Posts from the ‘BINA IMAN DEWASA’ Category

RAHMAT YANG BERLIMPAH: BEBERAPA CATATAN TENTANG DOA

RAHMAT YANG BERLIMPAH: BEBERAPA CATATAN TENTANG DOA 

ROHHULKUDUSDoa adalah suatu karunia atau anugerah.  Mengapa karunia? Karena doa Kristiani adalah berdasarkan pengenalan kita dengan Tuhan Yesus Kristus dan kita mempunyai kuasa Roh Kudus yang menggerakkan dan mengurapi kita, dan bergerak melalui diri kita dalam doa. Doa didasarkan pada kenyataan bahwa kita adalah bagian dari Tubuh Kristus dan berada bersama Yesus dalam doa. Bersatu dengan para malaikat dan para orang kudus di hadapan takhta Allah Bapa, kita mampu untuk menyembah, tidak pernah sendiri, namun selalu sebagai bagian dari komunitas besar yang akan memerintah selamanya bersama dengan Tuhan. Jadi doa adalah suatu karunia yang sungguh luarbiasa.

Kita harus memiliki hasrat mendalam untuk berdoa. Kita harus memiliki rasa dahaga akan doa, mengambil keputusan-keputusan untuk berdoa dan bertobat apabila hidup rohani kita tidak seturut apa yang telah kita putuskan. Karunia doa diberikan kepada kita agar kita dapat bersatu dengan Allah. Melalui karunia doa, kita dapat dipenuhi dengan kasih Allah.

Fondasi yang paling penting

DOA PRIBADIKita berdoa kepada Allah. Barangkali fondasi yang paling penting dari doa adalah bahwa kita memahami siapa Allah itu sebenarnya. Ada banyak aspek terkait pemahaman siapa  Allah itu: Allah itu tanpa kesalahan; Ia tidak pernah berubah pikiran atau berbuat salah; Ia kekal dan penuh kuat-kuasa; Dia Mahatahu dan tanpa kekurangan sedikit pun. Namun di atas segalanya, atribut terbesar Allah adalah kasih-Nya yang sempurna. Kasih Allah itu kekal-abadi; ada sejak sediakala, jauh sebelum kita dilahirkan, dan kasih-Nya itu tidak pernah akan memudar atau luntur. Kasih Allah adalah kasih yang membawa kebebasan dan sukacita kepada anak-anak-Nya. Kasih Allah adalah kasih yang menggerakkan-Nya untuk menyatakan (mewahyukan) diri-Nya kepada umat manusia,  untuk mengundang setiap orang masuk ke dalam relasi kasih dengan diri-Nya. “Mengenal” Allah harus mencakup pengalaman akan kasih-Nya yang mengalir dari hati Tritunggal Mahakudus.

Pada tingkat yang paling dasariah dan mendalam, doa berarti masuk ke dalam kontak dengan Allah, yang adalah kasih (1Yoh 4:8,16). Kasih Allah dapat dilihat secara paling jelas dalam relasi Bapa dengan Yesus, sang Putera. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Kolose, ada tertulis bahwa seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Kristus (Kol 1:19). Bapa mengasihi Putera sedemikian penuh sehingga secara kekal-abadi Ia mencurahkan keseluruhan pribadi-Nya ke dalam diri sang Putera, kepenuhan hidup-Nya sendiri – Sakramen Bapa.

Karena kasih-Nya kepada sang Putera, Bapa menciptakan keseluruhan ciptaan, termasuk manusia. Dalam Kristus, dan sejak sediakala, Bapa mengenal dan mengasihi setiap orang. Ketika Dia memanggil nabi Yeremia, Allah-YHWH bersabda, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau”  (Yer 1:5). Sang pemazmur juga berdoa: “… Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. … Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, … dan  dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentukk sebelum ada satupun dari padanya” (Mzm 139:13,15-17).

Melihat sejarah

Sepanjang pelayanan-Nya di depan publik, Yesus mencerminkan kasih sempurna Allah Bapa dan hasrat-Nya untuk mengumpulkan umat-Nya di sekeliling-Nya. Pada perjamuan terakhir, Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita”  (Luk 22:15). Ini adalah suatu kerinduan yang penuh gairah, sebuah hati yang sepenuhnya dipersiapkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Ini adalah jenis kasih yang berkobar-kobar dalam diri Yesus bagi umat-Nya.

st-augustine-1Dalam sejarah Gereja, Allah terus menyatakan diri-Nya sebagai seorang Bapa yang memiliki hasrat mendalam untuk memanggil anak-anak-Nya dan membentuk mereka menjadi milik-Nya sendiri yang istimewa. Kita dapat melihat ini dalam kehidupan Santo Augustinus dari Hippo [354-430]. Orang kudus ini mengalami kasih Allah yang terus “mengejar”-nya, bahkan ketika dia masih terlibat dalam relasi penuh dosa atau menjadi pengikut aliran bid’ah. Walaupun ada berbagai penghalang seperti ini, Bapa surgawi terus saja “mengejar” Augustinus, untuk menariknya kepada diri-Nya. Akhirnya, Allah menang, seperti diakui oleh Augustinus di kemudian hari:

Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, wahai Keindahan setua lagi semuda ini, betapa lambat Kau kucintai! Engkau waktu itu di dalam dan aku di luar dan di sanalah Kau kucari. Keanggunan benda-benda yang telah Kaubuat itulah yang kuserbu, aku yang kehilangan keanggunan. Engkau bersamaku dan aku tidak bersama-Mu; aku tertahan jauh dari-Mu olehnya, oleh benda-benda itu, yang jika tidak berada dalam diri-Mu, tidaklah bakal ada! Engkau telah mengajak dan memanggil, dan memecahkan ketulianku. Engkau bersinar, Kau cemerlang dan menghalau kebutaanku. Engkau menyebar wangi, aku menghirup, dan terengah-engah Kau kudambakan. Aku telah mencicipi dan aku lapar dan aku haus. Kausentuh aku dan aku berkobar mendambakan kedamaian-Mu. (Pengakuan-Pengakuan,  Kitab X, XXVII.38, terjemahan Ny. Winarsih Arifin dan Dr. Th. Van den End, Yogyakarta/Jakarta: PENERBIT KANISIUS/BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 308-309) 

San-Damiano-1-336x330Dalam hasrat-Nya untuk menarik semua anak-Nya kepada diri-Nya, Allah mencari hati yang akan berkata “ya” kepada-Nya. Santo Fransiskus dari Assisi [1181-1226] adalah suatu contoh yang indah bagaimana sebuah “ya” yang sederhana dapat membawa dampak besar atas seluruh Gereja. Ketika Fransiskus untuk pertama kali mendengar panggilan Allah untuk membangun Gereja-Nya, dia sungguh tidak mempunyai bayangan bagaimana menanggapi panggilan Allah tersebut kecuali dengan mencoba memperbaiki sebuah gereja kecil San Damiano yang sudah berantakan tak terurus. Namun “ya”-nya Fransiskus yang penuh ketaatan memperkenankan Allah untuk membawa suatu pembaharuan besar dalam Gereja pada abad ke-13. Hari ini, Allah masih aktif dan dinamis dalam hasrat-Nya untuk menarik kita kepada diri-Nya, dan melalui doa-lah kita disentuh oleh kerinduan Allah ini.

Duduk bersimpuh di dekat kaki Yesus

Mengutip Injil Yohanes, Katekismus Gereja Katolik (KGK) berbicara mengenai rahmat yang mengalir dari surga apabila kita berdoa: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah” (Yoh 4:10). Mukjizat doa justru menunjukkan diri di sana, di pinggir sumur, tempat kita mengambil air. Di sana Kristus bertemu dengan setiap orang; Ia mencari kita, sebelum kita mencari Dia, dan Ia meminta: “Berilah Aku minum!” Yesus kehausan; permohonan-Nya datang dari kedalaman Allah yang merindukan kita. Entah kita tahu atau tidak, di dalam doa kehausan Allah menemui kehausan kita. Allah merasa haus akan kehausan kita akan Dia  (KGK, 2560). Allah ingin agar kita memandang doa bukan sebagai sebuah beban, melainkan sebagai sebuah tanggapan penuh kasih. Kita mengasihi Allah dan rindu untuk ada bersama dengan-Nya karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita (1Yoh 4:9-10). Doa dimaksudkan untuk memperoleh dua aspek ini: Kita menerima kasih Bapa surgawi, dan kita menjadi lebih dekat kepada-Nya dan kita pun mengasihi Dia sebagai balasan.

2013_LT-MarthaCerita tentang Marta dan Maria menggambarkan sikap yang begitu menyenangkan Yesus (lihat Luk 10:38-42). Kedua perempuan kakak-beradik itu sungguh bergairah untuk menyambut kedatangan Yesus ke dalam rumah mereka, namun dengan dua sikap dan perilaku berbeda satu sama lain. Maria mengesampingkan urusan-urusan (tetek bengek) sehari-hari selama kehadiran Yesus dan ia duduk bersimpuh dekat kaki Yesus dan mendengarkan pengajaran dari Yesus. Yesus sangat senang dengan sikap Maria itu dan memujinya ketika menjawab pertanyaan Marta: “Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia” (Luk 10:42). Tentu saja Yesus tidak menginginkan kita mengabaikan berbagai tanggung jawab kita, namun Ia sangat senang dalam mengajar siapa saja yang mau duduk bersimpuh di dekat kaki-Nya untuk mendengarkan suara-Nya.

KAKI YESUS DIBERSIHKAN DI RUMAH FARISI SIMONSebuah cerita yang lain di mana kita melihat seseorang berada di dekat kaki Yesus adalah cerita tentang seorang perempuan berdosa yang mengurapi Yesus (Luk 7:36-50). Perempuan ini tidak terkendala oleh pandangan orang-orang lain tentang dirinya dalam melakukan tindakannya, walaupun ia mengetahui bahwa dirinya akan menghadapi oposisi dari orang-orang Farisi. Hasratnya akan Yesus mengatasi segala rasa takut akan dihina dan diolok-olok oleh orang-orang munafik tersebut. Bayangkan betapa bahagia Yesus karena perempuan itu membasahi kaki Yesus dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi yang mahal harganya.

MARIA DAN YOHANES DI KAKI SALIB YESUSOrang-orang yang terakhir berada di dekat kaki Yesus di Kalvari adalah ibu-Nya dan saudara ibu-nya, Maria (isteri Klopas), Maria Magdalena dan murid yang dikasihi-Nya, Yohanes (lihat Yoh 19:25). Mereka memandangi Yesus yang tersalib, yang membawa pengampunan dan kesembuhan bagi seluruh umat manusia. Mereka menyaksikan Yesus yang memenuhi sabda-Nya sendiri pada perjamuan terakhir: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya”  (Yoh 15:13).

Seperti orang-orang percaya yang disebutkan di atas, kita (anda dan saya) pun diundang untuk duduk bersimpuh di dekat kaki Yesus selagi kita datang menghadap Dia dalam doa setiap hari. Selagi kita berada di dekat-Nya dan merenungkan sabda-Nya yang disampaikan kepada kita, Yesus akan mengajar kita sebagaimana Dia mengajar Maria (saudari dari Marta). Bilamana kita menyembah Yesus dalam doa pribadi kita, kita mengungkapkan kasih kita dan rasa terima kasih penuh syukur kepada-Nya. Kita mencurahkan hidup kita kepada-Nya, serupa apa yang dilakukan oleh perempuan berdosa yang mengurapi Yesus. Seperti Maria (ibu-Nya) dan yang lain-lain menyaksikan persembahan kurban kasih-Nya di atas kayu salib, kita pun dapat menerima tubuh dan darah-Nya dalam Ekaristi dan merayakan kasih-Nya bagi kita semua, para sahabat-Nya.

Kuasa untuk melakukan transformasi dan pembaharuan

God the FatherKetika anak-anak Allah datang menghadap hadirat-Nya, maka kehidupan mulai berubah. Orang yang sepenuhnya menggantungkan diri pada bukti ilmiah dapat melihat doa sebagai sesuatu yang memiliki “placebo effect”, yaitu hanya memberi manfaat bagi mereka yang ingin percaya bahwa doa itu efektif. Namun dengan mata iman, umat Kristiani melihat hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah – bahwa Bapa surgawi mendengar setiap doa dan mencurahkan rahmat-Nya atas mereka yang mencari Dia dengan segenap hati (lihat Yer 29:13).

Jadi, justru dalam doalah pergumulan-pergumulan dan masalah-masalah berukuran seperti gunung-gunung dapat diatasi. Cerita tentang Ayub menunjukkan bagaimana seseorang yang datang ke hadirat Allah dapat ditransformasikan secara dramatis. Kesusahan-kesusahan yang dialami Ayub sungguh luarbiasa berat: Ia kehilangan segala miliknya; anak-anaknya semua mati secara tragis; dan Ayub sendiri diterpa penyakit yang menjijikkan mata orang yang melihat. Setelah menjalani perjuangan yang cukup lama dengan para sahabatnya yang mencoba dengan sia-sia menasihati Ayub, orang saleh ini mengalami kehadiran Allah (Ayb 38-42). Semua kekhawatiran tentang kondisinya, segala kepahitannya terhadap Allah, semua ratapannya, berakhir pada saat dia memberi tanggapan: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”  (Ayb 42:5). Sungguh sebuah pengalaman akan Allah yang sangat indah. Mengalami banyak penderitaan sebagai pewarta Injil Yesus Kristus, rasul Paulus menulis: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:19-20). Ini pun merupakan kesaksian tentang pengalaman akan Allah (Kristus) yang sungguh luarbiasa.

Hidup kita dapat ditransformasikan selagi kita mengalami kasih Allah dan kehadiran-Nya dalam doa. Rasa takut, keragu-raguan, kebencian, dan keterikatan pada dosa akan menyerah kepada kuasa Allah dan kasih-Nya. Dalam doa, kita dipersatukan secara intim dengan Kristus; oleh karena itu kita mulai mengasihi seperti Dia mengasihi, untuk mengampuni seperti Dia mengampuni, untuk menolak dengan efektif godaan seperti yang telah dilakukan-Nya, dan untuk menggantungkan diri pada Bapa surgawi seperti yang dilakukan-Nya. Doa memang mampu mentransformasikan keberadaan kita!

Cilandak, 26 Juni 2015

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

MARTABAT KITA SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

MARTABAT KITA SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

“Ia datang kepada milik-Nya, tetapi orang-orang milik-Nya itu tidak menerima-Nya. Namun semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang dilahirkan bukan dari darah atau dari keinginan jasmani, bukan pula oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:11-13).

Pada siang hari ini saya akan menulis sedikit permenungan saya tentang martabat kita sebagai anak-anak Allah. Sebagai anak-anak Allah kita “boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2Ptr 1:4). Ini adalah martabat yang agung untuknya kita telah dipanggil, guna menjadi anak-anak Allah yang sesungguhnya. Dalam Injil ada perikop yang diberi judul “Yesus memberkati anak-anak”. Saya salin keseluruhan teksnya dari Injil Markus karena tokh tidak panjang, hanya empat ayat saja: “Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menyentuh mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Melihat hal itu, Yesus marah dan berkata kepada mereka, ‘Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan halang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Allah. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Siapa saja yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.’ Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya di atas mereka Ia memberkati mereka.” (Mrk 10:13-16; bdk. Mat 19:13-15; Luk 18:15-17).

Yesus mengajarkan kepada kita masing-masing apa artinya menjadi seorang anak Allah. Kerajaan Surga dijanjikan kepada mereka yang menyapa Allah sebagai “Abba, Bapa” – kepada mereka yang menjadi seperti anak-anak kecil, yang masuk ke dalam suatu relasi yang akrab dan penuh kasih dengan Allah.

Sekarang, apa artinya “menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil”? Seringkali kita memusatkan perhatian kita pada kualitas-kualitas pribadi yang mencirikan anak-anak dan kita berpikir bahwa kita harus meniru kualitas-kualitas pribadi tersebut dalam kehidupan kita. Anak-anak secara umum dipandang sebagai pribadi-pribadi yang innocent (imut-imut suci tanpa salah), bebas dari akal bulus, menunjukkan afeksi tanpa topeng, menaruh kepercayaan tanpa hitung-hitung, spontan, penggembira, dlsb. Kita – orang dewasa – mencoba untuk membuat karakteristik-karakteristik pribadi ini bagian dari diri kita, dan hasilnya biasanya negatif.

Para orangtua mengetahui bahwa kualitas-kualitas pribadi tersebut benar mencirikan anak-anak, namun para orangtua itu pun mengetahui ada sisi lain dari cerita ini. Anak-anak pun dapat ego-sentris, mau menang sendiri, suka irihati, dlsb. – dan termasuk juga tidak konsisten dalam perilaku mereka. Hampir semua anak bukan merupakan model keutamaan yang dengan mudah kita pahami untuk ditiru seperti diminta oleh Yesus. Jadi, apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Yesus?

Menjadi Anak-Anak

Karakteristik hakiki dari anak-anak yang Yesus ingin kita tiru adalah status mereka sebagai anak-anak. Apa pun karakteristik-karakteristik itu, kehidupan anak-anak kecil pada hakekatnya ditentukan oleh relasi mereka dengan para orangtua mereka – namun mereka adalah tetap anak-anak. Tidak ada sesuatu pun yang mengubah relasi dasar tersebut. Kenyataan ini dengan jelas diungkapkan dalam “Perumpamaan tentang anak yang hilang” (Luk 15:11-32). Si anak bungsu tidak berperilaku sebagai seorang anak yang baik, bahkan setelah pertobatannya dia hanya ingin kembali ke rumah ayahnya sebagai seorang upahan saja dari ayahnya. Walaupun demikian sang ayah menekankan bahwa dia adalah sungguh anaknya dan menyambutnya sepenuh hati sebagai anaknya. Bagaimana anak bungsu itu berperilaku tidak mengubah realitas dasar bahwa dia adalah putera dari ayahnya; juga hal itu tidak akan mengubah cintakasih sang ayah bagi diri si anak.

Ini adalah realitas fundamental bagi kita juga. Petikan dari bab pertama Injil Yohanes di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang mengakui Dia sebagai Tuhan akan dibuat-Nya menjadi anak-anak Allah. Apa yang paling penting bagi kita sebagai umat Kristiani adalah mengakui relasi tersebut dan masuk ke dalam relasi itu secara penuh. Bagaimana kita berperilaku juga penting: Para orangtua tidak menginginkan anak-anak mereka bersikap dan berperilaku tidak taat. Namun realitas dasarnya sederhana saja, yaitu fakta bahwa kita adalah anak-anak Allah.

Dipahami dalam terang ini, kata-kata Yesus “Siapa saja yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya”, mempunyai suatu arti yang berbeda. Kata-kata Yesus ini tidak dimaksudkan mendesak kita untuk mengadopsi karakter seperti anak atau menjadi kekanak-kanakan. Di sini Yesus minta kepada kita untuk mengakui martabat kita sebagai anak-anak Allah yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita. Dengan sangat serius Yesus mengatakan, bahwa kalau kita tidak masuk ke dalam relasi ini dengan Allah, maka kita tidak akan menjadi bagian dari Kerajaan Allah.

Memasuki relasi dengan Allah ini menuntut pengambilan keputusan di pihak kita. Kita dituntut untuk menerima Allah sebagai Bapa kita dan datang menghadap-Nya sebagai Bapa, dalam cintakasih dan penyembahan. Hal ini menuntut bahwa kita mengakui Putera-Nya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, dan kita menundukkan hasrat-hasrat kita terhadap perintah-perintah-Nya, artinya menempatkan perintah-perintah-Nya sebagai yang utama dan pertama dalam skala prioritas kita. Hal ini menuntut kita menerima Roh Kudus ke dalam kehidupan kita sebagai Pembimbing dan Kekuatan kita.

Akan tetapi, banyak lagi yang terlibat dalam proses kita menerima Allah sebagai Bapa kita dan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, jadi bukan suatu pengambilan keputusan yang sederhana dan sekali jadi. Bahkan setelah tanggapan awal terhadap rahmat Allah, seringkali kita perlu berurusan dengan sikap-sikap yang telah kita kembangkan bertahun-tahun lamanya – sikap-sikap yang menghalangi kita mengalami semua buah Roh Kudus dalam hidup kita. Terkadang sikap-sikap kita itu dapat melumpuhkan hidup-doa kita dan menghalang-halangi kita memasuki suatu relasi bebas dengan Allah sebagai Bapa kita. Secara khusus, kita dapat mengalami kesulitan untuk menerima bahwa kita sungguh telah diadopsi sebagai anak-anak Allah, …… sulit untuk memandang Allah sebagai seorang Bapa kita semua dan menghadap-Nya dalam doa sebagai seorang Bapa.

Gambaran-gambaran tentang Allah

Seringkali kita perlu mengoreksi imaji kita tentang Allah. Kalau kita membayangkan Allah sebagai suatu kekuatan yang impersonal yang memegang dan mengendalikan segenap alam semesta, memang sulitlah bagi kita membangun suatu relasi pribadi dengan Dia. Apabila kita membayangkan Allah sebagai Pribadi yang bermarkas jauh dari dunia dan memiliki sikap masa-bodoh terhadap masalah-masalah kita, maka kita tidak akan dapat menghadap-Nya dalam doa dengan keyakinan yang sungguh riil. Jika kita membayangkan Allah sebagai seorang hakim yang keras-kejam yang dengan hati-hati mencatat setiap dosa dan kesalahan kita untuk diperhitungkan dalam Pengadilan Terakhir, maka sungguh sulit bagi kita untuk mendekati Dia dengan berbekal apa pun, kecuali rasa takut yang mendalam. Ada banyak lagi gambaran tentang Allah yang negatif. Satu saja gambaran Allah yang negatif dapat mempengaruhi bawah-sadar kita serta memblokir kita untuk dengan bebas menghadap Allah dalam doa sebagai anak-anak-Nya. Ini adalah gambaran-gambaran Allah yang dapat menjadi tembok penghalang antara kita dan Allah. Penting bagi kita untuk tidak memperkenankan tembok penghalang itu berhasil merintangi niat kita untuk berelasi secara pribadi dengan Bapa surgawi.

Itulah sebabnya mengapa Yesus dengan serius mendesak para pengikut-Nya untuk menjadi anak-anak dalam relasi mereka dengan Bapa surgawi. Itulah sebabnya mengapa Santo Paulus menekankan bahwa Roh yang membimbing kita bukanlah “roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi …… Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, “Ya Abba, ya Bapa! Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah. Jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm 8:15-17). Itulah sebabnya mengapa Yesus mengajar kita untuk berdoa “Bapa Kami” (Mat 6:9-13; bdk. Luk 11:2-4).

Akan tetapi, walaupun kita mengetahui bahwa Allah telah menyatakan (mewahyukan) diri-Nya sebagai Bapa kita melalui Yesus Kristus, kita tetap saja dapat merasa ragu untuk sungguh menerima Dia sebagai Bapa kita. Bahkan ketika kita membuat upaya yang sungguh-sungguh untuk berelasi dengan Allah sebagai Bapa kita, kita tetap saja bingung – gamang dan galau – karena rasa bersalah yang terus-menerus menghantui diri kita.

Rasa bersalah

Kebanyakan kita mempunyai suatu self-image yang buruk. Kita sangat sadar akan kekurangan-kekurangan kita dan berasumsi bahwa setiap orang juga sadar akan hal itu. Kita tahu kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan kita; kita tahu sakit yang disebabkan kesalahan-kesalahan kita atas diri orang-orang lain, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Memang kita dapat menutup-nutupi rasa tidak aman kita di hadapan orang-orang lain, namun kita tidak dapat menyembunyikan semua itu dari pandangan Allah yang maha tahu. Ketika kita mencoba untuk masuk ke hadapan hadirat-Nya, kita dapat membawa-bawa rasa bersalah kita. Kita merasa tidak nyaman di bawah pandangan-Nya, karena kita tahu bahwa Dia mengetahui setiap dosa dan kesalahan kita. Kita merasa malu, tidak nyaman, dan diam-diam merindukan sebuah tempat menyembunyikan diri.

Kita harus menyadari bahwa perasaan-perasaan seperti itu bertentangan dengan segala sesuatu yang Yesus ajarkan kepada kita tentang cintakasih Bapa surgawi kepada kita. Seorang ayah dan ibu tahu bahwa anak-anak mereka yang masih kecil itu lemah; itulah sebabnya mengapa anak-anak secara istimewa membutuhkan cintakasih para orangtua. Apabila anak-anak menjadi sempurna – mandiri dalam segala hal – maka satu aspek pekerjaan para orangtua selesailah sudah. Akan tetapi seorang ibu dan ayah mencintai setiap anak, bahkan dalam hal kebutuhan-kebutuhan khususnya. Yesus mengatakan bahwa Allah Bapa kita mengasihi kita tidak kurang dalam hal kebutuhan-kebutuhan kita yang khusus dan kelemahan-kelemahan kita – dan sesungguhnya jauh lebih daripada kita mengasihi anak-anak kita sendiri: “Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Mat 7:11).

Yesus menerima kedosaan kita sebagai suatu kenyataan. Ia akan berurusan dengan kita dengan cara sama seperti ketika dia berurusan dengan seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berzinah. Yesus tidak mengatakan kepada perempuan itu, “Sesungguhnya engkau tidak berdosa.” Yang dikatakan Yesus adalah: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi” (Yoh 8:11).

Walaupun kita masih bergelimang dalam dosa, Yesus berulang-ulang kali memproklamasikan bahwa Bapa-Nya mengasihi kita semua. Sulit bagi kita menerima kedua kebenaran ini pada waktu bersamaan: Kita adalah para pendosa, namun Allah Bapa kita mengasihi kita. Akan tetapi memang inilah perwahyuan yang dibawa oleh Yesus ke tengah-tengah dunia, suatu perwahyuan yang dikonfirmasi oleh Yesus dengan darah-Nya sendiri, seperti dengan tepatnya ditulis oleh Santo Paulus: “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm 5:8).

Yesus mengatakan kepada kita bahwa Allah itu seperti sang bapa dari anak yang hilang. Bapa itu memberikan pengampunan jauh lebih banyak dari yang dimohonkan anaknya. Sang bapa tidak memperkenankan anaknya tenggelam dalam perasaan bersalah karena telah berdosa melawan surga dan bapanya, melainkan dia menyuruh para pekerjanya untuk menyiapkan pesta perjamuan dalam suasana gembira. Sesungguhnya, apabila kita masuk ke hadapan hadirat Bapa surgawi dengan pertobatan, maka kita tidak perlu merasa bersalah.

Jadi, pendekatan kita kepada Bapa surgawi dalam doa seharusnya sebagai anak-anak dengan Bapa mereka. Sebagai anak-anak pula kita menerima cintakasih-Nya bagi kita dan bercakap-cakap dengan-Nya sebagai Bapa. Sebagai anak-anak pula kita menerima pengampunan-Nya dan bergembira bersama dengan Dia dalam kehadiran-Nya.

Saya menganjurkan anda untuk membaca Mzm 139 sebagai doa anda ketika berhadapan dengan Allah Bapa yang maha tahu.

Catatan Penutup

Dalam suratnya yang pertama, Santo Yohanes menulis: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah” (1Yoh 3:1). Tujuan hidup kita adalah mengkontemplasikan Allah di mana-mana, karena di sanalah Ia berada. Kita harus menanggapi kasih yang mentransformasikan dari Allah dengan menghayati suatu kehidupan yang dipenuhi dengan cintakasih kepada Allah yang melibatkan pengorbanan-diri. Kita menginginkan agar setiap pemikiran, kata dan perbuatan kita dipenuhi dengan cintakasih kita sebagai balasan terhadap kasih Allah. Kita juga harus senantiasa mempunyai hasrat untuk memuji-muji dan memuliakan Allah lewat kesaksian hidup kita.

Sebagai akhir kata marilah saya kutip Santo Paulus lagi: “Di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula melalui Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah anugerah-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian” (Ef 1:4-8).

Cilandak, 23 Juli 2012 [Hari Anak Nasional 2012]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

Catatan: Tulisan ini termuat dalam majalah MediaPASS, Th. X/98 – Agustus 2012.

EKARISTI: BEBERAPA CATATAN

EKARISTI: BEBERAPA CATATAN 

Katekese mengenai Misteri Ekaristi harus diarahkan pada penyadaran para beriman, bahwa perayaan Ekaristi benar-benar merupakan pusat seluruh kehidupan Kristiani, baik pada tingkat Gereja semesta (universal) maupun pada tingkat jemaat-jemaat lokal. Karena “semua sakramen lain, seperti juga segala pelayanan Gereja dan karya kerasulannya, erat berhubungan dengan Ekaristi Kudus dan diarahkan kepadanya. Sebab di dalam Ekaristi Mahakudus terangkumlah seluruh harta rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, kurban Paskah dan Roti kehidupan kita yang memberikan hidup kepada sekalian orang melalui daging-Nya, yang berkat Roh Kudus menjadi hidup dan menghidupkan. Dengan demikian manusia diundang dan dibimbing untuk mempersembahkan diri mereka sendiri, segala jerih payah mereka dan seluruh alam ciptaan bersama dengan Kristus.” (Instruksi Eucharisticum Mysterium tentang Misteri Ekaristi [25-5-1967], 6; bdk. Dekrit Presbyterorum Ordinis tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam [7-12-1965], 5).

Banyak sekali umat Katolik yang selagi menjalani kehidupan di dunia tidak pernah sungguh mengetahui atau memanfaatkan berbagai sarana indah guna mencapai keselamatan yang telah ditempatkan Kristus bagi kita semua melalui Gereja-Nya. Kita menghayati kehidupan sekular dalam sebuah dunia yang adalah sekular pula, hampir tidak menyadari bahwa Yesus Kristus telah membuat dunia ini menjadi sebuah dunia yang sakramental: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru” (Why 21:5) – sebuah dunia di mana setiap kegiatan dan setiap peristiwa dapat menjadi sarana rahmat ilahi yang membawa manusia kepada keselamatan.

Allah mengkomunikasikan diri-Nya kepada kita melalui berbagai gestures, kata-kata dan hal-hal yang bersifat sakramental. Semua itu adalah tindakan-tindakan Allah melalui Roh Kudus-Nya. Gesture utama Allah adalah tindakan menjadi manusia – inkarnasi-Nya. Jadi, Yesus adalah Sakramen yang pertama dan benar, karena Dia adalah tanda yang mujarab dari peng-ilahi-an (Inggris: divinization) umat manusia. Melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus membuat kita mampu berjumpa dengan Allah Tritunggal dan membagi kehidupan ilahi-Nya dengan kita.

Sesungguhnya, segala tindakan Yesus selama kehidupan-Nya di dunia pada akhirnya dimaksudkan untuk memberikan suatu kehidupan – kehidupan kekal. Inilah pesan dari kebangkitan Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25); sebuah ayat Kitab Suci yang begitu akrab terdengar di telinga manakala kita menghadiri Misa atau Ibadat Sabda berkaitan dengan peringatan kematian seorang saudari/saudara kita.

Gereja adalah Sakramen Kristus. Gereja adalah Sakramen Perjumpaan Kristus dengan kita, umat-Nya. Untuk kepentingan orang-orang yang hidup setelah zaman-Nya, Yesus mendirikan Gereja sebagai Sakramen di mana umat berjumpa dengan diri-Nya. Melalui Gereja, Yesus terus aktif di tengah dunia dan berkomunikasi dengan segenap umat manusia.

Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus, Yesus sebagai Kepalanya dan kita adalah para anggotanya. Dengan demikian, Gereja adalah sebuah tanda, sebuah Sakramen, …… Sakramen Kristus. Gereja memproklamasikan Kristus, dan dalam Gereja-lah Kristus dijumpai.[1] Kebersatuan dengan Kristus dan kebersatuan dengan Allah melalui Kristus ini membentuk Kerajaan Allah. Gereja mengakui bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di tengah dunia. Gereja merangkul Kerajaan itu dengan penuh sukacita dan syukur. Gereja berupaya keras untuk meluaskan ini kepada semua orang dan melakukannya lewat Sakramen-sakramen.

Sakramen-sakramen yang dirayakan dengan benar membawa pengharapan Gereja kepada dunia. Sakramen-sakramen adalah “tanda-tanda di muka” tentang sukses dan pemenuhan dunia dalam Kristus Yesus. Seperti Kristus-inkarnasi (Firman yang menjadi manusia; Yoh 1:14) adalah “wajah” Bapa surgawi, maka Gereja adalah “wajah” Kristus yang bangkit dan naik ke surga bagi semua orang di dunia. Gereja adalah tanda yang “mujarab”, Sakramen yang menghadirkan Yesus  bagi dunia.

Maka, Gereja membuat kita mampu untuk berjumpa dengan Kristus dalam Sakramen-sakramen-Nya. Hal ini menyentuh pokok-pokok utama kehidupan kita dan menguduskannya. Semua itu berkisar di sekeliling Misa, yang juga dinamakan Ekaristi.

Ekaristi. Untuk memperoleh suatu ide yang benar tentang peranan Ekaristi dalam kehidupan kita, maka kita harus memandang dunia dengan menggunakan kacamata Alkitab. Dari situ kita akan menyadari bahwa umat manusia adalah instrumen yang dipilih untuk Penebusan kita. Kristus datang ke tengah-tengah dunia untuk menanggung sakit, untuk menderita dan mati dalam daging-Nya; dan Ia bangkit dalam daging-Nya. Jadi daging (badan) dan hal-hal tak bernyawa diasosiasikan dengan misi sang Juruselamat dan kemenangan-Nya atas kematian.

Kita dapat menggunakan segala sumber daya alam semesta dalam mengerjakan keselamatan kita. Dengan kata-kata Doa Syukur Agung I Misa: “Dalam Dia Engkau menciptakan, memberkati dan menganugerahkan segala sesuatu yang baik kepada kami”.[2]

Kita harus menjadi terilhami – seperti ditunjukkan oleh Kitab Suci – dengan kesadaran bahwa manusia menguasai kosmos dan lewat kerja mereka sehari-hari menyempurnakan gambaran ilahi dalam diri mereka. Melalui pekerjaan dan interaksi sosial, mereka mencapai sebuah komunitas relasi antar-pribadi yang berdasarkan kasih. “Allah adalah kasih, dan siapa yang tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1Yoh 4:16). Kita menjadi satu dengan Allah melalui kasih!

Semua ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang kita sebut “Liturgi”. Liturgi adalah sebuah perayaan di mana dirayakan kasih Allah itu. Dengan atau melalui Liturgi inilah Allah disembah dan dimuliakan dan umat (anda dan saya) dibuat menjadi peserta dalam kehidupan Allah dan Kerajaan-Nya. “Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya” (Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci, 10).

(1) Dalam Misa, Yesus yang ilahi-insani sekaligus itu – melalui tindakan Roh-Nya memampukan kita untuk berpartisipasi dalam kehidupan ilahi-Nya. (2) Kita berpartisipasi dalam tindakan suci itu dengan kuat-kuasa yang indah dari akal-budi, perasaan dan pancaindera kita – mendengar, bernyanyi, berbicara, mencicipi dlsb. (3) Ciptaan yang tak bernyawa pun mempunyai peranan: roti, anggur, terang lilin, dupa, pakaian upacara imam, piala, lonceng/bel, organ dll.

Dalam analisis akhir, melalui Liturgi Ekaristi, Kristus menjadi satu dengan anggota-anggota Tubuh Mistik-Nya. Pengudusan dunia jatuh di bawah pengaruh-Nya melalui kerja sama bebas kita yang didorong oleh rahmat.  Dalam artian tertentu, diri kita sendiri adalah substansi yang dipersembahkan dan ditransformasikan dalam Misa, dan melalui kita dunia dipersembahkan dan ditransformasikan dalam perkembangannya setiap hari.

Roti (Tubuh Kristus) dan Anggur (Darah Kristus). Petikan yang indah dari salah satu surat Santo Paulus berikut ini pantas kita renungkan dengan serius dan acap kali: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:16-17). 

Roti.[3] Roti adalah benda yang tidak boleh tidak ada dalam rumah, merupakan makanan dasariah (Am 4:6; Mrk 3:20; Luk 11:5; 15:17), sehingga sering searti dengan makanan/perjamuan pada umumnya (Luk 14:15; Kis 2:42). Roti tidak pernah dibelah dengan pisau melainkan selalu dengan tangan sebagai lambang membagi milik: “memecah-mecahkan roti” searti dengan memberikan roti (Yes 58:7; Yer 16:7), bersatu dengan orang lain, agar tercipta persatuan antara orang-orang yang sedang makan (Mzm 41:10; Mat 14:19; [bdk. Mrk 6:41; Luk 9:16; Yoh 6:11]; Mat 26:26 [bdk. Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:29]; Yoh 13:18; 1Kor 10:16). Roti secara metaforis melambangkan firman Allah, kehidupan sejati manusia (Ul 8:3; Am 8:11; Mat 4:4; bdk. Luk 4:4), yang sebelumnya sudah dilambangkan oleh “manna” yang turun dari surga. Yesus sendiri adalah “roti kehidupan” atau “roti hidup”, satu-satunya roti yang menghidupkan (Yoh 6:35-47), roti yang diberikan-Nya kepada para murid-Nya menjelang pengorbanan-Nya (Mat 26:25 [bdk. Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:23]). Dengan membagi-bagikankan roti kepada orang banyak, Yesus mengajarkan para murid-Nya bagaimana mereka, dengan berlimpah-limpah, seharusnya membagi-bagikan Firman dan Ekaristi (Mat 14:13-21 [bdk. Mrk 6:32-44; Luk 9:10-17]; Mat 15:32-38 [bdk. Mrk 8:1-9]; Yoh 6:1-15). Dalam Liturgi Ekaristi, roti diubah menjadi Tubuh Kristus sendiri.

Tubuh Ekaristis Kristus. Yesus berbicara tentang “tubuh” ketika Dia berbicara tentang kehadiran-Nya secara baru, yaitu secara ekaristis (Mat 26:26; bdk. Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:24). Dalam tubuh yang demikian, semua pengikut Yesus ikut serta sambil membentuk satu tubuh.

Anggur. Dalam Perjanjian Baru, anggur tidak pernah muncul dalam konteks ibadat, kecuali dalam rangka perjamuan (terakhir) Yesus, di mana anggur di sebut “hasil pokok anggur” (Mat 26:29; bdk. Mrk 14:25; Luk 22:18) dan dalam kisah yang menceritakan perdebatan mengenai makanan (Rm 14:21). Secara kiasan, anggur berarti amarah Allah pada akhir zaman (Yes 51:17,22; Yeh 23:31; Why 14:8,10;16:19; 17:2; 18:3; 19:15).  Dalam Liturgi Ekaristi, anggur diubah menjadi darah Kristus sendiri.

Darah. Darah ialah kehidupan (Im 17:11-14) dan kehidupan adalah milik Allah. Darah/nyawa tidak boleh dimakan bersama dengan daging persembahan (Ul 12:23-24; Kis 15:20,29). Darah dipercikkan di atas mezbah, kadang-kadang darah menjadi persembahan (Ibr 9:7; 13:11) bernilai pendamaian. Namun hanya darah Yesus saja yang berdaya-guna (Ibr 10:4,19), sebab Kristus adalah pendamaian sejati (Rm 3:25), darah-Nya adalah “darah Perjanjian demi pengampunan dosa-dosa” (Kel 24:6-8; Mat 26:28; bdk. Mrk 14:24), dan darah itulah yang diminum dalam perjamuan Ekaristi (Yoh 6:53-54; 1Kor 10:16). Yesus menumpahkan darah-Nya dengan sukarela, sambil membaharui Perjanjian (Yes 53:12; Luk 22:20). Inilah darah yang paling bernilai, yaitu yang mengalir dari lambung Yesus (Yoh 19:31-37; 1Ptr 1:19; 1Yoh 5:6-8).

Anthony M. Buono[4] mengatakan, bahwa transubstansiasi roti dan anggur ke dalam tubuh, darah dan keilahian Kristus diperluas ke dalam dunia dan merangkul totalitas dari sukacita dan rasa sakit sebagai akibat dari proses perkembangan yang ditakdirkan secara ilahi. Kristus mengumpulkan semua sukacita dan penderitaan, dan mempersembahkan semua itu kepada Bapa. Dia membuat semua itu menjadi menyelamatkan bagi semua orang yang mengalami. Sebagai akibatnya, kita dapat mengatakan bahwa Misa mencakup suatu konsekrasi (pengudusan) umat manusia. Dunia secara keseluruhan dipersembahkan dan ditransformasikan oleh rahmat yang menyelamatkan dari Kristus melalui mediasi Gereja dalam Misa. Dengan perkataan lain, hal-hal baik yang menyelamatkan yang telah dimenangkan oleh Kristus melalui sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya, diterapkan pada dunia dan segala sesuatu yang ada di dalam dunia itu, di sini dan sekarang. Konsekrasi ini terjadi secara sakramental – yang oleh karenanya tidak sempurna dan harus dilengkapi. Kristus telah melakukan tindakan pemberian persembahan secara definitif. Namun bagi komunitas Kristiani dan untuk dunia, kurban persembahan tidak akan sepenuhnya tercapai sampai pada akhir zaman (AMB, hal. 5).

Liturgi. Semua ini dicapai melalui Liturgi, teristimewa Misa. “Liturgi suci adalah penyembahan yang bersifat publik bahwa Penebus kita, Kepala Gereja, mempersembahkan kepada Bapa surgawi, dan bahwa komunitas orang-orang yang percaya kepada Kristus membayarnya kepada Pemimpinnya (Yesus), dan melalui Dia kepada Bapa yang kekal; singkatnya (liturgi) adalah seluruh penyembahan secara publik oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, Kepala dan para anggotanya” (Paus Pius XII, Ensiklik tentang Liturgi Suci, no. 20; diambil dari AMB, hal. 5-6).

Ini adalah definisi klasik dari “Liturgi”, yang diulangi dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II: “Gereja memenuhi tugas menguduskan secara istimewa dengan liturgi suci, yang merupakan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, di mana pengudusan manusia digambarkan dengan tanda-tanda yang tampak serta dihasilkan dengan cara masing-masing yang khas. Dengan liturgi itu dipersembahkan juga ibadat publik yang utuh kepada Allah oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala serta anggota-anggota-Nya” (KHK, Kanon 834 § 1). “Ibadat semacam ini terjadi apabila dilaksanakan atas nama Gereja oleh orang-orang yang ditugaskan secara legitim serta dengan perbuatan-perbuatan yang telah disetujui oleh otoritas Gereja” (KHK, Kanon 834 § 2). Walaupun demikian, bagi kebanyakan kita, Liturgi adalah sepatah kata yang “berat”, sepatah kata yang jarang sekali kita gunakan dalam pembicaraan sehari-hari.

Aslinya, kata itu menunjukkan pekerjaan sukarela bagi umat. Terjemahan dalam bahasa Yunani atas Kitab Suci Yahudi yang diselesaikan pada abad ke-3 SM dan dikenal sebagai Septuaginta (LXX) membuat arti kata ini menjadi lebih khusus, yaitu penyembahan  oleh seorang imam di Bait Allah. Gereja perdana menggunakan kata ini untuk suatu kebaktian penyembahan di dalam mana masing-masing anggota komunitas mempersembahkan kepada Allah atas nama semua anggota seturut peranannya masing-masing. Pada abad pertengahan kata ini menunjukkan kebaktian penyembahan resmi Gereja.

Jadi, Liturgi adalah suatu kerja ilahi yang dipercayakan kepada umat Allah. Liturgi adalah melanjutkan pekerjaan Kristus oleh Gereja-Nya dalam kebersatuan dengan diri-Nya. Dengan demikian, orang-orang yang tidak berjumpa dengan Kristus dalam kehidupan-Nya di dunia sekarang dapat berjumpa dengan Dia dalam kemuliaan melalui Liturgi dan dapat bersatu dengan Dia dalam kurban persembahan-Nya kepada Bapa yang dibuat sekali dan untuk selama-lamanya (Ibr 10:14).

Jika kita memandang Liturgi dengan cara ini, maka sebagian dari sifatnya yang terasa “berat” tadi pun akan terlepaskan/terbebaskan. Sekarang dapat terlihat apa itu Liturgi: suatu kunci kehidupan, suatu permohonan yang dipenuhi dengan pengharapan, suatu perluasan dari Misteri Paskah (yaitu sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus) yang diperuntukkan bagi segala zaman dan semua orang, dan sesungguhnya untuk segenap alam semesta.

Melalui baptisan yang menjadikan kita imam dalam artiannya yang umum, adalah privilese kita sebagai orang Kristiani untuk turut ambil bagian dalam doa Gereja. Adalah privilese kita untuk turut ambil bagian dalam doa ini (a) melalui suatu tatanan hirarkis yang hakiki untuk hal itu. Namun itu pun privilese kita untuk turut ambil bagian dalam doa ini (b) secara berjemaah (komunal) sebagai anggota-anggota komunitas Gereja. Adalah privilese kita untuk dikuduskan oleh doa ini (c) melalui masuknya kita ke dalam Misteri Paskah Kristus. Akhirnya, adalah privilese kita untuk diajar oleh doa ini (d) sebagai bagian dari mereka, kepada siapa Allah berbicara melalui Kristus dan Roh.

Tanda-tanda dan Ekaristi. Misa – seperti semua ritus-ritus sakramental lainnya – dapat dikatakan merupakan suatu dialog antara Allah dan umat-Nya. Terlebih lagi, Misa adalah suatu rituale di mana Allah bertindak dan umat-Nya menjadi terlibat. Dalam komunikasi ini, Misa menggunakan tanda-tanda inderawi dan juga kata-kata. Misa menyangkut sikap tubuh, melibatkan gestures, menggunakan benda-benda, dilaksanakan dalam tempat-tempat yang nyata, dan dalam Misa itu objek-objek tertentu diberkati dan dikuduskan.

Beberapa dari tanda-tanda natural ini, lewat penggunaan berbagai imaji (gambaran) dan simbol/lambang yang sudah ada dalam ciptaan yang mempunyai suatu gaung tertentu dalam hati manusia. Hampir semua tanda-tanda dalam Misa itu adalah tanda-tanda alkitabiah. Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda tertentu yang Yesus sendiri gunakan pada waktu Dia menetapkan Ekaristi, juga tanda-tanda yang digunakan oleh para pendahulu kita (dalam Iman Kristiani) seperti digambarkan oleh bagian-bagian Kitab Suci lainnya.

Lewat tanda-tanda itu iman umat diungkapkan, dipupuk, dan diperkuat. Oleh karena itu sungguh pentinglah untuk memanfaatkan semua unsur dan bentuk perayaan yang disediakan oleh Gereja. Hal itu memungkinkan umat untuk ikut ambil bagian secara lebih aktif dan memetik manfaat lebih besar bagi kepentingan rohaninya (lihat ‘Pedoman Umum Misale Romanum Baru’ [PUMRB], 20)

Kitab Suci dan Perayaan Ekaristi. Pada kenyataannya, Misa suka dijuluki “Alkitab dalam Aksi” (Inggris: Bible in Action), karena sabda Alllah dalam Kitab Suci meresap dalam setiap bagian ritus-ritus yang ada di dalamnya. Misa Kudus atau Perayaan Ekaristi mencakup pembacaan sabda Allah dari Kitab Suci termasuk Mazmur Tanggapan; Nyanyian pendek dari Kitab Suci (berbagai antifon dan madah), Rumus-rumus dari Kitab Suci (sapaan, aklamasi narasi institusi dalam Doa Syukur Agung), alusi-alusi pada Kitab Suci (doa-doa), Instruksi alkitabiah (homili), dan doa-doa umat yang terinspirasikan oleh Kitab Suci.

Tentang hal ini, ‘Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci’ menyatakan sebagai berikut: “Dalam perayaan Liturgi Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab Sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab Suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat” (Sacrosanctum Concilium, 24).

Perayaan Ekaristi terdiri dari empat bagian: (1) Bagian pembuka; (2) Ibadat/Liturgi Sabda; (3) Liturgi Ekaristi; dan (4) Perutusan yang merupakan bagian terakhir dari Perayaan Ekaristi (lihat Surat Gembala Prapaskah 2012 Keuskupan Agung Jakarta, 5). Jadi, dapat kita katakan bahwa dua bagian pokok dari perayaan Ekaristi adalah Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi (yang bermuara pada komuni kudus). Oleh karena itu tidak mengherankanlah apabila dikatakan ada dua meja dalam perayaan Ekaristi: (1) Meja Sabda Allah (Inggris: The Table of the Word of God); dan (2) Meja Roti Tuhan (Inggris: The Table of the Bread of the Lord), yang satu tidak dapat ada tanpa meja yang lain. Uraian tentang kedua meja itu dapat dibaca dalam ‘Surat Paus Yohanes Paulus II tanggal 24 Februari 1980 Dominicae Cenae (Judul dokumen dalam bahasa Inggris: The Holy Eucharist) tentang Misteri dan Kebaktian Penyembahan Ekaristi Kudus (Bagian III).

Kritik negatif yang mengatakan bahwa Perayaan Ekaristi tidak alkitabiah sangat tidak mengenai sasaran. Ada sebuah buku karangan Romo Peter M.J. Stravinskas[5] yang dengan jelas mengemukakan betapa alkitabiahnya Misa atau Perayaan Ekaristi Kudus itu.

Kristus dan Perayaan Ekaristi. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan: “Kristus sendiri, Imam Agung abadi Perjanjian Baru, mempersembahkan kurban Ekaristi melalui pelayanan imam. Demikian juga Kristus sendirilah menjadi bahan persembahan dalam kurban Ekaristi. Ia sendiri sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur” (KGK, 1410). Memang, selebran utama dalam Misa adalah Kristus sendiri. Selebran sekunder adalah imam tertahbis yang berdiri di altar in persona Christi. Katekismus Gereja Katolik menyatakan: “Hanya para imam yang ditahbiskan secara sah, dapat memimpin upacara Ekaristi dan menkonsekrir roti dan anggur supaya menjadi tubuh dan darah Kristus” (KGK, 1411).

Sesungguhnya perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis. Baik Gereja universal dan Gereja partikular, maupun bagi setiap orang beriman, Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristiani. Sebab dalam perayaan Ekaristi terletak puncak karya Allah menguduskan dunia, dan puncak karya manusia memuliakan Bapa surgawi lewat Kristus, Putera Allah, dalam Roh Kudus. Kecuali itu, perayaan Ekaristi merupakan pengenangan misteri penebusan sepanjang tahun. Dengan demikian, boleh dikatakan misteri penebusan tersebut dihadirkan untuk umat. Segala perayaan ibadat lainnya, juga pekerjaan sehari-hari dalam kehidupan Kristiani, berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi: bersumber dari padanya dan tertuju kepadanya (lihat PUMRB, 16).

Oleh karena itu, sungguh penting untuk mengatur perayaan Ekaristi atau Perjamuan Tuhan tersebut sedemikian rupa sehingga para pelayan dan umat beriman lainnya, dapat turut ambil bagian dalam perayaan itu menurut tugas dan peran masing-masing, serta dapat memetik buah-hasil Ekaristi sepenuh-penuhnya. Itulah yang dikehendaki Kristus ketika menetapkan kurban ekaristis Tubuh dan Darah-Nya. Dengan maksud itu pula Ia mempercayakan misteri ini kepada Gereja, mempelainya yang terkasih, sebagai kenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya (PUMRB, 17). Jadi, dalam Misa setiap orang mempunyai tugas untuk dilaksanakan sebagai akibat imamat-umum yang diterimanya pada waktu baptisan (tentang imamat-umum bacalah Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja, 34).

Berbagai macam cara Kristus hadir dalam perayaan Ekaristi. Hal ini sudah disinggung oleh para Bapak Konsili Vatikan II sebagai berikut: “Untuk melaksanakan karya yang begitu besar, Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, ‘karena samalah Dia yang kini mempersembahkan diri lewat pelayanan iman dengan Dia yang dulu mengurbankan diri di kayu salib’ (Konsili Trente, Sidang XXII, 17 September 1562), maupun terutama dalam rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam sakramen-sakramen, sehingga bila seseorang melakukan pembaptisan, Kristus sendirilah yang membaptis. Ia hadir  dalam sabda-Nya, karena Ia sendirilah yang berbicara bilamana di dalam Gereja Kitab Suci dibacakan. Akhirnya Ia hadir bila Gereja memohon dan bermazmur, sebab Ia telah berjanji, ‘Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di sana Aku  berada di tengah-tengah mereka’ (Mat 18:20)” (Sacrosanctum Concilium, 7).

Berbagai macam cara Kristus hadir ini ditekankan kembali oleh Paus Paulus VI dalam Ensikliknya, Mysterium Fidei, tanggal 3 September 1965 (butir 35 s/d 38). “Kehadiran nyata” par excellence Kristus dalam Sakramen Ekaristi disoroti secara istimewa dalam butir 38, namun dengan tetap menyatakan bahwa beberapa kehadiran-Nya yang lain juga sebenarnya “nyata” (riil). Instruksi Eucharisticum Mysterium (Misteri Ekaristi) tanggal 25 Mei 1967 yang diterbitkan oleh Kongregasi Suci Ritus menyatakan seperti berikut: “Supaya para beriman memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang misteri Ekaristi, mereka hendaknya diajar tentang cara-cara pokok bagaimana Kristus hadir dalam Gereja-Nya lewat perayaan-perayaan liturgi” (Eucharisticum Mysterium, 9). Selanjutnya, dalam Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus (Love your Mass) dari Paus Yohanes Paulus tanggal 4 Desember 1988 dalam rangka memperingati 25 tahun penerbitan Konstitusi Sacrosanctum Concilium, disoroti lagi cara-cara Kristus yang selalu hadir dalam Gereja-Nya, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgis (Vicesimus Quintus Annus, 7).

Partisipasi dalam Perayaan Ekaristi. Di atas sudah disinggung pentingnya untuk memanfaatkan semua unsur dan bentuk perayaan yang disediakan oleh Gereja. Hal tersebut memungkinkan umat berpartisipasi secara lebih aktif dan memetik manfaat lebih besar bagi kepentingan rohaninya. Semua itu dilaksanakan dengan memperhatikan kekhususan umat dan tempat (lihat PUMRB, 20).

Perayaan Ekaristi memang mensyaratkan partisipasi umat secara aktif. Tanpa partisipasi, kiranya kita tidak dapat memperoleh apa-apa dari perayaan Ekaristi atau Misa itu. Para Bapak Konsili Vatikan II sejak awal menekankan: “Jangan sampai umat beriman menghadiri misteri iman itu (Ekaristi Suci) sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda buka saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dan dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antara mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua” (Sancrosanctum Concilium, 48).

Sumber-sumber selain Kitab Suci: (1) Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci [4-12-1963]; (2) Dekrit Presbyterorum Ordinis tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam [7-12-1965]; (3) Instruksi Eucharisticum Mysterium tentang Misteri Ekaristi [25-5-1967]; (4) Surat Paus Yohanes Paulus II Dominicae Cenae [24-2-1980]; (5) Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus untuk memperingati 25 tahun penerbitan Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci [4-12-1988]; (6) Katekismus Gereja Katolik; (7) Anthony M. Buono, Active Participation at Mass; (8) Xavier Léon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru; (9) PEDOMAN UMUM MISALE ROMAWI – BARU; (10) Rev. Peter M.J. Stravinskas, The Bible and the Mass – Understanding the Scriptural Basis of the Liturgy; (11) KITAB HUKUM KANONIK (CODEX IURIS CANONICI); (12) Lain-lain.

Cilandak, 24 Februari 2012 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS


[1] Untuk “refreshing”, saya menganjurkan anda untuk membaca (lagi), ‘Konstitusi Dogmatis LUMEN GENTIUM tentang Gereja’, 5-8).

[2] Terjemahan Inggris terasa lebih tajam: “Through Christ our Lord You give us all these gifts. You fill them with life and goodness, You bless them and make them holy”; THE WEEKDAY MISSAL – A NEW EDITIONS – Collins, hal. 1311.

[3] Uraian mengenai “roti”, “Tubuh Ekaristis Kristus”, “Anggur” dan “Darah” berikut ini bersumber pada penjelasan-penjelasan yang ada dalam Xavier Léon-Dufour, ENSIKLOPEDI PERJANJIAN BARU, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.

[4] Anthony M. Buono, Active Participation at Mass, New York: Alba House [AMB], hal. 5.

[5] THE BIBLE AND THE MASS – UNDERSTANDING THE SCRIPTURAL BASIS OF THE LITURGY, Ann Arbor,Michigan: Servant Publications,  1989.

JALAN SALIB [2]

JALAN SALIB [2] 

Bagaimana caranya kita berdoa “Jalan Salib”? Ada banyak cara berdoa “Jalan Salib”. Dalam masa Prapaskah, gereja-gereja paroki dipenuhi oleh umat yang mendoakannya sebagai sebuah komunitas, khususnya pada setiap hari Jumat. Memang penderitaan sengsara cenderung untuk memisahkan dan mengisolasikan diri kita, namun kalau kita memperingati penderitaan sengsara Yesus sebagai sebuah komunitas, maka hal tersebut cenderung untuk mengikat kita bersama, membuat kita lebih menjadi satu dengan Dia dan antara kita satu sama lain. Bukankah perasaan “ke kita-an” (Inggris: We-ness) atau “kebersamaan” (Inggris: togetherness) sangat terasa ketika kita sebagai serombongan peziarah bersama-sama berdoa “Jalan Salib”, di jalan yang mendaki menuju Gua Maria, dari perhentian yang satu ke perhentian yang lain? 

Kita juga dapat mendoakan “Jalan Salib” secara pribadi, baik di gereja, rumah, di halaman rumah retret maupun dalam ziarah perorangan di tempat ziarah. Tentunya mendoakan “Jalan Salib” secara pribadi ini terlebih-lebih merupakan suatu meditasi dalam keheningan. Mendoakan “Jalan Salib” seperti ini dapat secara mendalam membuat kita mendapatkan pengalaman yang intim/akrab, memberikan kepada kita perasaan seakan sedang berjalan bersama Yesus menuju salib-Nya di bukit Golgota. 

Berjalan dari satu perhentian ke perhentian yang lainnya pada dirinya  juga merupakan suatu bentuk doa. Dalam artian tertentu, kita sedang berdoa dengan kaki-kaki kita. Terlalu sering kita berdoa hanya dengan menggunakan pikiran kita. Berjalan dari satu perhentian ke perhentian lainnya membantu kita untuk menjadikan doa kita lebih lengkap, dalam artian kita membawa tubuh kita sejalan dengan pikiran kita, serupa dengan cara yang dilakukan Yesus ketika memanggul salib-Nya menuju Golgota, dan seperti yang  dipelajari oleh Santo Fransiskus dari Assisi ketika dia menerima “Stigmata”. 

Mengenang dan menghidupi kembali. Pentinglah untuk kita ketahui, bahwa apabila kita berdoa “Jalan Salib”, kita sebenarnya tidak sekadar mengingat-ingat atau mengenang suatu peristiwa sejarah yang terjadi sekitar 2.000 tahun silam. Orang-orang Yahudi percaya, bahwa dengan melakukan-ulang suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau, kiranya kita dapat berpartisipasi dalam peristiwa tersebut. Inilah yang dinamakan anamnesis, dan ini adalah dasar bagi kita untuk memahami Misa Kudus atau Perayaan Ekaristi. Pada perayaan Ekaristi, kita hadir dalam (gedung) gereja kita masing-masing, namun dalam artian tertentu dapat juga dikatakan bahwa kita pun hadir dalam “Perjamuan Terakhir” Tuhan Yesus dengan para murid-Nya sebelum sengsara dan kematian-Nya di atas kayu salib di Golgota, dan juga kebangkitan-Nya. Jadi, kita ‘melampaui’ saat kini dan secara mistis mengalami sedikit dari kekekalan-abadi. 

Hal ini pula yang kita lakukan manakala kita berdoa “Jalan Salib”. Kita tidak hanya mengenang sebuah cerita lama tentang sengsara dan kematian Yesus Kristus, melainkan juga benar-benar ‘masuk’ ke dalam cerita itu. Kasih Kristus diungkapkan oleh setiap perhentian dan kasih kita kepada-Nya menjembatani kesenjangan yang ada antara apa yang terjadi sekitar 2.000 tahun lalu dengan kehidupan kita sekarang. Kita melihat Yesus jatuh di bawah salib  sekali, dua kali dan tiga kali dan sungguh merasakan betapa sakitnya hal tersebut. Kita menjadi Veronika dan mencoba melayani Yesus dengan menghusap wajah-Nya dengan kain bersih yang kita miliki. Kita berdiri dengan kaki bergetar bersama Bunda Maria selagi dia menyaksikan sendiri dengan penuh kepedihan Anak-Nya yang sedang meregang nyawa dan mengucapkan tujuh kata-kata-Nya dari kayu salib. Dengan demikian, kita tidak lagi sekadar menjadi penonton. Seperti Santo Fransiskus dari Assisi, kita pun menjadi satu dengan Kristus sendiri. 

Penderitaan sengsara kita. “Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salib-Nya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). “Siapa  saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:38). 

Yesus mengatakan kepada para murid-Nya untuk memikul salib mereka masing-masing dan mengikut Dia. “Jalan Salib” memberi kesempatan kepada kita untuk melakukan hal yang sama. Kita mati terhadap diri kita sendiri manakala kita merefleksikan dosa-dosa kita dan ingat bahwa Yesus mati demi pengampunan dosa-dosa kita itu. Selagi kita mengenang penderitaan sengsara Yesus, kita juga dapat mengingat-ingat bagaimana kita telah berdosa terhadap Allah dan sesama kita, lewat pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian kita. 

Apabila kita mengingat bagaimana Yesus diadili/dihakimi, maka kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita juga pernah menghakimi orang-orang lain. Selagi kita mengenang kejatuhan Yesus sampai tiga kali, kita juga dapat mengingat-ingat saat-saat kita melihat orang-orang lain jatuh dan kita tidak berbuat apa-apa untuk membantu mereka. 

Dalam “Jalan Salib” kita juga memikul salib kita dengan menggabungkan penderitaan-penderitaan kita dengan penderitaan-penderitaan Yesus. Penderitaan seringkali membuat kita merasa sedang disalibkan dan tidak ada seorang pun yang menolong diri kita. Akan tetapi, dalam “Jalan Salib” kita diingatkan siapakah yang ada pada sisi lain salib kita itu: Yesus sendiri, yang selalu ada bersama kita! 

“Jalan Salib” juga dapat mendorong kita untuk memikul salib dari tantangan untuk menghayati iman-kepercayaan kita secara lebih mendalam. “Jalan Salib” menolong kita menemukan keberanian untuk menolak hal-hal buruk yang telah memisahkan kita dari kasih Allah, disalibkan terhadap dunia sehingga kita dapat memberikan diri kita sendiri kepada Allah dan sesama kita secara lebih penuh dan total. Bersama Santo Paulus kita pun dapat berkata: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”  (Gal 2:19-20). 

Akhirnya, “Jalan Salib” memberikan kepada kita kesempatan untuk mengungkapkan solidaritas kita dengan penderitaan dunia. Manakala kita berdoa “Jalan Salib” kita dapat mempraktekkan bela rasa (Inggris: Compassion = menderita bersama). Kita dapat mengambil oper penderitaan orang-orang lain juga sehingga mereka tidak perlu memikul beban penderitaan mereka sendiri lagi. 

Kita pun diubah. Ada peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan kita yang mengubah kita selamanya, misalnya kematian seseorang yang sangat kita kasihi dll., kesemuanya meninggalkan bekas yang tak terhapuskan pada diri kita. “Jalan Salib” adalah seperti itu. Bagaimana kehidupan kita akan tetap sama, setelah kita mengalami kasih Yesus yang begitu mendalam? Bagaimana kita akan memandang diri kita dan dunia dengan pandangan mata yang sama, setelah kita memandang Dia yang telah disalibkan dan dihujam lambung-Nya dengan tombak tentara Romawi? Yesus telah mengasihi kita sampai mati, seperti yang telah diajarkan-Nya sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Dengan demikian, bagaimana kita tidak dapat dipenuhi dengan rasa syukur yang berlimpah dan ketetapan hati untuk hidup dalam kasih-Nya itu? 

Catatan Penutup. Leonardo Boff, seorang teolog dan mantan imam Fransiskan dari negeri Brasil (catatan: bagi saya pribadi dia adalah seorang Fransiskan sejati), pernah menulis, bahwa penderitaan sengsara Yesus merupakan konsekuensi dari kesetiaan-Nya kepada Bapa-Nya dan sesama manusia. Dalam menghadapi tentangan dan penolakan manusia, Bapa tidak pernah kendur dalam berkehendak untuk mendirikan Kerajaan-Nya, bahkan sekarang di dunia ini, walaupun hal ini akan berakibat pada kematian Putera-Nya sendiri. Dengan keadaan dunia yang penuh dosa, maka Yesus harus mati apabila Dia sungguh ingin taat dan setia kepada Bapa-Nya. Meski pun ditolak oleh manusia, kerajaan Allah berjaya melalui pengorbanan Putera-Nya, Yesus, yang menerima diri-Nya sebagai kurban persembahan dalam kebebasan yang tidak mementingkan diri sendiri, bukannya secara fatalistik. 

Pada hari ini penderitaan sengsara Kristus yang mistis, terwujud dalam kehidupan orang-orang yang dikorbankan demi maksud-tujuan keadilan, memelihara struktur yang sama seperti sengsara dari Yesus historis. Seperti juga Yesus, banyak orang pada hari ini dianiaya dan dibunuh karena membela hak-hak ‘wong cilik’ dan klaim-klaim yang adil dari orang-orang miskin. Mereka menderita karena kesetiaan mereka kepada Allah, yang minta kepada mereka untuk mengorbankan hidup mereka demi maksud-tujuan yang mulia itu.  Berbagai maksud-tujuan itu lebih besar daripada kehidupan itu sendiri, karena merupakan maksud-tujuan Allah dan Kerajaan Allah. Orang-orang ini lebih memilih kemuliaan dari suatu ‘kematian yang mengerikan’ daripada suatu ‘kemerdekaan yang terkutuk’, seperti dinyatakan oleh seorang martir Kristiani dari abad ketiga. 

Kebangkitan Yesus yang tersalib membuktikan bahwa pengorbanan hidup seseorang karena kasih kepada ‘wong cilik’ dan mereka yang dilecehkan bukanlah tanpa makna. Hal itu berarti ikut ambil bagian dalam kepenuhan hidup dan kemenangan definitif dari keadilan. Sang Tersalib adalah Dia yang hidup. Mereka yang tersalib hari ini juga akan hidup (Leonardo Boff, hal. ix-x). 

Sumber: (1) Leonardo Boff, WAY OF THE CROSS = WAY OF JUSTICE, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1980; (2) Matthew Bunson, “Our Sunday Visitor’s ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY”, Huntington, Indiana: Our Sundary Visitor, 1995; (3) Danit Hadary-Salomon (Project Editor), “Egeria in the Holy Land” & “The Great Week – A Day Planner”, dalam “2000 YEARS OF PILGRIMAGE TO THE HOLY LAND”, Petah Tikva, Israel: Alfa Communication, 1999, hal. 38-39; (4) Michael Walsh, “DICTIONARY OF CATHOLIC DEVOTIONS”, San Francisco, California: HarperSanFrancisco, 1993, hal. 250-252; (5) Fr. Jude Winkler OFMConv., “A Look at the Stations of the Cross, the WORLD among us, Lent 2004, hal. 66-70. 

Cilandak, 6 April 2011 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

JALAN SALIB [1]

JALAN SALIB [1] 

Imaji Yesus yang tersalib, baik dalam bentuk gambar maupun salib dengan corpus, barangkali menimbulkan rasa “ngeri” bagi banyak orang, namun seseorang dengan kesederhanaan yang inosen seperti seorang anak kecil dapat memandang Dia yang tersalib itu melampaui kekejaman salib itu sendiri. Dia dimampukan untuk melihat kasih yang diungkapkan dari/oleh salib itu. 

Kasih inilah yang sebenarnya kita rayakan manakala kita berdoa “Jalan Salib”. Dalam devosi “Jalan Salib” ini kita tidak hanya memperingati peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar 2.000 tahun lalu. Kita masuk ke dalam penderitaan “sengsara Kristus” untuk mengalami bagaimana Dia memberikan hidup-Nya dan mencurahkan kasih-Nya sehabis-habisnya demi pengampunan dosa kita-manusia. 

Asal-usul Devosi Jalan Salib

“Jalan Salib” (Bahasa Inggris: Stations of the Cross atau Way of the Cross) merupakan salah satu bentuk devosi tertua dalam Gereja. “Jalan Salib” memberi ikhtisar (lewat  berbagai gambar/lukisan atau imaji lainnya seperti patung-patung) dari rute yang dijalani Yesus Kristus pada waktu memanggul salib menuju tempat penyaliban-Nya. Kapan sesungguhnya devosi ini berawal-mula tergantung pada apa saja yang membentuk praktek “Jalan Salib” itu. Apabila “Jalan Salib” dipandang sebagai ikhtisar dari beberapa tempat suci di Yerusalem yang secara spesifik dikaitkan dengan jam-jam terakhir Kristus, maka ada beberapa bangunan (gereja dan biara monastik) di Eropa yang mencoba untuk melakukannya. Yang paling tua adalah gereja San Stefano di Bologna dari abad ke-5, walaupun ini dapat dinilai sebagai kasus yang berdiri sendiri. 

Praktek kesalehan para peziarah ke Tanah Suci. Kelihatannya devosi “Jalan Salib” berawal-mula dalam praktek kesalehan para peziarah ke Tanah Suci yang mengunjungi situs-situs/tempat-tempat di mana Yesus pernah hidup, menderita sengsara dan bangkit dari antara orang mati. Antara lain, para peziarah itu akan mengunjungi Golgota dan kubur Yesus, keduanya kemudian “dimasukkan” ke dalam Gereja yang dikenal sebagai “Church of the Holy Sepulchre” (Gereja Makam Suci).  Para peziarah merasakan adanya sesuatu yang penuh kuat-kuasa ketika benar menyentuh tempat di mana Yesus wafat dan bangkit. 

Suster Egeria. Pada tahun 1884, di dalam perpustakaan salah satu biara monastik di Arezzo, Italia, sebuah dokumen berbahasa Latin yang menggambarkan sebuah perjalanan ziarah ke Tanah Suci berhasil ditemukan. Baik awal maupun akhir dari dokumen tersebut sudah hilang, juga dua halaman bagian tengahnya. Susunan tulisan mengindikasikan bahwa tulisan ini adalah sepucuk surat yang ditulis oleh seorang perempuan pada akhir zaman kuno, namun sayangnya nama sang penulis dan detil-detil pengidentikasian lainnya sudah tidak dapat ditemukan. Pada abad ke-20, berbagai komparasi dengan manuskrip-manuskrip lainnya dan juga petikan-petikan dari dokumen-dokumen historis lainnya membantu mengidentikasikan penulis sebagai suster (biarawati) yang bernama Egeria, yang sebelumnya adalah seorang perempuan kaya keturunan Spanyol yang berziarah ke Tanah Suci pada akhir abad ke-4. Selama perjalanan ziarahnya, Egeria mengunjungi Mesir dan Sinai, mengunjungi tempat-tempat suci yang terletak di Tanah Suci dan Siria, bahkan dia tinggal beberapa tahun di Yerusalem (381-384). 

Salah satu bagian yang paling menarik dari surat Egeria ini adalah yang menggambarkan liturgi di Yerusalem dan lingkaran liturgi dari tahun Kristiani. Secara mendetil Egeria mencatat upacara-upacara yang dilaksanakan di Yerusalem, doa-doa dan prosesi-prosesi yang ada. Tak lupa dia mencatat pengalamannya pribadi pada waktu berpartisipasi dalam semua hal itu. Pada hari Minggu awal pekan suci (sekarang dikenal sebagai hari Minggu Palma), misalnya, sang selebran akan membacakan kisah alkitabiah tentang kebangkitan Tuhan. Egeria menulis: “Ketika pembacaan di mulai, terdengarlah suara semua orang mendesah, merintih serta mengerang, dengan begitu banyak linangan air mata karena Tuhan telah menanggung penderitaan bagi kita”. Kemudian pada hari Jumat Agung, “emosi yang ditunjukkan dan rasa duka semua orang pada setiap pelajaran dan doa sangatlah indah; karena tidak ada seorang pun, baik besar ataupun kecil, yang selama tiga jam pada hari itu tidak meratapi lebih daripada yang kita dapat bayangkan, bahwa Tuhan telah menanggung penderitaan sedemikian berat bagi kita”. 

Ziarah ke Tanah Suci. Setelah ziarah ke Tanah Suci menjadi sesuatu yang biasa dilakukan pada abad pertengahan. Praktek untuk memperingati sengsara Yesus menjadi begitu dihargai sehingga bangunan-bangunan gereja dan biara monastik di Eropa seperti dimaksudkan di atas, barangkali dengan altar-altar yang didedikasikan kepada berbagai peristiwa dalam kisah-kisah Injil, dan tempat-tempat suci di Tanah Suci menjadi lebih biasa terlihat pada abad ke-14 dan ke-15. Pada masa yang sama tercatatlah bahwa ada seorang mistikus dari negeri Jerman, Henry Suso [c.1295-1366] yang mengikuti jejak Kristus, setapak demi setapak dalam imajinasinya selagi dia memeditasikan sengsara Kristus, dengan membuat devosinya itu seakan suatu peziarahan spiritual sepanjang jalan salib-Nya. Dengan demikian orang-orang yang karena sesuatu alasan tidak dapat melakukan perjalanan ziarah yang lama dan sulit ke Tanah Suci akan dapat mengalaminya secara spiritual di tempat-tempat itu. Kira-kira dalam periode yang sama catatan-catatan mengenai perjalanan ziarah ke Yerusalem mulai berisikan acuan-acuan ke beberapa tempat/situs di Via dolorosa, rute yang diperkirakan dilewati oleh Yesus Kristus ketika memanggul salib menuju Kalvari. 

Faktor-faktor yang mendorong lebih lanjut devosi “Jalan Salib”. Pater Jude Winkler OFMConv. mengatakan bahwa ada dua peristiwa yang mendorong lebih lanjut devosi “Jalan Salib” ini. Yang pertama adalah “Perang Salib”. Perang Salib menyebabkan banyak orang melakukan perjalanan ke Tanah Suci dan lebih banyak lagi yang mendengar kisah-kisah perjalanan mereka sehingga timbullah rasa rindu untuk mengalami sendiri apa yang telah mereka dengar, walaupun hanya secara simbolis. 

Stimulus yang kedua terjadi pada tahun 1342, ketika tempat-tempat ziarah di seluruh Tanah Suci dipercayakan penanganannya kepada Ordo Fransiskan. Mereka mempersiapkan tempat-tempat penginapan yang layak bagi para peziarah dan memperoleh indulgensi-indulgensi istimewa bagi para peziarah agar supaya kunjungan mereka sedapat mungkin mempunyai makna spiritual. Mereka juga menyebar-luaskan devosi Sengsara Yesus di seluruh dunia Kristiani. 

Jadi, sejak abad ke-14 dan selanjutnya perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci di Yerusalem sudah dikaitkan dengan indulgensi-indulgensi. Pada tahun 1731 Paus Klemens XII [1730-1740], mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa orang-orang yang dengan penuh kesalehan melakukan doa “Jalan Salib” akan memperoleh indulgensi-indulgensi yang sama seperti mereka yang mengunjungi tempat-tempat suci di Tanah Suci. “Komunikasi” tentang indulgensi-indulgensi sangat membantu penyebaran “Jalan Salib” sebagai suatu devosi peopuler, di bawah perlindungan para Fransiskan. 

Yang perlu disoroti adalah karya seorang Fransiskan yang bernama Santo Leonardus dari Port Maurice (1676-1751) untuk membuat “Jalan Salib” dikenal secara lebih baik. Tercatatlah bahwa orang kudus ini mendirikan tempat devosi “Jalan Salib” di hampir 600 lokasi di Italia. Paus Benediktus XIV [1740-1758] malah mendirikan perhentian-perhentian “Jalan Salib” di Koliseum kota Roma. Devosi ini baru sampai ke negeri Inggris pada pertengahan abad ke-19, dan masuk ke Amerika Serikat pada periode yang bersamaan. Bentuk doa yang menjadi biasa diambil dari tulisan-tulisan Santo Alfonsus Liguori [1696-1787], dan satu bait dari madah Stabat Mater biasanya dinyanyikan. Akan tetapi, satu-satunya persyaratan untuk menyelesaikan devosi dan memperoleh indulgensi-indulgensi, adalah memeditasikan sengsara Kristus sambil berjalan dari satu perhentian ke perhentian lainnya. 

Para Fransiskan dan Pengaruh Mereka. Para Fransiskan memang selalu memiliki suatu rasa cinta yang mendalam pada apa saja yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian Yesus. Santo Fransiskus dari Assisi membantu mempopulerkan kandang Natal ketika dia membuat “kandang Natal hidup” di Greccio, Italia, pada tahun 1223. Ia juga sangat getol memeditasikan sengsara Yesus, bahkan menyusun sendiri “IBADAT SENGSARA TUHAN” untuk memperingati sengsara Yesus. Fransiskus melihat dalam kelahiran dan kematian Yesus, dua saat kunci ketika kemanusiaan Yesus dan kerendahan hati-Nya (kedinaan-Nya) sangat jelas terlihat. Ia melihat dalam hal-hal itu puncak penyerahan diri Yesus kepada Allah, suatu penyerahan kasih secara total. 

Santo Fransiskus begitu tergerak oleh kasih ini karena menjadi terlihat. Pada waktu di Greccio, dia begitu dibakar dengauan rasa syukur sehingga orang-orang di sekelilingnya melihat dia menggendong kanak-kanak Yesus dengan tangan-tangannya, walaupun pada waktu itu tidak ada anak kecil di kandang Natal. Demikian pula halnya ketika dia sedang berada di Gunung La Verna beberapa bulan kemudian, Fransiskus menerima stigmata, luka-luka Yesus sendiri dalam dagingnya, jadi membuat tubuhnya suatu kenangan hidup akan sengsara Yesus. Ia yang begitu mengasihi Kristus menjadi serupa dengan Dia yang dikasihinya. 

Maka, sejak awal mula, para Fransiskan telah melihat, bahwa tugas merekalah untuk mendorong devosi “Jalan Salib” dan pembuatan “kandang Natal”. Mula-mula tempat-tempat perhentian “Jalan Salib” dibuat di luar gedung gereja, namun sekitar pertengahan abad ke-17, tempat-tempat perhentian itu dibuat di dalam gedung gereja. Pada kenyataannya, para Fransiskan sedemikian diidentifikasikan dengan devosi “Jalan Salib”, sehingga sampai belum lama berselang mereka lah yang diberikan privilese untuk memberkati tempat-tempat perhentian “Jalan Salib” yang baru didirikan/dibuat. 

Perkembangan selanjutnya. Tadi dikatakan, bahwa catatan-catatan perjalanan ziarah ke Yerusalem pada abad ke-14 mulai berisikan acuan-acuan pada beberapa tempat tertentu di sepanjang Via dolorosa. Dalam catatan Felix Fabri yang dibuat pada tahun 1480 ada cerita bahwa Santa Perawan Maria sampai hari kematiannya mengikuti tahapan-tahapan yang sama dari ziarah Yerusalem yang dilakukan para peziarah di abad ke-15, suatu rute yang sebagian ditentukan oleh lokasi dari tempat ziarah yang dikenal sejak abad ke-4, sebagian seperti ditetapkan oleh otoritas Turki yang menguasai kota Yerusalem, dan sebagian oleh para Saudara Dina Fransiskan, yang bertindak sebagai pemandu ke tempat-tempat suci, dengan harapan agar para peziarah itu ke luar dari Yerusalem secepat mungkin sehingga tidak mengganggu hubungan kerja mereka dengan orang-orang Turki tersebut. Pada masa catatan perjalanan ziarah Felix Fabri, beberapa insiden yang nantinya membentuk “Jalan Salib” yang modern telah ada: titik awalnya adalah Gereja Makam Suci dan titik akhirnya di Kalvari; sudah ada cerita mengenai kain pengusap Veronika, cerita mengenai Simon dari Kirene yang dipaksa untuk membantu Yesus memanggul salib; Yesus terjatuh karena beratnya salib, dan perjumpaan Yesus dengan para perempuan dari kota Yerusalem. 

Seorang peziarah dari negeri Inggris yang bernama William  Wey mengunjungi Yerusalem pada tahun 1458 dan sekali lagi empat tahun kemudian. William Wey ini menggunakan kata “Perhentian-perhentian” (Inggris: Stations) untuk tempat-tempat yang dikunjunginya di dalam kota, dan tidak menggunakan istilah itu untuk tempat-tempat lain di Tanah Suci yang lain, bahkan yang berlokasi di dekat Yerusalem, yang juga dikunjunginya. 

Pada akhir abad ke-15 beberapa peristiwa yang pernah terjadi di sepanjang Via dolorosa telah berhasil diidentifikasikan, dan dinamakan “perhentian-perhentian”. Martin Ketzel yang melakukan perjalanan ziarahnya di sekitar tahun 1468, dan kemudian mengulangi perjalanannya di kemudian hari karena dia telah lupa akan jarak yang pasti antara awal perjalanan dan akhirnya, mempunyai serangkaian ukiran yang dibuat sebelum akhir abad itu dan dia menempatkannya di Nuremberg. Ada tujuh buah ukiran: (1) Yesus berjumpa dengan ibu-Nya [Perhentian IV]; (2) Simon dari Kirene [Perhentian V]; (3) Perempuan-perempuan Yerusalem [Perhentian VIII]; (4) Veronika [Perhentian VI]; (5) Yesus terjatuh [Perhentian III?]; (6) Yesus tergeletak di tanah di bawah kayu salib [Perhentian VII atau IX?]; (7) Yesus diturunkan dari salib dan diletakkan di pangkuan/tangan Maria [Perhentian XIII]. Ketujuh ukiran ini secara populer dikenal sebagai “tujuh kejatuhan”. Rangkaian perhentian-perhentian ini seringkali dikopi pada abad ke-16, meskipun peristiwa-peristiwa yang digambarkan berbeda-beda dari set yang satu ke set yang lain. 

Michael Walsh (Dictionary of Catholic Devotions) memperkirakan, bahwa versi “Jalan Salib” sebagaimana yang kita kenal sekarang berasal dari Jan van Paesschen, Prior para biarawan Karmelit di Malines. Buku karangan Jan van Paesschen yang berjudul “Perjalanan Spiritual” (Inggris: The Spiritual Pilgrimage) diterbitkan di Louvain pada tahun 1563, setelah kematian pengarangnya sekitar 20 tahun sebelumnya. Buku ini disusun seturut perjalanan ziarah ke (dan balik dari) Tanah Suci sepanjang satu tahun lamanya. Setiap hari disertai dengan meditasi dan penggambaran peristiwa yang terjadi pada hari bersangkutan. Sementara pembaca secara mental berada di Yerusalem, Jan van Paesschen mengajaknya berjalan sepanjang jalan salib, menyebutkan nama-nama perhentian menurut susunan yang sekarang kita kenal. Jan van Paesschen menambahkan detil-detil yang berkaitan dengan jarak antara satu perhentian dan perhentian selanjutnya, rincian-rincian mana tidak diambil dari rute di Yerusalem melainkan dari patung-patung yang didirikan di Louvain pada tahun 1505 seperti ditulis oleh Martin Ketzel. 

Karya Jan van Paesschen dipakai oleh Adrichomius dalam sebuah buku berjudul “Yerusalem pada masa Kristus” (Inggris: Jerusalem at the Time of Christ), yang diterbitkan pada tahun 1584. Ternyata buku Adrichomius ini jauh lebih populer daripada buku Jan van Paesschen sendiri. Baik Jan van Paesschen maupun Adrichomius tidak pernah berkunjung ke Yerusalem, dan catatan-catatan mereka tidak cocok dengan perjalanan ziarah sepanjang rute ke Kalvari seperti ditunjukkan kepada para peziarah oleh para Saudara Dina Fransiskan yang mengurusi tempat-tempat suci di sana. Pada abad ke-16 mereka (para Fransiskan) membuat buku-buku panduan perjalanan sendiri yang disusun dengan hati-hati, namun pada abad ke-17 pengaruh Adrichomius bertumbuh, dan para Fransiskan itu menyesuaikan catatan-catatan peristiwa yang tradisional dengan catatan Adrichomius. 

(Bersambung) 

Sumber: (1) Matthew Bunson, “Our Sunday Visitor’s ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY”, Huntington, Indiana: Our Sundary Visitor, 1995; (2) Danit Hadary-Salomon (Project Editor), “Egeria in the Holy Land” & “The Great Week – A Day Planner”, dalam “2000 YEARS OF PILGRIMAGE TO THE HOLY LAND”, Petah Tikva, Israel: Alfa Communication, 1999, hal. 38-39; (3) Michael Walsh, “DICTIONARY OF CATHOLIC DEVOTIONS”, San Francisco, California: HarperSanFrancisco, 1993, hal. 250-252; (4) Fr. Jude Winkler OFMConv., “A Look at the Stations of the Cross, the WORLD among us, Lent 2004, hal. 66-70. 

Cilandak, 4 April 2011  

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

OLEH KEMATIAN-NYA DIA MENGHANCURKAN KEMATIAN KITA [3]

OLEH KEMATIAN-NYA DIA MENGHANCURKAN KEMATIAN KITA [3] 

Kami percaya akan Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Putera Allah…….Di bawah pemerintahan Pontius Pilatus Ia menderita, sang Anak Domba Allah, yang menanggung dosa-dosa dunia, dan Ia wafat bagi kita di kayu salib, menyelamatkan kita oleh darah-Nya yang menebus……. Kami percaya bahwa Tuhan kita Yesus Kristus, oleh pengorbanan-Nya di kayu salib menebus kita dari dosa asal dan segala dosa pribadi yang dikomit oleh kita masing-masing, sehingga seturut kata-kata sang Rasul, ‘di mana dosa bertambah banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah (lihat Rm 5:20). 

Sumber: Paus Paulus VI, Professio Fidei [“Kredo Umat Allah,” 30 Juni 1968; dipetik dari “MY GOD AND MY ALL”, sebuah buku doa untuk para Fransiskan Sekular (Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press). 

Misteri Penebusan

Sengsara Yesus mempunyai efek-efek yang bersifat kekal-abadi. Melalui penderitaan-Nya kita diselamatkan dari dosa dan segala konsekuensinya, dan telah menerima setiap rahmat dan karunia yang membawa kita kepada kehidupan kekal. Yesus Kristus-lah yang menebus dosa kita-manusia. 

Pembebasan ini, yang dimenangkan oleh Yesus bagi kita lewat/dalam penderitaan sengsara-Nya mempunyai efek-efek, bahkan pada/dalam dunia ini. Penebusan bukanlah terbatas pada hidup batiniah cintakasih dan rahmat. Mereka yang dibebaskan dari dosa dapat mentransformasikan dunia ini menjadi sebuah kerajaan dengan kemerdekaan yang lebih luas, keadilan yang lebih mendalam dan damai-sejahtera yang lebih besar, dan bahkan suatu awal-mula dari kerajaan Allah yang sesungguhnya. 

Kemenangan-kemenangan Allah dalam Kristus. “Di dalam Kristus, Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya” (2Kor 5:19). Allah sendirilah yang selalu menjadi Sang Penyelamat. Kasih dan kuasa kekal dari Bapa, Putera dan Roh Kudus-lah yang menyebabkan  terjadinya penebusan. Allah menang-berjaya dalam Kristus, menang besar atas dosa dan Iblis, atas keterikatan manusia pada hukum lama dan maut. 

Dosa sendiri telah berkuasa atas diri kita (lihat Rm 5:21) dan memperbudak kita (lihat Rm 6:7).  Akan tetapi melalui penderitaan sengsara Yesus, Bapa surgawi membebaskan kita dan memulihkan kita kepada “kerajaan Anak-Nya yang terkasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan, yaitu pengampunan dosa” (Kol 1:13-14). Iblis juga dikalahkan. Pada waktu Kristus ditinggikan di atas kayu salib, kuasa Iblis pun diakhiri (lihat Yoh 13:31); dan dalam Kristus, Bapa surgawi “melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa” (lihat Kol 2:15). 

Kematian Kristus mengakhiri keterikatan pada hukum lama. Walaupun hukum itu sendiri kudus, namun tidak membawa kehidupan; karena hukum itu mengungkapkan tugas-kewajiban untuk menghindari dosa tetapi tidak memberikan kuasa untuk melakukannya (lihat Rm 7:7-25). Dalam karya penebusan Kristus, Allah  “meresmikan” hukum kasih dan rahmat yang baru. Perjanjian yang baru ini sungguh mengharuskan kekudusan yang lebih besar dari diri kita, namun karunia Roh Allah memungkinkan kita untuk melayani-Nya dengan sukacita dan kasih (lihat Rm 5:5;7:4). 

Bahkan kematian badani pun dikalahkan oleh kematian Kristus. Marilah kita baca dan renungkan apa yang ditulis oleh Santo Paulus: “Sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan digenapi firman yang tertulis: ‘Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?’ Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan melalui Yesus Kristus, Tuhan kita” (1Kor 15:54-57; lihat Yes 25:8 dan Hos 13:14). Sampai kebangkitan final, maka lingkup dari kemenangan ini tidak dapat terlihat sepenuhnya. Namun demikian, bahkan sekarang pun semua kematian – seperti kematian Kristus sendiri – dapat menjadi lebih daripada sekadar suatu akibat kejahatan yang tragis, melainkan suatu saat cintakasih puncak dan ambang kehidupan. 

Penderitaan sengsara Yesus mengungkapkan kasih Bapa surgawi yang menyelamatkan. Pada suatu malam Yesus berkata kepada seorang Farisi terkemuka yang bernama Nikodemus: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Belas kasihan Allah diwujudkan dalam misteri inkarnasi dan pada gilirannya menguduskan dan mentransformasikan kemanusiaan. Yesus Kristus – Tuhan dan Juruselamat kita – karena kasih-Nya yang tak terhingga menjadi manusia seperti kita, sehingga Dia dapat membawa kita ke dalam kehidupan ilahi. 

Yesus menebus kita. Iman Kristiani yang Katolik dengan teguh mengajarkan bahwa Yesus sungguh menyelamatkan kita (lihat Mat 1:21) dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam kodrat-Nya sebagai manusia, dengan kasih penuh ketaatan-Nya dan daya-tahan-Nya yang penuh kesabaran (lihat Ibr 5:8) dan dengan “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28). Yesus sebagai manusia membebaskan kita dari dosa. Konsekuensi-konsekuensi tragis dari dosa Adam tidak ada obatnya, kecuali seorang Mediator, Tuhan kita Yesus Kristus sendiri, yang mendamaikan kita dengan Bapa surgawi dalam darah-Nya. Karena Yesus inilah kita dibenarkan di hadapan Allah, yaitu oleh sengsara-Nya yang memuncak dalam kematian-Nya di kayu salib. Dengan demikian kita dapat mengatakan, bahwa seorang Manusia yang adalah Putera Allah yang tunggal telah memenangkan keselamatan bagi seluruh keluarga manusia. 

Yesus sang Imam Besar Agung. Yesus adalah sang “Imam Besar Agung” (Ibr 4:14) dari perjanjian baru yang dan kekal (lihat Ibr 5-7). Dalam kehidupan publik-Nya Yesus melaksanakan pekerjaan-Nya sebagai seorang imam dalam mengajar, mengampuni dosa-dosa, menguduskan. Yesus menerapkan atas diri-Nya sendiri kata-kata dalam Mazmur yang bersifat kenabian-imamiyah (lihat Mzm 110; bdk. Mrk 12:35-37). Sebagai seorang imam dari “orde yang baru”, Yesus itu superior ketimbang setiap imamat sebelum-Nya (lihat Ibr 7:1-28). Yesus mengumumkan perjanjian yang baru dengan Allah di perjamuan kurban yang kita kenal sebagai “Perjamuan Terakhir”, mengungkapkan pada kesempatan itu juga sifat kurban dari kematian-Nya yang sudah mendekat itu. Dengan mempersembahkan satu kurban sempurna, yaitu diri-Nya sendiri, Yesus berhasil mencapai keselamatan kekal bagi kita, dan membatalkan perjanjian dan imamat sebelumnya (lihat Ibr 9:1-10,18). 

Setiap persembahan kurban adalah suatu pengakuan suci akan Allah, suatu pengakuan akan kemahabesaran Allah. Kurban persembahan adalah suatu tindakan di mana seseorang memohon  pengampunan ilahi, kebaikan-kebaikan ilahi, atau ungkapkan terima kasih penuh syukur, puji-pujian dan sembah bakti kepada-Nya, untuk siapa secara sepenuhnya kita adalah milik-Nya. Dalam setiap suatu upacara kurban, suatu kurban dipersembahkan kepada Allah dengan cara yang cocok untuk mengungkapkan pengakuan penuh akan Allah, misalnya dengan membunuh dan memotong-motong kurban yang dipersembahkan seturut aturan/hukum yang berlaku. Kurban yang dipersembahkan oleh Yesus adalah diri-Nya sendiri, segenap kasih dan ketaatan-Nya, Tubuh-Nya dan Darah-Nya. Jelaslah bahwa Yesus tidak membunuh diri-Nya sendiri karena orang-orang lainlah yang membunuh diri-Nya,  namun Dia sebagai imam dengan penuh keikhlasan memberikan diri-Nya sendiri sebagai kurban, dalam tindakan persembahan kurban yang sejati. Kristus hadir di hadapan Bapa surgawi dalam melaksanakan pekerjaan imamat-Nya sebagai wakil dari segenap umat manusia, karena Dia adalah Adam yang baru (lihat Rm 5:12-21), Kepala dari umat manusia yang telah ditebus; dan kematian-Nya membentuk perjanjian baru. Sebagai imam Dia dengan penuh kemurahan hati mempersembahkan diri-Nya sendiri dengan kematian-Nya di atas altar salib bagi Allah Bapa, sehingga Dia dapat mencapai suatu penebusan yang bersifat kekal-abadi. 

Dengan demikian kita ditebus, ketika  sang “Anak Domba Allah” (lihat Yoh 1:29; bdk. Kel 12; Yes 53) mempersembahkan diri-Nya sendiri bagi kita-manusia. “Tetapi, setelah mempersembahkan hanya satu kurban saja karena dosa, Kristus duduk untuk selama-lamanya di sebelah kanan Allah. …… Sebab oleh satu kurban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang dikuduskan” (Ibr10:12,14). 

Rekonsiliasi. Sengsara Kristus adalah sebuah pekerjaan rekonsiliasi, atau karya pendamaian. Karena kasih Kristus yang menyelamatkan menebus dosa manusia, maka dimungkinkanlah suatu penyembuhan bagi segala perpecahan dan kekerasan yang telah diciptakan oleh dosa. 

Dosa adalah akar terdalam dari alienasi atau keterasingan manusia. Dosa memisahkan kita dari Allah. Dosa menciptakan perselisihan dan perbantahan antara kita. Dosa menyebabkan suatu desolasi batin dan ketololan irasional dalam diri seseorang (lihat Rm 7:23-24), serta menempatkan dia sebagai orang asing dalam dunia (lihat Kej 3:17-19; Rm 8:21-22). Santo Paulus menulis, “Pada waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus” (Ef 2:12-13). Memang Kristus adalah “damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (Ef 2:14). Melalui Kristus, “Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus” (Kol 1:20). 

Salib dan Kebangkitan.  Penderitaan sengsara Yesus dan kemuliaan dari kebangkitan-Nya tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam misteri Paskah. “Dialah Anak Domba sejati, yang menghapus dosa dunia. Wafat-Nya menghancurkan kematian kami dan kebangkitan-Nya membangun kembali kehidupan kami” (Prefasi Paska I – Misa Hari Minggu dan Hari Raya – Masa Khusus, hal. 747). Bapa surgawi menyelamatkan kita tidak hanya dengan membebaskan Putera-Nya bagi kita, melainkan juga dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati (lihat 1Ptr 1:3-5). Salib Kristus menunjuk kepada kebangkitan dan dipenuhi dalam kebangkitan. Oleh salib-Nya, Kristus memperoleh bagi kita segala berkat dan kemuliaan bagi-Nya; dalam kebangkitan-Nya Allah menganugerahkan rahmat dan karunia yang telah dimenangkan oleh Yesus melalui penderitaan-penderitaan-Nya dan kasih-Nya yang penuh ketaatan (lihat juga Flp 2:5-11). 

Kristus wafat untuk semua orang. Allah “menghendaki supaya semua orang diselamatkan” (1Tim 2:4), oleh karena itu Kristus mati untuk semua orang. Kepada jemaat di Korintus Santo Paulus dengan tegas menulis: “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2Kor 5:15). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Santo Paulus berbicara mengenai berlimpah-limpahnya karunia Allah. Dosa Adam telah mengakibatkan dukacita mendalam atas seluruh umat manusia, namun karya penebusan Kristus jauh lebih memiliki kuat-kuasa dan mempunyai efek yang jauh lebih besar daripada dosa Adam (lihat Rm 5:15-21). 

Yesus Kristus sungguh wafat untuk kita semua, namun Ia tidak memaksa orang untuk menerima kehidupan kekal.  Hanya mereka yang percaya akan kebenaran sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, lalu menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat sajalah yang akan diselamatkan. Namun, melalui Roh Kudus-Nya, Kristus menyelamatkan semua orang yang memiliki kehendak untuk diselamatkan. Undangan kepada keselamatan itu sendiri diberikan kepada semua orang, bahkan juga kepada mereka yang tidak ingin diselamatkan. Yang perlu didengarkan adalah suara Tuhan dan sang Juruselamat: “Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk bersaksi tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Akulah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang.” (Why 22:16). Roh dan pengantin perempuan itu berkata, “Marilah!” Siapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata, “Marilah!” Siapa yang haus, hendaklah ia datang, dan siapa yang mau, hendaklah ia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma! (Why 22:17). 

Penebusan telah terlaksana secara lengkap namun masih berlanjut. Kristus telah menebus kita. Ini adalah suatu fakta. Santo Paulus menulis kepada jemaat di Korintus: “Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: Yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya” (2Kor 5:17-18). Namun di sisi lain, karya penyelamatan Yesus Kristus belum menyentuh hidup banyak orang, dan kekayaan berlimpah dari karya-Nya masih harus kita lihat. Bagi kita semua yang telah menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat – artinya orang-orang Kristiani – hal ini berarti bahwa ada karya kerasulan yang harus dilakukan. Santo Paulus menulis, bahwa Allah “telah mempercayakan pelayanan pendamaian” kepada kita (lihat 2Kor 5:18). Allah memanggil kita untuk menerima kehidupan kekal secara bebas, untuk bergantung pada karya penyelamatan Kristus dan turut ambil bagian dalam buahnya dengan iman dan penerimaan berbagai sakramen, dengan doa dan karya-karya kasih. Dengan tulus Santo Paulus menghimbau jemaat di Korintus: “Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: Berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah”  (2Kor 5:20-21). 

Salib dalam Kehidupan Kristiani

Salib adalah bagian yang tak terelakkan dari setiap kehidupan Kristiani. Oleh salib Kristus dan kebangkitan-Nya manusia diselamatkan, apabila mereka mengakui-Nya melalui iman dan kasih. Sakramen-sakramen adalah tanda-tanda dan instrumen-instrumen yang melaluinya Yesus mengkomunikasikan buah-buah penebusan dari salib-Nya. Tidak ada sesuatu pun dari kehidupan Kristiani yang dapat dipahami terpisah dari salib Kristus. Siapa saja yang berkeinginan untuk bertumbuh menjadi dewasa dalam kasih Kristiani, untuk tetapi setia kepada Allah, harus menerima terang dan menimba kekuatan dari penderitaan sengsara-Nya yang menyelamatkan. 

Yesus mengajar para murid-Nya untuk senantiasa memanggul salib masing-masing: “Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). “Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:38). Berbagai salib, kesusahan dan penderitaan dan penyangkalan-diri serta pengorbanan yang secara tulus ikhlas dipersembahkan, dibuat menyelamatkan dan suci oleh salib suci-Nya. 

Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkan diri-Nya kepada Dia yang menghakimi dengan adil”  (1Ptr 2:21-23). 

Para Bapak Konsili Vatikan II menyatakan: “Dengan menanggung penderitaan bagi kita Ia bukan hanya memberi teladan supaya kita mengikuti jejak-Nya (lihat 1Ptr 2:21; Mat 16:24; Luk 14:27); melainkan Ia juga memulihkan jalan; sementara jalan itu kita tempuh, hidup dan maut disucikan dan menerima makna yang baru” (Gaudium et Spes, 22). 

Pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab sendiri atau didiskusikan dalam kelompok kecil: 

(1)       Carilah dalam Kitab Suci bacaan-bacaan yang menjadi sumber dari kelima peristiwa sedih dalam doa Rosario!

(2)       Mengapa, menurut anda, Gereja Perdana (para penulis Injil) mau “repot-repot” mencatat apa yang diucapkan Yesus dari atas kayu salib? (Lihat “OLEH KEMATIAN-NYA DIA MENGHANCURKAN KEMATIAN KITA [2], hal. 2).

(3)       Apakah yang sebenarnya dicapai oleh kematian Kristus di atas kayu salib?

(4)       Apakah yang dimaksudkan apabila kita mengatakan bahwa Yesus adalah Imam Besar Agung yang kekal?

(5)       Bagaimana anda menjelaskan bahwa penderitaan sengsara Kristus adalah sebuah karya pendamaian (rekonsiliasi)?

(6)       Apabila Yesus wafat hanya satu kali, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa “Penebusan telah terlaksana secara lengkap namun masih berlanjut”?

(7)       Apakah yang kita maksudkan apabila kita mengatakan bahwa setiap orang Kristiani harus memanggul salibnya?

(8)       Kita telah ditebus oleh kematian Kristus. Dengan cara apa sajakah “mati bersama Kristus” mempunyai efek yang positif dan berbuah dalam kehidupan kita sehari-hari?

(9)       Salib Kristus adalah tanda penebusan kita. Apakah kita memberi salib-salib Kristus sebagai hadiah Natal, hari ulang tahun, atau peristiwa-peristiwa lainnya. Apakah anda senantiasa memakai sebuah salib atau medali dengan gambar salib guna menunjukkan iman-kepercayaan anda? (Catatan: salib kecil saja,  tidak perlu salib besar seperti yang dikenakan Bapak Uskup). 

Cilandak, 29 Maret 2011 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

 

OLEH KEMATIAN-NYA DIA MENGHANCURKAN KEMATIAN KITA [2]

OLEH KEMATIAN-NYA DIA MENGHANCURKAN KEMATIAN KITA [2] 

Kami percaya akan Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Putera Allah…….Di bawah pemerintahan Pontius Pilatus Ia menderita, sang Anak Domba Allah, yang menanggung dosa-dosa dunia, dan Ia wafat bagi kita di kayu salib, menyelamatkan kita oleh darah-Nya yang menebus……. Kami percaya bahwa Tuhan kita Yesus Kristus, oleh pengorbanan-Nya di kayu salib menebus kita dari dosa asal dan segala dosa pribadi yang dikomit oleh kita masing-masing, sehingga seturut kata-kata sang Rasul, ‘di mana dosa bertambah banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah (lihat Rm 5:20). 

Sumber: Paus Paulus VI, Professio Fidei [“Kredo Umat Allah,” 30 Juni 1968; dipetik dari “MY GOD AND MY ALL”, sebuah buku doa untuk para Fransiskan Sekular (Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press).

 

Sengsara Yesus

Yesus ditolak oleh orang-orang untuk siapa Dia datang. “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan melalui Dia, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik-Nya, tetapi orang-oirang miliknya itu tidak menerima-Nya” (Yoh 1:10-11). Akan tetapi, sengsara-Nya merupakan suatu tanda dari kasih yang begitu besar, seperti dikatakan-Nya sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13); tanda mana membuat orang selalu akan ditarik kepada diri-Nya. Dia bersabda: “Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32). Paulus menulis, “Melalui Dialah Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan perdamaian dengan darah salib Kristus. Juga kamu yang dahulu hidup jaiuh dari Allah dan menjadi musuh-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Kol 1:20-22). 

Pada waktu Gereja perdana mewartakan kabar baik keselamatan, maka dia mewartakan – seperti Gereja masih melakukannya sekarang – kasih tak terbatas yang memancar dari salib Kristus. “Kami memberitakan Kristus yang disalibkan” (1Kor 1:23). Sengsara-Nya adalah kemuliaan mereka yang percaya. “Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6:14). 

Sengsara yang diderita Yesus Kristus bagi kita sangatlah berat dan mengerikan, karena begitu besar kasih-Nya kepada kita. Kristus tidak hanya ingin memberikan kepada kita hidup yang berkelimpahan; dalam bela rasa-Nya yang tanpa batas Ia ingin ikut ambil bagian dalam setiap jenis penderitaan manusia – baik lahir maupun batin – untuk perdamaian dan penyembuhan semua orang yang menderita. 

Pada waktu kitab-kitab Injil ditulis, bagian terpanjang dari masing-masing Injil itu adalah kisah sengsara. Ekaristi, yang adalah tindakan liturgis sentral dari komunitas Kristiani, suatu kenangan akan kematian-Nya (lihat Luk 22:19-20). Sengsara dan kematian-Nya diungkapkan dalam devosi-devosi seperti “Jalan Salib” dan “Peristiwa-peristiwa Sedih” dalam doa rosario. Dalam buku kecilnya yang populer, Mengikuti Jejak Kristus, Thomas a Kempis menulis: “Di dalam salib itulah keselamatan, di dalam salib itulah kehidupan dan di dalam salib itulah perlindungan terhadap musuh-musuh kita!” (Buku II, Pasal XII, “Hal Keluhuran Jalan Salib Suci”, hal. 92 edisi bahasa Indonesia terbitan OBOR). 

Perjamuan Terakhir.  Dalam setiap kitab Injil, narasi sengsara Kristus diawali dengan cerita tentang Perjamuan Terakhir. Dalam peristiwa perjamuan ini Yesus menjelaskan makna penderitaan-Nya yang sebentar lagi akan benar terjadi, walaupun para murid-Nya tidak mampu mengerti semua hal ini sampai saat setelah kebangkitan-Nya (lihat Luk 24:25). Yesus  mengungkapkan kebesaran dari kasih-Nya yang menyelamatkan: “Ia mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1). Kristus menetapkan Sakramen Ekaristi dan Sakramen Imamat untuk melayani Ekaristi. Kristus juga membuat jelas bahwa kematian-Nya akan meresmikan suatu perjanjian yang baru dan kekal antara kita dan Allah kita, dan bahwa Dia dalam salib-Nya dan belas kasihan-Nya yang menyelamatkan, akan selalu hadir di tengah-tengah para murid-Nya dalam kurban-Nya pada Misa (lihat Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25). 

Pada Perjamuan Terakhir Yesus membasuh kaki para murid-Nya (lihat Yoh 13:1-20) dan memberikan serangkaian pengajaran kepada para murid-Nya. Misalnya, Dia berbicara dengan jelas tentang Bapa dan Roh Kudus, karena oleh salib Ia menjadikan kita anak-anak Allah, di dalam diri kita ini Allah Tritunggal Mahakudus berdiam (lihat Yoh 14:9-26). Dalam Perjamuan Terakhir ini Yesus juga mencanangkan sebuah perintah yang baru: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi” (Yoh 13:34). Dalam terang salib Kristus, dinyatakanlah kasih-Nya yang penuh pengampunan, penuh pengorbanan, dan samasekali tidak mementingkan diri sendiri. Ini adalah satu-satunya kasih yang membawa damai-sejahtera kepada  sebuah dunia yang berantakan. Ia bersabda: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu” (Yoh 14:27). Yesus juga mengajar para murid-Nya ‘perumpamaan’ tentang “Pohon anggur yang benar” (Yoh 15:1-8). Lalu, dalam doa-Nya kepada Bapa di surga, Kristus menunjukkan apa yang dapat dicapai oleh salib: kesatuan manusia dalam kasih Allah yang dapat dibuat mungkin (lihat Yoh 17:1-26). 

Penderitaan Yesus yang mendalam di Taman Getsemani. Setelah Perjamuan Terakhir, bersama para murid-Nya Yesus pergi ke Bukit Zaitun. Di taman itu Dia berdoa kepada Bapa-Nya. Dia mulai merasakan ketakutan akan penderitaan-penderitaan yang akan dialami-Nya. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari hadapan-Ku” (Mat 26:39). Kesedihan dan kepedihan Yesus begitu mendalam, sehingga “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:44). Hati-Nya dan kehendak-Nya sebagai seorang manusia tetap setia dan taat-patuh kepada Bapa-Nya: “Tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39). 

Doa Yesus di Taman Getsemani dengan jujur mengungkapkan semua kesedihan mendalam yang dialami-Nya secara mental demi kita semua, dengan komitmen penuh kepada kehendak Bapa. Doa Yesus ini adalah model sempurna untuk doa Kristiani pada saat-saat susah. 

Tidak lama setelah doa Yesus kepada Bapa-Nya di Taman Getsemani, sejumlah pasukan bersenjata yang dikirim oleh para imam kepala, para ahli Taurat, dan tua-tua mendatangi taman untuk menangkap Dia. Rombongan pasukan bersenjata itu dipandu ke sana oleh Yudas Iskariot yang mengidentifikasikan Yesus bagi rombongannya dengan suatu pelukan pengkhianatan. Namun demikian, Yesus menyapa Yudas dengan lemah lembut: “Hai teman, untuk inikah engkau datang?” (Mat 26:50). Yesus juga menunjukkan keprihatinan-Nya terhadap para murid-Nya dan mendesak agar mereka diperkenankan untuk tidak dilibatkan: “Telah Kukatakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi” (Yoh 18:8). Maka, para murid pun meninggalkan Dia, sungguh-sungguh kabur melarikan diri (lihat Mat 26:56). 

Yesus diadili dan dijatuhi hukuman mati. Dengan kesabaran yang sungguh luarbiasa, Yesus mengalami proses peradilan yang samasekali tidak adil, di depan para pemuka agama yang duduk di Sanhedrin, di depan Herodus, dan di depan Pilatus. Selagi menjalani peradilan-peradilan tersebut dan juga pada saat-saat di antara peradilan yang satu dengan peradilan yang lain, Yesus mengalami banyak penghinaan. Ia menjadi sasaran penghinaan dan olok-olok. Seperti telah diramalkan oleh-Nya, Petrus menyangkal mengenal Dia sampai tiga kali. Yesus didera, diludahi dan dimahkotai duri. Setelah upaya separuh hati yang sia-sia untuk menghindarkan Yesus dari kematian, akhirnya Pilatus – di depan gerombolan banyak orang yang sudah panas dipenuhi kebencian – menjatuhkan hukuman mati di kayu salib atas diri-Nya. 

Penyaliban Yesus. Di kayu salib Yesus mengalami penderitaan fisik yang ekstrim, juga kesendirian dan desolasi. Yesus juga mengalami kesedihan sangat mendalam melihat kepedihan dari ibu-Nya yang dikasihi-Nya. Dalam jam-jam penderitaan dahsyat ini Yesus, sang Putera Allah dan Imam Besar Agung untuk keselamatan kita, tetap mampu mempertahankan kesabaran dan keagungan seorang Pribadi. Kita dapat memperoleh wawasan perihal pikiran dan hati Yesus dari kata-kata yang diucapkan dari atas kayu salib, seperti tercatat dalam Kitab Suci: 

  • “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).
  • Kepada salah seorang penjahat yang disalibkan bersama-Nya, Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:43).
  • Kepada ibu-Nya dan Rasul Yohanes, Yesus berkata: “Perempuan, inilah anakmu! …… Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27).
  • Yesus juga berdoa dengan Mazmur: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46; bdk. Mzm 22:1).
  • “Aku haus!” (Yoh 19:28).
  • “Sudah selesai” (Yoh 19:30).
  • Sekali lagi Yesus menggunakan kata-kata sang Pemazmur ketika menyerahkan roh-Nya kepada Bapa-Nya: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk 23:46;  bdk. Mzm 31:6). 

Lalu Yesus “menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh 19:30). Jadi Putera Allah wafat untuk kita para pendosa. Santo Paulus menulis: “Tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar – tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm 5:7-8). 

Pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab sendiri atau didiskusikan dalam kelompok kecil: 

(1)       Mengapa kisah sengsara dan kematian Yesus Kristus merupakan bagian yang begitu penting dalam upaya Gereja menceritakan kembali kehidupan dan misi-Nya?

(2)       Kapankah dan dalam keadaan yang bagaimanakah peristiwa Perjamuan Terakhir itu terjadi?

(3)       Pesan apakah yang ingin disampaikan Yesus kepada kita semua dengan membasuh kaki para murid-Nya yang hadir dalam Perjamuan Terakhir itu?

(4)       Sudahkah perintah baru Yesus menjadi praxis iman anda dalam kehidupan menggereja sehari-hari?

(5)       Apakah pesan penting ‘perumpamaan’ tentang “Pohon anggur yang benar” bagi anda?

(6)       Dalam artian apakah Yesus mengalami penderitaan yang mendalam di Taman Getsemani, sebelum Ia ditangkap, diadili secara sangat tidak adil, dihukum mati dan mati di kayu salib? 

(Bersambung) 

Cilandak, 24 Maret 2011 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

OLEH KEMATIAN-NYA DIA MENGHANCURKAN KEMATIAN KITA [1]

OLEH KEMATIAN-NYA DIA MENGHANCURKAN KEMATIAN KITA [1] 

Kami percaya akan Tuhan kita Yesus Kristus, yang adalah Putera Allah…….Di bawah pemerintahan Pontius Pilatus Ia menderita, sang Anak Domba Allah, yang menanggung dosa-dosa dunia, dan Ia wafat bagi kita di kayu salib, menyelamatkan kita oleh darah-Nya yang menebus……. Kami percaya bahwa Tuhan kita Yesus Kristus, oleh pengorbanan-Nya di kayu salib menebus kita dari dosa asal dan segala dosa pribadi yang dikomit oleh kita masing-masing, sehingga seturut kata-kata sang Rasul, ‘di mana dosa bertambah banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah (lihat Rm 5:20). 

Sumber: Paus Paulus VI, Professio Fidei [“Kredo Umat Allah,” 30 Juni 1968; dipetik dari MY GOD AND MY ALL, sebuah buku doa untuk para Fransiskan Sekular (Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press). 

Dalam tulisan ini kita akan membahas secara populer tentang Yesus Kristus sang Penebus, sengsara dan kematian-Nya bagi kita-manusia, juga makna penebusan kita.  Seperti Santo Paulus, kita – para murid Kristus – dapat berkata: “Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6:14), salib yang “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (lihat 1Kor 1:23), namun bagi kita adalah keselamatan dan kehidupan kekal. 

Putera Allah datang ke dunia untuk menyelamatkan kita.

Motif Bapa surgawi untuk mengutus Yesus ke dunia adalah kasih: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Hal ini dikatakan Yesus sebagai bagian dari pengajaran-Nya kepada Nikodemus, seorang pemuka agama Yahudi dari kalangan Farisi, anggota Sanhedrin yang terhormat, dan …… proses belajar-mengajar di dilaksanakan di malam hari. 

Dalam Perjanjian Baru – khususnya keempat kitab Injil – Yesus digambarkan sebagai seorang Pribadi yang sepenuhnya sadar bahwa misi-Nya adalah untuk menderita dan mati untuk kita-manusia, sekaligus membawakan kehidupan bagi kita. Di depan para murid-Nya yang terdekat, Dia meramalkan sengsara-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, sebanyak tiga kali, tentunya agar para murid-Nya itu sampai kepada pemahaman yang  benar akan semua hal itu; agar pemahaman mereka tentang Mesias (=Kristus) menjadi lurus. Marilah kita baca apa yang dikatakan-Nya pada saat untuk ketiga kalinya Dia mengumumkannya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan segala sesuatu yang ditulis oleh para nabi mengenai Anak Manusia akan digenapi. Sebab Ia akan diserahkan kepada bangsa-bangsa lain, diolok-olokkan, dihina dan diludahi. Mereka akan mencambuk dan membunuh Dia, tetapi pada hari ketiga Ia akan bangkit” (Luk 18:31-33). Apa bunyi ayat setelah itu? Catatan Lukas penulis Injil adalah sebagai berikut: “Akan tetapi, mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan” (Luk 18:34). Memang misteri penebusan susah untuk dipahami oleh sebagian besar orang Yahudi dan orang yang memiliki mindset seperti mereka, , sampai-sampai Yesus yang sudah bangkit berkata kepada dua orang murid dalam perjalanan mereka dari Yerusalem ke Emaus: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu untuk mempercayai segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (Luk 24:25-26). 

Akan tetapi, bagi Yesus (Yunani: Ièsous dari  bahasa Ibrani: Yésyüa, Yehôsyûa = YHWH menyelamatkan), salib selalu berada di depan mata-Nya. “Ketika hampir tiba waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (Luk 9:51). Di Yerusalem ini Yesus akan mengalami baptisan salib yang pahit, namun menyelamatkan: “Aku harus dibaptis dengan suatu baptisan, dan betapa susah hati-Ku sebelum hal itu terlaksana!” (Luk 12:50). Yesus memang merindukan baptisan itu, karena hanya dengan baptisan itulah maka api kasih-Nya dapat dinyalakan di atas bumi. Yesus bersabda: Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku harapkan, api itu telah menyala!” (Luk 12:49); oleh baptisan salib itulah Ia mati untuk bangsa Yahudi sekaligus akan mengumpulkan menjadi satu anak-anak Allah yang tercerai-berai di luar lingkungan bangsa Yahudi (lihat Yoh 11:52). 

Sengsara Yesus memang diperlukan. Sengsara Yesus bukanlah sesuatu yang secara mutlak harus terjadi. Tentu saja Allah tidak perlu menyelamatkan umat manusia pada waktu mereka jatuh ke dalam dosa. Dan tentunya Allah juga dapat menyelamatkan umat manusia dengan banyak cara. Kalau pun Allah berkehendak demikian, maka Dia dapat menerima pengungkapan penyesalan dan pertobatan manusia yang sebenarnya tidak memadai, atau sesungguhnya Dia malah dapat begitu saja mengampuni dosa-dosa mereka. 

Akan tetapi, adalah kehendak Allah, bahwa demi kasih-Nya kepada umat manusia, maka penebusan dicapai secara paling sempurna dan cocok. Untuk ini, perlulah bagi Putera Allah untuk menjadi seorang manusia dan menderita sengsara yang sedemikian berat. Maka, dalam artian inilah kita berani mengatakan, bahwa sengsara Yesus memang diperlukan. 

Yesus sendiri mendeklarasikan, bahwa Dia harus menderita untuk membawa kehidupan kekal bagi kita. Ia bersabda, “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:14-15). Ia harus menderita, karena Bapa-Nya sejak kekal menghendaki, bahwa kodrat insani-Nya – mahkota dan ikatan pemersatu segenap ciptaan, harus menerima kemuliaannya sebagai buah dari salib. Kepada kedua orang murid-Nya yang sedang stres dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Emaus, Yesus bersabda, “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (Luk 24:26). Nabi-nabi Perjanjian Baru juga telah bernubuat tentang penderitaan sengsara Kristus (teristimewa Yes 53 yang berbicara mengenai Hamba YHWH, juga Mzm 22). Berbagai nubuatan ini merupakan pengungkapan kehendak Allah dan tentunya harus dipenuhi/digenapi. Yesus bersabda: “Harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Luk 24:44). 

Yesus sebagai manusia, mengakui dan mematuhi perintah yang diterima-Nya dari Bapa surgawi, “Inilah perintah yang Kuterima dari Bapa-Ku” (Yoh 10:18). Dengan bebas Yesus menerima apa yang dituntut oleh Bapa surgawi: “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku agar Aku menerimanya kembali. Tidak seorang pun mengambilnya dari Aku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh 10:17-18). Dengan kasih yang bebas dan penuh ketaatan, Ia memberikan diri-Nya sendiri kepada kehendak Bapa-Nya dalam sengsara-Nya. Di taman Getseman, Yesus berdoa: “ Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau berkenan, ambillah cawan ini dari hadapan-Ku; tetapi jangan kehendak-Ku; melainkan kehendak-Mulah yang jadi” (Luk 22:42). 

Penebus yang sempurna. Karena kasih Allah yang begitu besar kepada dunia, maka Yesus diutus ke dalam dunia ini sebagai seorang Penebus yang sempurna. Walaupun Ia adalah Allah, Ia juga sungguh manusia, Saudara kita. Sebagai seorang Adam yang baru (lihat 1Kor 15:45) dan Kepala dari Tubuh Mistik (lihat Ef 1:22), Ia memiliki solidaritas yang mendalam dengan kita semua. Yesus membuat para murid-Nya menyatu dengan diri-Nya, seperti pokok anggur dan ranting-rantingnya (lihat Yoh 15:5). Karena kita bersatu dengan diri-Nya, maka tindakan penyelamatan-Nya dapat menjadi keselamatan kita. 

Karena kemanusiaan Yesus adalah kemanusiaan dari Dia yang adalah sang Putera Allah, maka tindakan-tindakan penyelamatan-Nya adalah tindakan-tindakan dari seorang Pribadi yang adalah Allah. Jadi, tindakan-tindakan-Nya itu memberikan anugerah berlimpah-limpah, seperti dikatakan oleh Paulus: 

“Karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang banyak orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi anugerah Allah dan karunia-Nya yang dilimpahkan-Nya atas banyak orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. Dan karunia itu tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi pemberian karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang, maut telah berkuasa  melalui satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan anugerah dan karunia kebenaran, akan hidup dan berkuasa karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus.

Sebab itu, sama seperti melalui satu pelanggaran banyak orang beroleh penghukuman, demikian pula melalui satu perbuatan kebenaran, banyak orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi, sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar.

Dengan masuknya hukum Taurat, pelanggaran menjadi semakin banyak; tetapi di mana dosa bertambah banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah, supaya, sama seperti dosa berkuasa dalam alam maut, demikian anugerah akan berkuasa oleh pembenaran untuk hidup yang kekal, melalui Yesus Kristus, Tuhan kita”  (Rm 5:15-21). 

Manusia Kristus Yesus ini, yang adalah Putera Allah sejati, adalah Dia yang satu-satunya Manusia yang dapat mempersembahkan kepada Bapa-Nya suatu kurban penebusan dosa umat manusia. Di sini kita dapat melihat kemahabesaran belas kasihan Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Allah tidak hanya menyelamatkan kita, melainkan juga Dia memberikan keselamatan itu dengan cara yang penuh kemurahan hati, dan dengan cara penuh hormat terhadap kemanusiaan yang diselamatkan-Nya. Dalam Kristus, Allah Bapa memperkenankan seorang Manusia untuk membawakan kepada-Nya karunia-karunia yang pantas untuk keselamatan (lihat Rm: 15-21 di atas). 

Pengantara. Yesus adalah “Pengantara” atau “Mediator” kita. Dia, yang adalah ‘sungguh Allah sungguh Manusia’, menyelamatkan kita dari alienasi dan kesengsaraan serta mendamaikan kita kembali dengan Bapa surgawi. 

Mediasi Yesus yang dicapai-Nya melalui sengsara dan kematian-Nya bersifat unik. Hanya Dia yang adalah Allah dan manusia sekaligus-lah yang dapat mendamaikan kita kembali dengan Allah secara demikian. Orang-orang lain mungkin dapat memainkan suatu peranan juga dalam karya penyelamatan-Nya, namun hanya bersifat sekunder, dan dalam ketergantungan total kepada Yesus, karena Dia adalah Pengantara perdamaian yang memang diperlukan dan tidak dapat diabaikan. Paulus menulis kepada Timotius: “Karena Allah itu esa dan esa pula Pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia” (1Tim 2:5-6). 

Tindakan penebusan yang sempurna. Bahwasanya Kristus harus menebus kita lewat kematian-Nya di kayu salib adalah sesuai kehendak Allah sebagai cara yang paling cocok guna menyelamatkan kita.  Salib Kristus mengajar kita betapa jahatnya dosa. Manakala Putera Allah dilihat sebagai kurban penebusan yang cocok atas dosa kita, maka kita diajar untuk menahan diri dan melawan godaan untuk berdosa. Dari salah satu surat Santo Paulus kita membaca lagi: “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”  (1Kor 6:20). 

Dalam heroisme sengsara-Nya, Kristus memberikan kepada kita suatu pola untuk ketaatan, kerendahan hati, dan kesetiaan yang kita perlukan untuk melayani Allah dengan setia, dan Ia pun menunjukkan kepada kita kebutuhan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan keadilan dan belas kasihan, bahkan apabila kita sendiri sedang diperlakukan secara tidak adil. 

Di atas segalanya, sengsara Yesus merupakan bentuk sempurna dari penebusan karena dengan cara terbaik mengungkapkan kemahabesaran kasih Allah (lihat Yoh 3:16). Karena dosa-dosa kita menjadi babak-belur, menjadi lemah dan terasingkan dari Allah. Kita mempunyai kebutuhan untuk melihat berapa besar kita dikasihi oleh Allah kita sehingga kita akan belajar untuk balik mengasihi Allah. “Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm 5:8). 

Pada suatu ketika, Rasul Filipus bertanya memohon kepada Yesus agar Tuhan menunjukkan Bapa itu kepada para murid. Jawab Yesus kepada Filipus: “Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9), artinya percaya akan Putera Allah yang tersalib berarti melihat Bapa. Artinya, percaya bahwa kasih hadir dalam dunia dan bahwa kasih ini lebih kuat daripada kejahatan apa saja di mana para individu, kemanusiaan atau dunia terlibat. Percaya kepada kasih ini berarti percaya akan belas kasihan, karena belas kasihan itu merupakan suatu dimensi yang tidak dapat dihindari dari kasih, layaknya nama kedua untuk kasih (Ensiklik Paus Yohanes Paulus, Dives in Misericordia [30 November 1980],7). 

Pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab sendiri atau didiskusikan dalam kelompok kecil: 

(1)       Apakah tujuan dari Inkarnasi? Mengapa Putera Allah menjadi manusia?

(2)       Apakah Yesus memang ikhlas mati bagi kita manusia atau Dia “terpaksa” mati?

(3)       Yesus Kristus adalah Penebus yang sempurna. Jelaskan!

(4)       Kita mengatakan bahwa Yesus adalah “Pengantara” atau “Mediator” kita. Dalam konteks Kitab Suci, apakah yang dimaksudkan dengan kata “Pengantara” atau “Mediator” ini?

(5)       Tindakan penebusan Yesus Kristus adalah tindakan penebusan yang sempurna. Jelaskan! 

(Bersambung)  

Cilandak, 24 Maret 2011  

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

KATEKESE GEREJA TENTANG DOA

KATEKESE GEREJA TENTANG DOA 

Salah satu bahan Retret yang diberikan oleh Kardinal Yosef Ratzinger [sekarang Paus Benediktus XVI] bagi Sri Paus dan para Kardinal anggota Kuria Roma pada awal masa Prapaskah 1983.

Bacaan Kitab Suci untuk Hari Kamis Pekan I Prapaskah: Est 4:17; Mat 7:7-12 

Dalam teks-teks liturgis untuk hari ini Gereja menyajikan suatu katekese tentang doa. Ratu Ester mewakili umat Allah: dalam kesedihannya yang mendalam, yang rentan terhadap kekerasan dari pihak dunia yang berkuasa, tanpa kekuasaan apapun ada pada dirinya, hanya didukung  oleh iman akan kemahaperkasaan Allah, maka karenanya dia didorong untuk berdoa: “Tuhanku, Raja kami, Engkaulah yang tunggal, dan tolonglah aku yang seorang diri ini, yang padanya tidak ada yang menolong selain dari Engkau, sebab bahaya maut mendekati diriku” (Es4 14:3-4; edisi LAI: T.Est C:10-11). 

Dalam Injil Yesus mengundang kita untuk berdoa: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7). Kata-kata Yesus ini sangat berharga, karena  kata-kata tersebut mengungkapkan relasi sejati yang ada antara Allah dan umat manusia, dan menjawab suatu persoalan fundamental sepanjang sejarah agama-agama dan kehidupan pribadi kita. Benar dan pantaskah untuk memohon sesuatu dari Allah, ataukah barangkali puji-pujian, adorasi (sembah bakti), ucapan syukur, sebuah doa yang bebas dari kepentingan, yang merupakan satu-satunya respons yang memadai terhadap transendensi dan kebesaran Allah? Apakah barangkali hal itu merupakan suatu konsep primitif tentang Allah dan umat manusia, kurang lebih egoisme yang ditinggikan, apabila kita minta hal-hal yang baik untuk hidup kita dari Allah alam semesta? Yesus tidak worry tentang hal ini. Yesus tidak mengajarkan suatu agama orang-orang terpilih yang sepenuhnya tidak memperhatikan kepentingan sendiri. Konsep Allah yang diajarkan oleh Yesus berbeda: Allah-Nya adalah Allah yang sangat manusiawi; Allah ini baik dan memiliki kuasa. Agama Yesus sangat menusiawi, sangat sederhana – yaitu agama orang-orang sederhana: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Mat 11:25). 

Orang-orang kecil, mereka yang mempunyai kebutuhan akan pertolongan Allah dan mengatakan kepada-Nya begitu, memahami kebenaran itu secara lebih baik daripada orang-orang pandai, yang menolak mendoakan doa permohonan, yang hanya menerima bentuk doa puji-pujian kepada Allah tanpa kepentingan sendiri, dan pada kenyataannya membangun suatu keberdikarian manusia, yang tidak cocok dengan keperluan manusia yang diungkapkan dalam kata-kata Ester: “Tolonglah aku!”  Di belakang pendirian yang angkuh tidak akan menyusahkan Allah dengan kebutuhan-kebutuhan kecil kita, seringkali ditemukan keraguan-raguan bahwa Allah mungkin tidak mempunyai kuasa untuk menanggapi realitas-realitas kehidupan kita, keragu-raguan apakah Allah dapat mengubah situasi kita dan memasuki realitas-realitas kehidupan kita di bumi. Dalam konteks pandangan modern kita tentang dunia, maka masalah-masalah “orang bijak dan orang pandai” kelihatannya mempunyai dasar yang kuat. Jalannya alam diatur oleh hukum alam yang diciptakan oleh Allah. Allah yang dimaksudkan di sini bukanlah Allah yang sewenang-wenang dan berubah-ubah; dengan demikian apabila hukum alam ini ada, maka jawaban apakah yang dapat kita harapkan dari Allah atas keperluan-keperluan hidup? Akan tetapi di lain pihak, apabila Allah tidak bertindak, kalau Allah tidak memiliki kuasa atas masalah-masalah konkret kehidupan kita; bagaimana Allah tetap Allah? Dan apabila Allah adalah kasih, bukankah kasih itu akan mencari jalan untuk menjawab harapan-harapan dari dia yang dikasihi-Nya?  Apabila Allah adalah kasih dan Ia tidak dapat menolong kita dalam kehidupan aktual kita, maka kasih tidak akan merupakan kuasa terakhir di dalam dunia, kasih tidak akan selaras dengan kebenaran. Namun apabila kasih bukanlah kuasa tertinggi, maka siapakah kuasa tertinggi itu atau siapakah yang memiliki kuasa tertinggi itu? Dan apabila ada perbedaan antara kasih dan kebenaran, maka apa yang harus kita lakukan: mengikuti kasih seperti  melawan kebenaran, atau mengikuti kebenaran seperti melawan kasih? Perintah-perintah Allah, yang jantungnya (pada hakekatnya) adalah kasih, tidak lagi akan benar, dan kontradiksi-kontradiksi apakah yang tidak kita temukan dalam pusat realitas? Tentu saja, persoalan-persoalan ini ada dan menemani pemikiran manusia; kesan bahwa mungkin kasih dan kebenaran tidak berjalan bersama dan realitas ditandai oleh suatu kontradiksi fundamental karena sudah menjadi sifatnya sebagai tragedi – kesan ini, saya katakan, memaksakan dirinya atas pengalaman manusia. Pemikiran manusia semata tidak akan memecahkan persoalan, dan setiap filsafat dan agama yang murni alamiah tetap terinspirasikan secara tragis. 

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu.” Kata-kata Yesus yang nyata sederhana ini merupakan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendalam pemikiran manusia, dengan keyakinan bahwa hanya Putera Allah-lah yang dapat memberikan tanggapan seperti itu. Kata-kata ini menyatakan kepada kita hal-hal berikut ini. 

1.  Allah adalah kuasa, kuasa yang terakhir; dan kuasa terakhir yang memegang kendali alam semesta ini, Dia adalah kebaikan. Kuasa dan kebaikan, dalam dunia ini seringkali dianggap terpisah, adalah identik (satu sama lain) dalam akar terakhir dari ‘yang ada’. Apabila kita bertanya: “Dari mana asalnya ‘yang ada’ ?”, maka kita dapat menjawab dengan pasti: dari suatu kuasa yang besar sekali, atau juga – kalau memikirkan struktur matematis dari ‘yang ada’ – dari suatu akal budi yang  penuh kuat-kuasa dan kreatif. Mengikuti kata-kata Yesus kita dapat menambahkan: kuasa yang tertinggi ini, akal budi yang tertinggi, pada saat sama adalah kebaikan murni dan sumber dari segala rasa percaya kita. Tanpa iman kepada Allah Pencipta langit dan bumi ini, Kristologi akan tetap terfragmentasi; seorang penebus tanpa kuasa, seorang penebus yang diceraikan dari sang Pencipta tidak akan berada dalam suatu posisi untuk memberikan kepada kita penebusan yang sejati. Dan karenanya kita memuliakan kemuliaan Allah yang besar sekali. Doa dan puji-pujian tidak dapat dipisahkan, doa adalah pengakuan konkret akan kemahabesaran  kuasa dan kemuliaan Allah

Seperti telah saya tekankan, kita juga menemukan di sini dasar dari moralitas Kristiani. Perintah-perintah Allah tidak sewenang-wenang; perintah-perintah itu sederhananya adalah eksposisi konkret dari tuntutan kasih. Tetapi kasih juga bukanlah suatu pilihan sewenang-wenang; kasih adalah substansi dari ‘yang ada’: kasih dan kebenaran. “Seseorang yang mengenal kebenaran, mengenal Terang itu, dan seseorang yang mengenal Terang itu, mengenal Kekekalan-abadi. Kasih mengenalnya. O kebenaran kekal dan kasih sejati dan kekekalan yang terkasih”, kata Santo Augustinus, ketika dia menggambarkan saat dia menemukan Allah dari Yesus Kristus (Pengakuan-Pengakuan VII 10,16).  ‘Yang ada’ sendiri tidak hanya berbicara bahasa matematika; ‘yang ada’ sendiri mempunyai suatu isi moral, dan perintah-perintah itu menerjemahkan bahasa ‘yang ada’ dan alam ke dalam bahasa manusia. 

Pertimbangan ini bagi saya kelihatannya merupakan pandangan fundamental tentang situasi kini, di mana dunia fisik-matematis dan dunia moral kelihatan hampir sepenuhnya terpisah satu sama lain. Alam kelihatannya samasekali tidak berisikan bahasa moral, etika sedang merosot turun ke dalam suatu kalkulasi utilitarian, dan suatu kemerdekaan kosong sedang menghancurkan kemanusiaan dan dunia. 

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu”, itulah, Allah adalah kuasa dan kasih. Allah dapat memberikan dan Ia memang dapat memberikan. Kata-kata ini mengundang kita untuk memeditasikan identitas akhir dari kuasa dan kasih; kata-kata itu mengundang kita untuk mengasihi kuasa Allah: “Kami bersyukur kepada-Mu, kami memuji Engkau untuk kemuliaan-Mu”. 

2.  Allah dapat mendengar dan berbicara: artinya Allah adalah seorang Pribadi. Pernyataan ini berada di jantung (pusat) suatu tradisi Kristiani yang jelas, namun suatu arus penting dalam sejarah agama-agama bertentangan dengan suatu konsep yang sedemikian dan semakin menjadi  suatu godaan  bagi dunia Barat: agama-agama yang berasal dari tradisi-tradisi Hindu dan Budha, dan fenomena gnostik yang memisahkan antara penciptaan dan penebusan. Hari ini kita sedang melihat suatu kebangkitan kembali gnostisisme, yang barangkali merupakan ancaman paling suram terhadap karya spiritual dan pastoral Gereja. Gnostisisme memperkenankan (umat) mempertahankan terminologi dan upacara keagamaan yang dihormati sejak dahulu, aura agama, namun tanpa perlu mempertahankan iman. Dan inilah godaan mendalam dari gnostisisme: yaitu nostalgia akan keindahan agama, namun juga keletihan hati, yang tidak lagi mempunyai kekuatan iman. Gnosis mengedepankan dirinya sebagai tempat pengungsian di mana agama dapat berlanjut setelah kehilangan iman. Namun di belakang pelarian tersebut hampir selalu terdapat suatu kepengecutan yang tidak lagi percaya kepada kuasa Allah atas alam, Pencipta langit dan bumi. Dan dengan demikian mulailah suatu rasa jijik terhadap hal-hal yang badaniah – badan/tubuh kelihatannya bebas dari (pertimbangan) moralitas. Rasa jijik terhadap tubuh menghasilkan rasa jijik terhadap sejarah penyelamatan, yang akhirnya menjadi suatu impersonalisme agama. Doa digantikan oleh latihan-latihan batin, pencaharian akan kekosongan sebagai sebuah tempat kemerdekaan. 

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu”, – doa ‘Bapa Kami’ adalah penerapan konkret dari kata-kata Tuhan kita. Doa ‘Bapa Kami’ merangkul segala hasrat sejati dari umat manusia, dari hasrat akan ‘Kerajaan Allah’ sampai kepada hasrat akan ‘makanan sehari-hari yang secukupnya’. Jadi, doa yang fundamental ini merupakan indikator yang menunjukkan jalan menuju kehidupan manusia. Dalam doa kita melakukan kebenaran. 

3.  Satu aspek final terbuka bagi kita, apabila kita membandingkan teks Injil Matius dengan teks Injil Lukas dan dengan teks-teks yang sama dari Injil Yohanes. Santo Matius menyimpulkan katekesenya tentang doa dengan kata-kata Yesus: “Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Mat 7:11). Kita di sini menemukan penekanan kebaikan Allah yang mutlak, kita temukan kepribadian Allah yang diekspresikan, ‘seorang’ Bapa bagi anak-anak-Nya; kita temukan juga suatu alusi kepada dosa asal, kepada korupsi orang-orang jahat, karena pemberontakan mereka melawan Allah, di jalan menuju otonomisme untuk ‘menjadi seperti Allah’. 

Namun untuk saat ini minat kita bukanlah diarahkan kepada unsur-unsur fundamental teologi dan antropologi Kristiani. Sebaliknya,  yang memprihatinkan kita adalah persoalan berikut: Apa sajakah yang mungkin merupakan subjek-subjek doa Kristiani? Hal-hal apa sajakah yang dapat kita minta dari kebaikan Allah? Jawaban Tuhan sangatlah sederhana: segala hal. Segala hal yang baik. Allah yang baik hanya memberikan hal-hal yang baik, namun kebaikan-Nya dalam hal ini tidak mengenal batas. Jawaban ini sangatlah penting. Dengan Allah kita sungguh dapat berbicara sebagai anak-anak kepada Bapa mereka. Tidak sesuatu pun yang diabaikan atau tidak diperhitungkan. Kebaikan dan kuasa Allah hanya mengenal satu batasan: kejahatan. Tidak mengenal batasan antara hal-hal yang besar dan kecil, antara hal-hal yang bersifat materiil dan yang bersifat spiritual. Allah (kita) manusiawi – Allah adalah seorang manusia, dan dapat menjadi manusia, karena kasih-Nya dan kuasa-Nya merangkul untuk kekekalan hal-hal yang besar dan kecil, tubuh dan jiwa, makanan sehari-hari dan Kerajaan Surga. Doa Kristiani sepenuhnya manusiawi, doa dalam persekutuan (communio) dengan Allah-manusia, dengan Putera. Doa orang sederhana adalah doa Kristiani yang sejati, yaitu doa yang  dengan penuh rasa percaya tanpa rasa takut membawa segala realitas dan kemiskinan hidup di bawah mata kebaikan yang mahakuasa. Kita dapat minta segala hal yang baik. Namun sebagai bagian dari kebebasan, doa adalah sebuah jalan menuju pertobatan, jalan pendidikan ilahi, jalan rahmat: dengan berdoa kita harus belajar hal-hal apa yang baik atau tidak baik; kita harus belajar untuk menolak semua kejahatan, memenuhi janji-janji baptis kita: “Saya menolak Iblis dan segala pekerjaannya”. Doa memisahkan terang dari kegelapan dalam kehidupan kita dan mencapai dalam diri kita ciptaan baru, membuat kita sebagai pengada-pengada baru. Oleh karena itu sangatlah penting bahwa dalam doa kita pada kenyataannya menghadirkan keseluruhan hidup kita di depan mata Allah, kita yang adalah jahat, yang menghasrati begitu banyak hal yang buruk. Dalam doa kita belajar menolak hasrat-hasrat kita sendiri, kita mulai menghasrati hal-hal yang baik, untuk menjadi baik dalam berbicara kepada-Nya yang adalah kebaikan itu sendiri. Tanggapan ilahi bukanlah sekadar konfirmasi kehidupan kita, melainkan suatu proses transformasi.    

Kalau kita melihat kedalaman makna jawaban Tuhan yang sangat sederhana ini dalam Injil Matius, maka kita dapat memahami perbedaan istimewa dari makna dalam tradisi Lukas. Jawaban Tuhan menurut Injil Lukas berbunyi: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Luk 11:13). Di sini isi doa Kristiani jauh lebih terbatas, ditentukan secara lebih tepat daripada dalam Injil Matius: orang Kristiani meminta dari kebaikan Allah bukannya apa saja, melainkan minta dari Allah karunia ilahi – Roh Kudus, minta dari Allah tidak kurang  dari Allah sendiri – kebaikan itu sendiri, kasih itu sendiri – Allah yang memberikan diri-Nya – Roh Kudus. Secara fundamental hal ini tidak bertentangan dengan tradisi Santo Matius. Menurut Injil Lukas kebaikan juga harus diminta dari Allah: kebaikan yang melingkupi semua hal yang baik. Akan tetapi Santo Lukas menunjukkan keprihatinannya bahwa hal-hal manusiawi harus tetap berada dalam wilayah tanggung jawab manusia itu sendiri; bahwasanya doa tidak boleh menjadi suatu dalih untuk kemalasan manusia; bahwasanya kita tidak boleh meminta terlalu sedikit dari Allah, melainkan kita harus meminta semua – Allah sendiri – dengan keberanian Putera-Nya. Maka, Santo Lukas menggarisbawahi lebih daripada Santo Matius perihal pemurnian hasrat-hasrat yang pantas untuk doa Kristiani; dengan menekankan bahwa doa Anak-anak Allah adalah doa Putera-Nya, sebuah doa Kristologis ‘melalui Kristus’. Santo Lukas tidak membatasi kuasa Allah pada hal-hal spiritual dan supernatural saja; Roh Kudus meresapi segala sesuatu; namun objek doa diberi penekanan: bahwasanya kita orang jahat harus berhenti sebagai orang jahat dan menjadi baik dengan ikut ambil bagian dalam kebaikan Allah sendiri. Hal inilah yang akan menjadi jawaban sejati terhadap doa, apabila kita tidak hanya mempunyai hal-hal yang baik, melainkan kita sendiri juga adalah  orang-orang baik. 

Kita menemukan bahwa tradisi Yohanes (juga) sejalan.  Santo Yohanes mengemukakan dua aspek: 

(a) Doa Kristiani adalah doa dalam nama sang Putera. Apabila identitas doa anak-anak Allah dan doa sang Putera Allah dalam Injil Lukas hanya diindikasikan, maka dalam Injil Yohanes unsur hakiki ini menjadi eksplisit. Berdoa dalam nama Putera bukanlah suatu rumusan belaka, tidak hanya kata-kata; untuk mendapat bagian dalam nama-Nya mempersyaratkan (orang) mengikuti sebuah jalan identifikasi, jalan pertobatan dan pemurnian, jalan untuk menjadi Anak; aktualisasi, yaitu, baptisan kita ke dalam pertobatan kekal. Jadi, kita menjawab undangan Tuhan: “Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32). Ketika kita mengucapkan rumusan liturgis ‘Dengan pengantaraan Kristus Tuhan kita’, semua teologi ini hadir; hari lepas hari kata-kata ini mengundang kita kepada jalan identifikasi dengan Yesus sang Putera, dengan perjalanan baptisan, yaitu dengan pertobatan. 

(b)  Santo Yohanes mengindikasikan isi doa, isinya perihal janji dan pemenuhannya, dengan kata ‘sukacita’: “Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu” (Yoh 16:24). Jadi  teks ini dapat berfungsi sebagai perantara antara tradisi Santo Matius dan tradisi Santo Lukas. Sasaran dari semua permintaan kita, segala hasrat kita, adalah sukacita, kebahagiaan; semua permintaan individual mencari potongan-potongan kebahagiaan. Dan dengan demikian, bersama Santo Matius, Santo Yohanes berkata kepada kita: minta semua dari Allah – carilah senantiasa kebahagiaan dan Bapa mempunyai kuasa dan kebaikan untuk memberikannya kepada kita. Bersama Santo Lukas, Yohanes mengatakan: semua hal yang baik adalah fragmen-fragmen dari realitas unik ini yang adalah sukacita; dan sukacita pada akhirnya tidak lain tidak bukan adalah Allah sendiri, Roh Kudus. Tataplah pandangan (anda) pada Allah, carilah ‘sukacita’, Roh Kudus, dan milikilah semuanya. 

Jadi meditasi atas Injil memimpin kita kepada doa pembukaan Misa pada hari ini: “Curahkanlah rahmat-Mu ke atas kami, ya Tuhan, sehingga kami senantiasa dapat mengenali apa yang benar dan dengan cepat melaksanakannya. Dengan demikian kami belajar untuk hidup seturut kehendak-Mu, karena kami tak dapat eksis tanpa Engkau”. 

Catatan: Terjemahan dari buku karangan Cardinal Joseph Ratzinger, JOURNEY TOWARDS EASTER, Makati, Philippines: St. Paul Publication. Buku asli dalam bahasa Italia dengan judul Il Cammino Pasquale, Milano, Italia: 1985; diterjemahkan oleh Dame Mary Groves OSB. Penggaris-bawahan kata-kata, beberapa kata dalam tanda kurung dan sebagian besar pengetikan dalam huruf miring dilakukan oleh penerjemah ke dalam bahasa Indonesia ini. Dua patah kata sebagai suatu kesatuan pengertian: ‘Yang ada’ adalah terjemahan untuk kata ‘being’ dalam bahasa Inggris, kata lainnya adalah ‘pengada’. 

Cilandak, 15 Maret 2010  

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS (Penerjemah)

YESUS ADALAH JURUSELAMAT DAN PENEBUS KITA [3]

YESUS ADALAH JURUSELAMAT DAN PENEBUS KITA [3] 

Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus; Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci. Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; kerajaan-Nya takkan berakhir (sebagian dari Pengakuan Iman hasil Konsili Nikea – Konstantinopel; Puji syukur No.2). 

Tetapi yang benar ialah bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. (1Kor 15:20-21) 

Pada awal tulisan ini (serie 1), saya mengatakan bahwa Yesus mengubah orang-orang yang berjumpa dengan-Nya. Inilah yang terjadi dengan orang-orang Majus dan para gembala. Inilah pula yang terjadi dengan para murid-Nya, seperti Nathanael alias Bartolomeus, orang Farisi seperti Nikodemus dan Yusuf dari Arimatea. Memang inilah yang terjadi dengan para kudus Gereja. Lihatlah pengalaman perjumpaan Santo Fransiskus dari Assisi, Santa Klara dari Assisi, Santo Ignatius dari Loyola, Santa Teresa dari Avila, Santo Yohanes dari Salib, Santa Teresa dari Lisieux dan semua orang kudus lainnya. Kata kuncinya adalah “perjumpaan”. 

Pada serie terakhir (ke-3) tulisan ini, marilah kita melakukan refleksi akhir dalam keheningan atas apa yang telah kita baca dan renungkan sebelumnya. Dalam tulisan ini disediakan beberapa bacaan Kitab Suci yang dapat digunakan untuk permenungan atau pendalaman secara pribadi atau dalam pendalaman iman/Kitab Suci dalam kelompok kecil, karena kelompok yang relatif terlalu besar tidak pernah efektif. Juga disediakan beberapa pertanyaan yang dapat digunakan, baik secara pribadi maupun dalam diskusi kelompok. 

Refleksi akhir. Yesus adalah seorang Guru par excellence. Secara lisan Ia menyampaikan pesan yang menyelamatkan kehidupan manusia; lagipula Dia mempraktekkan apa yang diajarkan-Nya kepada orang-orang lain. Kita telah diberikan privilese dapat mendengarkan pesan Yesus dan untuk merefleksikan apa yang diperbuat-Nya bagi kita. Perubahan apa yang telah diperbuat Yesus dalam diri kita masing-masing? Bagi mereka yang percaya kepada-Nya, pesan-pesan Yesus merupakan pesan-pesan yang mengubah hidup mereka. Jadi, pesan-pesan yang sungguh merupakan KABAR BAIK.

Yesus mengungkapkan bahwa Allah adalah Abba (papi, papa dlsb.) yang sangat mengasihi. Kasih-Nya tanpa batas. Seorang Bapa yang dapat didekati dengan penuh keyakinan oleh anak-anak-Nya. Kasih Allah kepada kita bebas dari syarat/kondisi dan ikatan apa pun; Ia mengasihi kita sebagai apa adanya kita masing-masing. Ini sungguh berita yang sangat menggembirakan dan berbobot, yaitu bahwa kita-manusia begitu bernilai di mata Allah sehingga Putera-Nya yang tunggal memberikan nyawa-Nya bagi kita. 

Yesus telah menyelamatkan kita. Dia memproklamasikan pengampunan Allah dan menyembuhkan kita dari segala sakit-penyakit yang dapat disebabkan oleh si Jahat dan dosa. Yesus telah mengalahkan dosa dan maut. Jadi, apabila kita – dalam iman – bergabung dengan Yesus, marilah kita menerima pengampunan-Nya dan marilah kita berbalik meninggalkan hidup dosa kita, dan kita tidak perlu merasa takut terhadap apa atau siapa pun. Kehidupan Yesus merupakan kesaksian tentang kabar yang paling besar bagi umat manusia, yaitu bahwa Allah berjaya atas kejahatan; kehidupan menang atas kematian/maut! 

Yesus mengajarkan kepada kita bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari di dunia ini. Sebagai Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, Yesus menunjukkan kepada kita jalan yang harus kita ikuti: suatu hidup pelayanan penuh kasih bagi orang-orang lain, teristimewa “wong cilik” atau saudari-saudara kita yang dina. Kita semua ingin mengetahui bagaimana menjalani suatu kehidupan yang bermakna dan produktif. Untuk itu kita tinggal melihat dan meneladan kehidupan Yesus sendiri. Dia ingin sekali untuk bergabung dengan kita selagi kita berjuang melakukan perjalanan hidup kita di dunia. Apa saja yang menjadi keprihatinan kita akan menjadi keprihatinan Yesus juga. Semua ini akan bermuara pada satu hal: Kasihilah  Allah di atas segalanya dan kasihilah sesama kita seperti diri kita sendiri. Allah adalah kasih dan Ia akan menolong kita untuk mengasihi

Yesus adalah sahabat kita. Kita dapat berjumpa dengan Tuhan yang bangkit dalam doa, dalam kedalaman hati kita. Kita dapat berjumpa dengan-Nya dalam Kitab Suci dan dalam sakramen-sakramen. Kita dapat menyambut-Nya dalam perayaan Ekaristi Kudus. Kita dapat menemukan Dia dalam diri orang-orang yang kita jumpai sehari-hari. Kita juga dapat berjumpa dengan Yesus dalam komunitas Kristiani di mana Dia adalah Kepalanya. Kita dapat bertemu dengan Yesus secara istimewa dalam diri orang-orang miskin, orang-orang yang membutuhkan bantuan, orang-orang yang didzolomi, yang diperlakukan tidak adil, yang termarjinalisasi dalam masyarakat, … para “wong cilik”. 

Tantangan besar dalam perjalanan hidup kita adalah untuk secara berkesinambungan sadar akan kehadiran Yesus. Ujian sejati dari ketulusan kita untuk berbalik kepada Tuhan Yesus adalah kemampuan untuk melihat Dia dalam diri orang-orang lain dan kemauan kita untuk memberikan respons kepada-Nya lewat sikap dan perilaku kita terhadap orang-orang lain itu. Dalam kehidupan ini, sesungguhnya kita berjumpa dengan Yesus yang tersembunyi. Ibu Teresa dari Kalkuta adalah suatu contoh orang yang dengan tetap melihat Yesus dalam diri orang-orang yang dilayaninya, yaitu the poorest of the poor

Dalam perumpamaan-Nya tentang ‘Penghakiman Terakhir’, Yesus berkata: Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Renungkanlah ayat ini dalam doa, dan di hadapan hadirat-Nya, marilah kita melakukan pemeriksaan diri kita masing-masing berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  • Siapa “seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini” yang biasa anda jumpai sehari-hari? Bayangkanlah mereka dalam pikiran anda. Pandanglah imaji (gambar) Tuhan Yesus yang memancar dari wajah-wajah mereka.
  • Apakah kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling mendesak? Mohonlah kepada Tuhan Yesus untuk memberikan kepada anda wawasan atas bagaimana saudari-saudara yang hina ini membutuhkan anda, sentuhan anda, senyuman anda, penerimaan dari pihak anda, dukungan anda.
  • Apakah anda akan/mau merespons kebutuhan-kebutuhan mereka? Mohonlah kepada Tuhan Yesus agar memberdayakan anda dengan kuat-kuasa Roh Kudus agar dapat memanifestasikan kasih-Nya kepada “saudari dan saudara yang paling hina ini”. 

Kita dapat mengakhiri doa kita dengan membuat sebuah resolusi untuk melakukan sesuatu dengan wawasan yang telah diberikan Tuhan Yesus kepada kita. 

Pertanyaan-pertanyaan untuk pendalaman pribadi atau diskusi kelompok. 

  1. Yesus adalah Juruselamat dunia. Apa artinya bagi anda ketika anda berkata, “Yesus menyelamatkan aku”? 
  2. Yesus memanggil kita untuk melakukan pertobatan. Apa saja dalam kehidupan anda sekarang yang memerlukan perubahan, supaya anda dapat dengan lebih mudah merespons panggilan Tuhan Yesus itu? 
  3. Yesus datang untuk “menghibur mereka yang  menderita dan menyebabkan derita bagi mereka yang hidup nyaman.” Bagaimana kiranya Yesus menghibur anda? Bagaimana pula Dia menantang anda? 
  4. Tuhan Yesus mengatakan, bahwa kita dapat memanggil Allah Abba, “papi, papa dlsb.”.  Apa artinya ini bagi anda? Dapatkah kita mengatakan, bahwa kasih Allah juga seperti kasih seorang ibu? Mengapa? 

Bacaan tambahan. Bacalah dan renungkanlah perumpaman-perumpamaan Yesus berikut ini, satu saja untuk satu permenungan atau pertemuan kelompok, dan jangan sekaligus beberapa atau semuanya:

(a) ‘Perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur’ (Mat 20:1-16); 

(b) ‘Perumpamaan tentang Orang kaya dan Lazarus yang miskin’ (Luk 16:19-31); 

(c) ‘Perumpamaan Orang Samaria yang murah hati’ (Luk 10:29-37); 

(d) ‘Perumpamaan tentang Gembala yang baik’ (Yoh 10:1-21); 

(e) ‘Perumpamaan tentang anak yang hilang” (Luk 15:11-32). 

Cilandak, 8 Maret 2011  

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS