sebut “hasil pokok anggur” (Mat 26:29; bdk. Mrk 14:25; Luk 22:18) dan dalam kisah yang menceritakan perdebatan mengenai makanan (Rm 14:21). Secara kiasan, anggur berarti amarah Allah pada akhir zaman (Yes 51:17,22; Yeh 23:31; Why 14:8,10;16:19; 17:2; 18:3; 19:15). Dalam Liturgi Ekaristi, anggur diubah menjadi darah Kristus sendiri.
Darah. Darah ialah kehidupan (Im 17:11-14) dan kehidupan adalah milik Allah. Darah/nyawa tidak boleh dimakan bersama dengan daging persembahan (Ul 12:23-24; Kis 15:20,29). Darah dipercikkan di atas mezbah, kadang-kadang darah menjadi persembahan (Ibr 9:7; 13:11) bernilai pendamaian. Namun hanya darah Yesus saja yang berdaya-guna (Ibr 10:4,19), sebab Kristus adalah pendamaian sejati (Rm 3:25), darah-Nya adalah “darah Perjanjian demi pengampunan dosa-dosa” (Kel 24:6-8; Mat 26:28; bdk. Mrk 14:24), dan darah itulah yang diminum dalam perjamuan Ekaristi (Yoh 6:53-54; 1Kor 10:16). Yesus menumpahkan darah-Nya dengan sukarela, sambil membaharui Perjanjian (Yes 53:12; Luk 22:20). Inilah darah yang paling bernilai, yaitu yang mengalir dari lambung Yesus (Yoh 19:31-37; 1Ptr 1:19; 1Yoh 5:6-8).
Anthony M. Buono[4] mengatakan, bahwa transubstansiasi roti dan anggur ke dalam tubuh, darah dan keilahian Kristus diperluas ke dalam dunia dan merangkul totalitas dari sukacita dan rasa sakit sebagai akibat dari proses perkembangan yang ditakdirkan secara ilahi. Kristus mengumpulkan semua sukacita dan penderitaan, dan mempersembahkan semua itu kepada Bapa. Dia membuat semua itu menjadi menyelamatkan bagi semua orang yang mengalami. Sebagai akibatnya, kita dapat mengatakan bahwa Misa mencakup suatu konsekrasi (pengudusan) umat manusia. Dunia secara keseluruhan dipersembahkan dan ditransformasikan oleh rahmat yang menyelamatkan dari Kristus melalui mediasi Gereja dalam Misa. Dengan perkataan lain, hal-hal baik yang menyelamatkan yang telah dimenangkan oleh Kristus melalui sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya, diterapkan pada dunia dan segala sesuatu yang ada di dalam dunia itu, di sini dan sekarang. Konsekrasi ini terjadi secara sakramental – yang oleh karenanya tidak sempurna dan harus dilengkapi. Kristus telah melakukan tindakan pemberian persembahan secara definitif. Namun bagi komunitas Kristiani dan untuk dunia, kurban persembahan tidak akan sepenuhnya tercapai sampai pada akhir zaman (AMB, hal. 5).
Liturgi. Semua ini dicapai melalui Liturgi, teristimewa Misa. “Liturgi suci adalah penyembahan yang bersifat publik bahwa Penebus kita, Kepala Gereja, mempersembahkan kepada Bapa surgawi, dan bahwa komunitas orang-orang yang percaya kepada Kristus membayarnya kepada Pemimpinnya (Yesus), dan melalui Dia kepada Bapa yang kekal; singkatnya (liturgi) adalah seluruh penyembahan secara publik oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, Kepala dan para anggotanya” (Paus Pius XII, Ensiklik tentang Liturgi Suci, no. 20; diambil dari AMB, hal. 5-6).
Ini adalah definisi klasik dari “Liturgi”, yang diulangi dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II: “Gereja memenuhi tugas menguduskan secara istimewa dengan liturgi suci, yang merupakan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, di mana pengudusan manusia digambarkan dengan tanda-tanda yang tampak serta dihasilkan dengan cara masing-masing yang khas. Dengan liturgi itu dipersembahkan juga ibadat publik yang utuh kepada Allah oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala serta anggota-anggota-Nya” (KHK, Kanon 834 § 1). “Ibadat semacam ini terjadi apabila dilaksanakan atas nama Gereja oleh orang-orang yang ditugaskan secara legitim serta dengan perbuatan-perbuatan yang telah disetujui oleh otoritas Gereja” (KHK, Kanon 834 § 2). Walaupun demikian, bagi kebanyakan kita, Liturgi adalah sepatah kata yang “berat”, sepatah kata yang jarang sekali kita gunakan dalam pembicaraan sehari-hari.
Aslinya, kata itu menunjukkan pekerjaan sukarela bagi umat. Terjemahan dalam bahasa Yunani atas Kitab Suci Yahudi yang diselesaikan pada abad ke-3 SM dan dikenal sebagai Septuaginta (LXX) membuat arti kata ini menjadi lebih khusus, yaitu penyembahan oleh seorang imam di Bait Allah. Gereja perdana menggunakan kata ini untuk suatu kebaktian penyembahan di dalam mana masing-masing anggota komunitas mempersembahkan kepada Allah atas nama semua anggota seturut peranannya masing-masing. Pada abad pertengahan kata ini menunjukkan kebaktian penyembahan resmi Gereja.
Jadi, Liturgi adalah suatu kerja ilahi yang dipercayakan kepada umat Allah. Liturgi adalah melanjutkan pekerjaan Kristus oleh Gereja-Nya dalam kebersatuan dengan diri-Nya. Dengan demikian, orang-orang yang tidak berjumpa dengan Kristus dalam kehidupan-Nya di dunia sekarang dapat berjumpa dengan Dia dalam kemuliaan melalui Liturgi dan dapat bersatu dengan Dia dalam kurban persembahan-Nya kepada Bapa yang dibuat sekali dan untuk selama-lamanya (Ibr 10:14).
Jika kita memandang Liturgi dengan cara ini, maka sebagian dari sifatnya yang terasa “berat” tadi pun akan terlepaskan/terbebaskan. Sekarang dapat terlihat apa itu Liturgi: suatu kunci kehidupan, suatu permohonan yang dipenuhi dengan pengharapan, suatu perluasan dari Misteri Paskah (yaitu sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus) yang diperuntukkan bagi segala zaman dan semua orang, dan sesungguhnya untuk segenap alam semesta.
Melalui baptisan yang menjadikan kita imam dalam artiannya yang umum, adalah privilese kita sebagai orang Kristiani untuk turut ambil bagian dalam doa Gereja. Adalah privilese kita untuk turut ambil bagian dalam doa ini (a) melalui suatu tatanan hirarkis yang hakiki untuk hal itu. Namun itu pun privilese kita untuk turut ambil bagian dalam doa ini (b) secara berjemaah (komunal) sebagai anggota-anggota komunitas Gereja. Adalah privilese kita untuk dikuduskan oleh doa ini (c) melalui masuknya kita ke dalam Misteri Paskah Kristus. Akhirnya, adalah privilese kita untuk diajar oleh doa ini (d) sebagai bagian dari mereka, kepada siapa Allah berbicara melalui Kristus dan Roh.
Tanda-tanda dan Ekaristi. Misa – seperti semua ritus-ritus sakramental lainnya – dapat dikatakan merupakan suatu dialog antara Allah dan umat-Nya. Terlebih lagi, Misa adalah suatu rituale di mana Allah bertindak dan umat-Nya menjadi terlibat. Dalam komunikasi ini, Misa menggunakan tanda-tanda inderawi dan juga kata-kata. Misa menyangkut sikap tubuh, melibatkan gestures, menggunakan benda-benda, dilaksanakan dalam tempat-tempat yang nyata, dan dalam Misa itu objek-objek tertentu diberkati dan dikuduskan.
Beberapa dari tanda-tanda natural ini, lewat penggunaan berbagai imaji (gambaran) dan simbol/lambang yang sudah ada dalam ciptaan yang mempunyai suatu gaung tertentu dalam hati manusia. Hampir semua tanda-tanda dalam Misa itu adalah tanda-tanda alkitabiah. Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda tertentu yang Yesus sendiri gunakan pada waktu Dia menetapkan Ekaristi, juga tanda-tanda yang digunakan oleh para pendahulu kita (dalam Iman Kristiani) seperti digambarkan oleh bagian-bagian Kitab Suci lainnya.
Lewat tanda-tanda itu iman umat diungkapkan, dipupuk, dan diperkuat. Oleh karena itu sungguh pentinglah untuk memanfaatkan semua unsur dan bentuk perayaan yang disediakan oleh Gereja. Hal itu memungkinkan umat untuk ikut ambil bagian secara lebih aktif dan memetik manfaat lebih besar bagi kepentingan rohaninya (lihat ‘Pedoman Umum Misale Romanum Baru’ [PUMRB], 20)
Kitab Suci dan Perayaan Ekaristi. Pada kenyataannya, Misa suka dijuluki “Alkitab dalam Aksi” (Inggris: Bible in Action), karena sabda Alllah dalam Kitab Suci meresap dalam setiap bagian ritus-ritus yang ada di dalamnya. Misa Kudus atau Perayaan Ekaristi mencakup pembacaan sabda Allah dari Kitab Suci termasuk Mazmur Tanggapan; Nyanyian pendek dari Kitab Suci (berbagai antifon dan madah), Rumus-rumus dari Kitab Suci (sapaan, aklamasi narasi institusi dalam Doa Syukur Agung), alusi-alusi pada Kitab Suci (doa-doa), Instruksi alkitabiah (homili), dan doa-doa umat yang terinspirasikan oleh Kitab Suci.
Tentang hal ini, ‘Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci’ menyatakan sebagai berikut: “Dalam perayaan Liturgi Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab Sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab Suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat” (Sacrosanctum Concilium, 24).
Perayaan Ekaristi terdiri dari empat bagian: (1) Bagian pembuka; (2) Ibadat/Liturgi Sabda; (3) Liturgi Ekaristi; dan (4) Perutusan yang merupakan bagian terakhir dari Perayaan Ekaristi (lihat Surat Gembala Prapaskah 2012 Keuskupan Agung Jakarta, 5). Jadi, dapat kita katakan bahwa dua bagian pokok dari perayaan Ekaristi adalah Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi (yang bermuara pada komuni kudus). Oleh karena itu tidak mengherankanlah apabila dikatakan ada dua meja dalam perayaan Ekaristi: (1) Meja Sabda Allah (Inggris: The Table of the Word of God); dan (2) Meja Roti Tuhan (Inggris: The Table of the Bread of the Lord), yang satu tidak dapat ada tanpa meja yang lain. Uraian tentang kedua meja itu dapat dibaca dalam ‘Surat Paus Yohanes Paulus II tanggal 24 Februari 1980 Dominicae Cenae (Judul dokumen dalam bahasa Inggris: The Holy Eucharist) tentang Misteri dan Kebaktian Penyembahan Ekaristi Kudus (Bagian III).
Kritik negatif yang mengatakan bahwa Perayaan Ekaristi tidak alkitabiah sangat tidak mengenai sasaran. Ada sebuah buku karangan Romo Peter M.J. Stravinskas[5] yang dengan jelas mengemukakan betapa alkitabiahnya Misa atau Perayaan Ekaristi Kudus itu.
Kristus dan Perayaan Ekaristi. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan: “Kristus sendiri, Imam Agung abadi Perjanjian Baru, mempersembahkan kurban Ekaristi melalui pelayanan imam. Demikian juga Kristus sendirilah menjadi bahan persembahan dalam kurban Ekaristi. Ia sendiri sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur” (KGK, 1410). Memang, selebran utama dalam Misa adalah Kristus sendiri. Selebran sekunder adalah imam tertahbis yang berdiri di altar in persona Christi. Katekismus Gereja Katolik menyatakan: “Hanya para imam yang ditahbiskan secara sah, dapat memimpin upacara Ekaristi dan menkonsekrir roti dan anggur supaya menjadi tubuh dan darah Kristus” (KGK, 1411).
Sesungguhnya perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis. Baik Gereja universal dan Gereja partikular, maupun bagi setiap orang beriman, Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristiani. Sebab dalam perayaan Ekaristi terletak puncak karya Allah menguduskan dunia, dan puncak karya manusia memuliakan Bapa surgawi lewat Kristus, Putera Allah, dalam Roh Kudus. Kecuali itu, perayaan Ekaristi merupakan pengenangan misteri penebusan sepanjang tahun. Dengan demikian, boleh dikatakan misteri penebusan tersebut dihadirkan untuk umat. Segala perayaan ibadat lainnya, juga pekerjaan sehari-hari dalam kehidupan Kristiani, berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi: bersumber dari padanya dan tertuju kepadanya (lihat PUMRB, 16).
Oleh karena itu, sungguh penting untuk mengatur perayaan Ekaristi atau Perjamuan Tuhan tersebut sedemikian rupa sehingga para pelayan dan umat beriman lainnya, dapat turut ambil bagian dalam perayaan itu menurut tugas dan peran masing-masing, serta dapat memetik buah-hasil Ekaristi sepenuh-penuhnya. Itulah yang dikehendaki Kristus ketika menetapkan kurban ekaristis Tubuh dan Darah-Nya. Dengan maksud itu pula Ia mempercayakan misteri ini kepada Gereja, mempelainya yang terkasih, sebagai kenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya (PUMRB, 17). Jadi, dalam Misa setiap orang mempunyai tugas untuk dilaksanakan sebagai akibat imamat-umum yang diterimanya pada waktu baptisan (tentang imamat-umum bacalah Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja, 34).
Berbagai macam cara Kristus hadir dalam perayaan Ekaristi. Hal ini sudah disinggung oleh para Bapak Konsili Vatikan II sebagai berikut: “Untuk melaksanakan karya yang begitu besar, Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, ‘karena samalah Dia yang kini mempersembahkan diri lewat pelayanan iman dengan Dia yang dulu mengurbankan diri di kayu salib’ (Konsili Trente, Sidang XXII, 17 September 1562), maupun terutama dalam rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam sakramen-sakramen, sehingga bila seseorang melakukan pembaptisan, Kristus sendirilah yang membaptis. Ia hadir dalam sabda-Nya, karena Ia sendirilah yang berbicara bilamana di dalam Gereja Kitab Suci dibacakan. Akhirnya Ia hadir bila Gereja memohon dan bermazmur, sebab Ia telah berjanji, ‘Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di sana Aku berada di tengah-tengah mereka’ (Mat 18:20)” (Sacrosanctum Concilium, 7).
Berbagai macam cara Kristus hadir ini ditekankan kembali oleh Paus Paulus VI dalam Ensikliknya, Mysterium Fidei, tanggal 3 September 1965 (butir 35 s/d 38). “Kehadiran nyata” par excellence Kristus dalam Sakramen Ekaristi disoroti secara istimewa dalam butir 38, namun dengan tetap menyatakan bahwa beberapa kehadiran-Nya yang lain juga sebenarnya “nyata” (riil). Instruksi Eucharisticum Mysterium (Misteri Ekaristi) tanggal 25 Mei 1967 yang diterbitkan oleh Kongregasi Suci Ritus menyatakan seperti berikut: “Supaya para beriman memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang misteri Ekaristi, mereka hendaknya diajar tentang cara-cara pokok bagaimana Kristus hadir dalam Gereja-Nya lewat perayaan-perayaan liturgi” (Eucharisticum Mysterium, 9). Selanjutnya, dalam Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus (Love your Mass) dari Paus Yohanes Paulus tanggal 4 Desember 1988 dalam rangka memperingati 25 tahun penerbitan Konstitusi Sacrosanctum Concilium, disoroti lagi cara-cara Kristus yang selalu hadir dalam Gereja-Nya, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgis (Vicesimus Quintus Annus, 7).
Partisipasi dalam Perayaan Ekaristi. Di atas sudah disinggung pentingnya untuk memanfaatkan semua unsur dan bentuk perayaan yang disediakan oleh Gereja. Hal tersebut memungkinkan umat berpartisipasi secara lebih aktif dan memetik manfaat lebih besar bagi kepentingan rohaninya. Semua itu dilaksanakan dengan memperhatikan kekhususan umat dan tempat (lihat PUMRB, 20).
Perayaan Ekaristi memang mensyaratkan partisipasi umat secara aktif. Tanpa partisipasi, kiranya kita tidak dapat memperoleh apa-apa dari perayaan Ekaristi atau Misa itu. Para Bapak Konsili Vatikan II sejak awal menekankan: “Jangan sampai umat beriman menghadiri misteri iman itu (Ekaristi Suci) sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda buka saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dan dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antara mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua” (Sancrosanctum Concilium, 48).
Sumber-sumber selain Kitab Suci: (1) Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci [4-12-1963]; (2) Dekrit Presbyterorum Ordinis tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam [7-12-1965]; (3) Instruksi Eucharisticum Mysterium tentang Misteri Ekaristi [25-5-1967]; (4) Surat Paus Yohanes Paulus II Dominicae Cenae [24-2-1980]; (5) Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus untuk memperingati 25 tahun penerbitan Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci [4-12-1988]; (6) Katekismus Gereja Katolik; (7) Anthony M. Buono, Active Participation at Mass; (8) Xavier Léon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru; (9) PEDOMAN UMUM MISALE ROMAWI – BARU; (10) Rev. Peter M.J. Stravinskas, The Bible and the Mass – Understanding the Scriptural Basis of the Liturgy; (11) KITAB HUKUM KANONIK (CODEX IURIS CANONICI); (12) Lain-lain.
Cilandak, 24 Februari 2012
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
[1] Untuk “refreshing”, saya menganjurkan anda untuk membaca (lagi), ‘Konstitusi Dogmatis LUMEN GENTIUM tentang Gereja’, 5-8).
[2] Terjemahan Inggris terasa lebih tajam: “Through Christ our Lord You give us all these gifts. You fill them with life and goodness, You bless them and make them holy”; THE WEEKDAY MISSAL – A NEW EDITIONS – Collins, hal. 1311.
[3] Uraian mengenai “roti”, “Tubuh Ekaristis Kristus”, “Anggur” dan “Darah” berikut ini bersumber pada penjelasan-penjelasan yang ada dalam Xavier Léon-Dufour, ENSIKLOPEDI PERJANJIAN BARU, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.
[4] Anthony M. Buono, Active Participation at Mass, New York: Alba House [AMB], hal. 5.
[5] THE BIBLE AND THE MASS – UNDERSTANDING THE SCRIPTURAL BASIS OF THE LITURGY, Ann Arbor,Michigan: Servant Publications, 1989.