SEORANG PEMIMPIN PERTAMA-TAMA ADALAH SEORANG PELAYAN
SEORANG PEMIMPIN PERTAMA-TAMA ADALAH SEORANG PELAYAN
(Bacaan Injil Misa Kudus, TRI HARI PASKAH: KAMIS PUTIH – 1 April 2021)
Pengantar
Dalam bacaan Injil malam Kamis Putih (Yoh 13:1-15) kita mendengar tentang Yesus yang terus saja melakukan yang tidak lazim, malah bertentangan dengan apa yang diterima sebagai benar dalam masyarakat, suatu penjungkir-balikan nilai-nilai dunia: pada saat makan Paskah, Yesus membasuh kaki para pengikut terdekat-Nya. Hal ini diperingati/diperagakan pada setiap malam Kamis Putih, namun pada hari yang bersejarah di Yerusalem pada waktu itu, segalanya dilakukan oleh Yesus sendiri, tidak ada petugas-petugas – seperti putera altar – yang membantu.
Awal dari bagian kedua Injil Yohanes
Seperti kita ketahui, para pakar Kitab Suci membagi Injil Yohanes ke dalam dua bagian besar. Bab 1 sampai dengan bab 12 memuat berbagai catatan dan narasi mengenai manifestasi Yesus kepada dunia, sedangkan bab 13-20 memuat pernyataan-pernyataan Yesus secara istimewa kepada pada murid-Nya berkaitan dengan “saat-Nya” (Yoh 13:1), yakni berkaitan dengan kematian-Nya dan kebangkitan-Nya.
Karena cerita upacara “pembasuhan kaki para murid” ini ditampilkan pada awal bagian kedua dari Injil ini, maka boleh kita memandangnya sebagai suatu peristiwa yang memiliki signifikansi dalam keseluruhan ajaran Yesus, dan merupakan suatu ajaran yang melampaui sekadar ajaran moral. Agar kita memahami peristiwa ini sepenuhnya, maka kita harus memandangnya sebagai peristiwa yang sangat berkaitan dengan sengsara Yesus dan latar belakang Ekaristi serta Paskah.
Datang untuk melayani, bukan untuk dilayani
Pembasuhan kaki para murid dilakukan oleh Yesus untuk dijadikan contoh, untuk menyampaikan suatu pengajaran yang bersifat vital. Yesus, sang Guru dan Tuhan mereka, lewat peristiwa ini ingin mengukir dalam memori dan pikiran para murid-Nya, suatu kenyataan bahwa Dia telah datang ke dunia untuk melayani dan bukan untuk dilayani (Mat 20:28; Flp 2: 6-11). Hidup-Nya di dunia dari awal sampai dengan akhirnya diinspirasikan oleh kasih (Yoh 13:1), kasih yang bersifat ilahi (agapĕ), pemberian diri.
Melalui “pembasuhan kaki para murid”, Yesus menunjukkan pelayanan-Nya yang total kepada umat manusia yang diwujudkan dalam bentuk pemberian hidup-Nya pada kayu salib di Kalvari. Melalui upacara pembasuhan kaki ini, Yesus menyatakan kepada kita personalitas-Nya yang lebih dalam: Dia adalah seorang Pribadi yang hidup untuk orang lain (a man for others), seseorang yang memposisikan diri-Nya sebagai pelayan bagi para saudari dan saudara-Nya.
Pada tahapan ini baiklah kita membayangkan apa yang terjadi sekitar 2.000 tahun lalu itu: ketika para murid sampai di rumah tempat perjamuan Paskah, mereka dapat mencium aroma dari anak domba yang dipanggang dan juga roti yang baru dikeluarkan dari panggangan. Di ruang atas, mereka juga melihat ruang perjamuan yang sudah dipersiapkan dengan baik – meja berbentuk U di atas lantai kayu, permadani-permadani dan bantal-bantal untuk berbaring dan bersandar. Ada juga baskom untuk menampung air basuhan, ada kendi berisikan air, dan handuk yang dilipat. Air dan handuk seharusnya digunakan oleh budak/pelayan yang paling rendah posisinya dalam rumah itu untuk membasuh kaki-kaki para tamu, satu per satu. Namun pada malam itu tidak seorang pun hamba/pelayan yang kelihatan.
Para murid belum memahami pengajaran Yesus tentang pemimpin yang melayani
Dan sekarang, tidak ada seorang pun dari para murid yang secara sukarela mau mengambil inisiatif menjadi hamba/pelayan untuk mereka semua. Rupanya tidak seorang pun dari mereka yang masih ingat akan pesan/pengajaran Yesus tentang arti pelayanan dalam kepemimpinan (lihat Mrk 10:42-45; bdk. Mat 20:25-28). Ini terjadi dalam perjalanan rombongan Yesus menuju Yerusalem, setelah pemberitahuan ketiga tentang penderitaan-Nya; dan juga setelah Yakobus dan Yohanes meminta kedudukan penting dalam pemerintahan Yesus, sang Mesias (dalam Injil Matius ibunda mereka juga terlibat). Dalam Injil Lukas, topik “siapa yang paling besar” dapat kita lihat dalam percakapan waktu Perjamuan Malam (Luk 22:24-27).
Pada malam Perjamuan Terakhir itu, setelah tiga tahun lamanya para murid hidup segalang-segulung bersama Yesus, sang Guru, melihat dari dekat gaya hidup-Nya yang walk the talk (bukan NATO), menjadi pendengar pengajaran-pengajaran-Nya dari jarak dekat, dan menyaksikan sendiri hikmat-Nya serta segala mukjizat dan tanda heran yang dibuat-Nya, terlihat bahwa benak mereka masih saja dipenuhi dengan berbagai pemikiran duniawi tentang kekuasaan dan status. Barangkali ketika sampai di ruang atas ada murid yang sudah membayangkan dirinya sebagai Perdana Menteri atau Menko dll. yang pantas untuk duduk di dekat sang Mesias Raja. Inilah kiranya yang ada dalam benak para murid ketika naik menuju ruang atas. Jadi, tidak mengherankanlah jika tidak ada seorang pun murid yang dengan sukarela mau membasuh kaki murid-murid yang lain.
Apa yang terjadi di TKP
Setelah Yesus hadir di tempat itu, semuanya menjadi berubah. Ketika mereka sedang makan bersama, Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia. Yesus tahu bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah Yoh 13:3-4). Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Dia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah baskom dan mulai membasuh kaki para murid-Nya, kemudian menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggan-Nya itu (Yoh 13:4-5). Hal ini diperingati setiap malam Kamis Putih, namun pada hari yang bersejarah di Yerusalem pada waktu itu, segalanya dilakukan oleh Yesus sendiri, tidak ada petugas-petugas – seperti putera altar – yang membantu-Nya.
Mari kita merenungkan apa yang terjadi. Yesus, sang Guru, membasuh kaki para murid-Nya., satu persatu. Yesus, Putera Allah, membasuh kaki para makhluk ciptaan-Nya. Ini adalah pekerjaan budak-budak, bukan pemilik rumah atau anggota rumah tangga bersangkutan; apalagi Tuhan sendiri.
Jalan pemikiran Simon Petrus dan ulah rasul yang satu ini
Kita kiranya mengetahui kelanjutan cerita ini. Ketika tiba giliran Simon Petrus, dia berkata kepada Yesus: “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” (Yoh 13:6). Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengerti kelak” (Yoh 13:7). Kata Simon Petrus kepada Yesus: “Engkau tidak akan pernah membasuh kakiku sampai selama-lamanya”. Yesus menjawab lagi: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh 13:8). Wah, sungguh suatu dialog yang cukup menegangkan. Harap anda membaca sendiri kelanjutan dialog ini. Simon Petrus akhirnya mengikuti kehendak Yesus untuk membasuh kakinya. Permintaan Simon Petrus dalam Yoh 13:9 terasa “lebay”, tetapi memang begitulah Simon Petrus.
Memang sukar bagi kita untuk menyalahkan Simon Petrus dan jalan pemikirannya. Yesus adalah sang Mesias, Raja yang akan datang. Dari perspektif Petrus, seorang raja tidak akan membasuh kaki seorang nelayan. Para raja memerintah kerajaan-kerajaan. Mereka adalah panglima tertinggi pasukan serdadu kerajaannya. Petrus mngkin saja berpikir bahwa Yesus telah kehilangan akalnya. Tidak seorang pemimpin pun akan melakukan tugas yang dina sedemikian. Yang tidak disadari oleh Petrus adalah kenyataan bahwa Yesus sedang mendefinisikan-kembali apa esensi dari kepemimpinan, kekuasaan, dan kebesaran (greatness). Dengan menciptakan peranan dari pemimpin yang melayani (servant leader), Yesus memberi contoh dari jawaban Tuhan kepada Paulus yang kemudian ditulis oleh sang rasul dalam salah satu suratnya: “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah Kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor 12:9).
Ada kemungkinan bahwa Petrus telah melupakan apa yang terjadi ketika Yakobus dan Yohanes “minta kedudukan penting” dalam pemerintahan-Nya yang penuh kemuliaan di masa mendatang. Bacalah kembali Mrk 10:42-45 dan/atau Mat 20:25-28. Dengan membasuh kaki para murid-Nya Yesus telah mendemonstrasikan apa yang dimaksudkan-Nya ketika sebelumnya Dia pernah mengatakan: “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa bertindak sebagai tuan atas rakyatnya, dan para pembesarnya bertindak sewenang-wenang atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan siapa saja ingin menjadi yang pertama di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu , sama seperti Anak Manusia ……” (Mat 20:25-28). Inilah martabat pelayan (servanthood) dari seorang pemimpin. Sesungguhnya, seorang pemimpin pertama-tama adalah seorang pelayan.
Petrus sebagai pemimpin Gereja
Ternyata Petrus adalah pribadi yang mau belajar dari pengalaman! Sebagai seorang pemimpin/pemuka Gereja yang masih muda usia, sang rasul menulis suratnya kepada para penatua Gereja yang isinya sangat relevan bagi para panatua pada masa itu dan juga kita semua yang hidup pada abad XXI ini (bacalah dengan serius 1 Ptr 5:1—11). Ini adalah Petrus yang berbeda dengan Petrus pada malam makan Paskah tersebut, paling sedikit pada saat sebelum dibasuh kakinya. Sebagai pemimpin di masa awal Gereja, Petrus mengalami kematian yang sama seperti Tuhan dan Gurunya, mati di kayu salib, namun dengan posisi terbalik, yaitu dengan kepalanya di bagian bawah, seorang martir Kristus yang kita dapat pungkiri kenyataannya.
Perintah untuk meneladan Yesus
Sekarang, marilah kita mundur sekitar 2.000 tahun dan kembali ke TKP. Setelah kembali ke tempat-Nya di ruang perjamuan itu, Yesus mengatakan: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan satu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu (Yoh 13:12-15). Sayang sekali, banyak orang yang hidup dalam budaya modern, bahkan para pemimpin Gereja sendiri, melihat “kepemimpinan yang melayani” sebagai suatu tanda kelemahan. Tidak demikian halnya dengan pandangan Yesus, yang sudah dipraktekkan-Nya sendiri. Sesungguhnya, “kepemimpinan yang melayani” (Servant Leadership) adalah suatu tanda kekuatan. Hal ini seringkali menuntut kekuatan internal yang lebih, menuntut karakter yang lebih, untuk mau dan mampu melayani daripada dilayani.
Yesus selalu berinteraksi dengan orang-orang dari posisi kekuatan dan pengendalian-diri. Namun Ia mempraktekkan kekuatan itu tidak dengan mendominasi, melainkan dengan melayani. Dalam upacara “pembasuhan kaki”, Yesus memberikan wawasan ke dalam sumber dari kekuatan-Nya: “Yesus tahu bawa bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” (Yoh 13:3). Kerendahan hati (kedinaan) dan martabat diri-Nya mengalir dari Bapa-Nya, yang secara lengkap dan mutlak menguatkan Dia. Hal itu membebaskan Yesus untuk melayani orang-orang dengan baik, bagaimanapun cara pengungkapannya.
Dalam memimpin para pengikut-Nya, Yesus tidak mencari-cari respek dari orang lain, melainkan justru memberi respek itu. Sebaliknya para murid pada waktu itu – barangkali seperti kita juga pada zaman NOW ini – memimpin dengan kekuatan sendiri berjuang mati-matian demi kedudukan yang terhormat dan kehormatan, namun menolak untuk melayani. Mereka belum belajar bagaimana menemukan identitas mereka dalam Kristus. Yesus tidak berjuang untuk mengejar (nguber-nguber) posisi kehormatan karena Bapa-Nya telah mencurahkan kehormatan ke atas diri-Nya. Sekarang Dia justru menghormati para murid-Nya,
Dalam tindakan membasuh kaki para murid, Yesus melakukan lebih daripada sekadar upaya “bersih-bersih”. Sebenarnya Yesus mengangkat para murid ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan lebih tinggi daripada diri-Nya sendiri. Ini dilakukan-Nya bahkan kepada Yudas Iskariot, si pengkhianat. Jika sang Mesias sendiri membungkuk untuk melayani mereka betapa tinggi nilai para murid-Nya itu jadinya.
Bayangkanlah, setelah kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke surga, para murid sering berefleksi atas peristiwa pembasuhan kaki ini. Kita tidak usah meragukan lagi bahwa dengan menyadari kasih dan respek Yesus kepada mereka, terbakarlah semangat mereka untuk mendedikasikan hidup mereka mengemban misi yang diamanatkan kepada mereka, sampai mati sebagai martir sekalipun.
Kita harus melayani dengan hati dan sikap seperti Yesus
Tantangan Yesus kepada para murid-Nya lewat acara pembasuhan kaki pada dasarnya merupakan panggilan untuk melayani orang-orang lain dengan sikap seperti Kristus (Christ-like attitude). Yesus mempersiapkan para murid-Nya untuk pergi melayani orang-orang lain dengan hati seperti hati-Nya sendiri (hati Allah). Ini adalah instruksi sekaligus tantangan dari Yesus bagi para pengikut-Nya dari generasi ke generasi. Tujuan Yesus dengan jenis kepemimpinan ini adalah guna menyiapkan para pengikut-Nya untuk ikut serta mendorong perkembangan Kerajaan Allah di atas bumi ini pada waktu Dia sudah tidak lagi bersama mereka. Para murid-Nya yang awal diharapkan untuk mampu mempersiapkan “kelahiran” pemimpin-pemimpin baru yang memimpin seturut hati Allah; mereka harus memimpin seperti Yesus memimpin. Barangkali inilah mengapa beberapa kata-Nya yang terakhir sebelum kenaikan-Nya ke surga berbunyi sebagai berikut: “… dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20).
Patut dicatat di sini cuplikan dari tulisan seorang imam Benediktin, Demetrius R. Dumm, seorang professor Perjanjian Baru, yang mengatakan bahwa tindakan pembasuhan kaki itu mengantisipasi sengsara Yesus, di mana Dia boleh dikatakan akan membasuh kaki segenap umat manusia. Dan Yesus juga mengatakan kepada para murid-Nya (dan kita juga) bahwa pelayanan penuh kasih sedemikian akan menyumbang lebih banyak kepada kesejateraan umat manusia daripada semua kekuatan yang kita manusia cari-cari dan hargai (Demetrius R. Dumm, hal. 9). Pandangan serupa dicetuskan oleh seorang Yesuit – pengajar Perjanjian Baru juga – yang mengatakan sebagai berikut: “Through the unusual gesture of the washing of the feet He already manifests the total service of mankind which He will render by giving His life for it on the cross” (Nil Guillemette SJ, hal. 168).
Setelah pembasuhan kaki para murid-Nya, Yesus mengidentifikasikan si pengkhianat dan Yudas Iskariot pun meninggalkan lingkaran yang dipenuhi aura terang dan kasih itu, dan dia pun beralih memasuki dunia kegelapan (Yoh 13:30).
Acara selanjutnya setelah pembasuhan kaki adalah serangkaian pengajaran Yesus khusus kepada para murid-Nya yang terdekat ini, jadi bukan kepada orang banyak. Pada dasarnya ini merupakan pengajaran-pengajaran tentang KASIH dan perintah untuk saling mengasihi; janji akan kedatangan Parakletos, yaitu Roh Kudus untuk menolong kita, ajaran tentang Pokok anggur yang benar, dll., semua sebagai pembekalan bagi para murid, jika Yesus sudah tidak lagi hidup di dunia sebagai manusia., pengajaran-pengajaran final (final discourses) Ada pula yang menyebutnya sebagai pengajaran-pengajaran perpisahan (farewell discourses).
Ada yang hilang
Sebagai catatan akhir corat-coret ini, perlu saya kemukakan, bahwa ada sesuatu yang hilang dalam narasi Injil Yohanes perihal acara Yesus makan Paskah dengan para murid-Nya (perjamuan terakhir). Dalam ketiga Injil Sinoptik, penetapan Ekaristi Kudus sangat ditekankan sebagai bagian dari Perjamuan Terakhir (lihat Mrk 14:23-25; Mat 26:26-29; Luk 22:15-20; bdk. 1 Kor 11:23-25). Tidak demikian halnya dengan Injil Yohanes. Tidak ada narasi sedikit pun tentang penetapan Ekaristi Kudus. Sebaliknya Injil Yohanes berbicara mengenai pembasuhan kaki para murid oleh Yesus yang samsekali tidak disinggung dalam ketiga Injil Sinoptik.
Mengapa penulis Injil Yohanes sama sekali tidak menyinggung narasi perihal penetapan Ekaristi Kudus dalam Injilnya? Jelas Yohanes tidak lupa akan hal ini. Ada beberapa pendapat yang telah diajukan oleh para pakar Kitab Suci. Ada yang mengatakan bahwa Yohanes tidak mau mengulangi apa yang sudah sangat jelas dalam ketiga Injil Sinoptik. Ada pula yang mengatakan bahwa pengajaran Yesus dalam Yoh 6 tentang Roti Kehidupan, sudah lebih dari cukup untuk menggaribawahi pentingnya Ekaristi Kudus bagi para pengikut Kristus.
Catatan penutup
Jelaslah bahwa dengan memegang tradisi Yahudi, Yesus merayakan Perjamuan Paskah bersama para murid-Nya. Yesus mengetahui bahwa saat-Nya sudah tiba untuk pergi dari dunia ini kepada Bapa di dalam surga (Yoh 13:1). Dia mengambil kesempatan ini untuk memberikan pengajaran terakhir, pesan perpisahan-Nya; didahului oleh acara “pembasuhan kaki para murid” yang juga merupakan pengajaran. Sebelumnya Yesus banyak berkhotbah/ memberi pengajaran kepada orang banyak. Sekarang, Ia hanya akan mengajar kepada sekelompok kecil orang, yaitu para rasul-Nya. Maksud Yesus adalah untuk memberikan kepada mereka pengajaran terakhir (bersifat final) yang harus dipegang sepanjang hari-hari kehidupan mereka.
DOA: Bapa surgawi, kami melihat kesempurnaan kasih-Mu bagi kami dalam diri Putera-Mu, Yesus, yang mengosongkan diri-Nya sehingga diri kami dapat diisi oleh-Nya. Kami membuka hati kami agar dapat menerima segala sesuatu yang Engkau ingin berikan kepada kami. Roh Kudus, bukalah mata hati kami agar dapat melihat Yesus dalam diri orang-orang di sekeliling kami. Bentuklah kami agar dapat menjadi orang-orang yang dapat menunjukkan kasih-Mu kepada dunia di sekeliling kami. Amin.
Catatan: Tulisan yang agak panjang ini adalah hasil kompilasi dari coretan-coretan saya dalam “retret pribadi Masa Prapaskah” yang saya lakukan sendiri dalam keheningan di ruang kerja (merangkap ruang tidur) tempat tinggal kami, dengan ditemani Alkitab dan beberapa buku dari perpustakaan saya, khusus dipilih untuk tujuan “retret pribadi” ini.
Narasi Injil Yohanes tentang pembasuhan kaki pada murid Yesus memang masih saya geluti terus, terutama dilihat dari sudut “kepemimpinan yang melayani” (servant leadership). Untuk informasi, buku-buku itu termaksud adalah sbb.:
- Bill Perkins, “THE JESUS EXPERIMENT – What Happens when you follow in His footsteps?”, Bandra, Mumbai: St. Paul Press Training, 2011.
- Bishop Cirilo R. Almario, Jr., D.D., “Jesus in the Fourth Gospel”, Philippines: 2001.
- David Hass, “PRAYING WITH THE WORD – Lent, Holy Week and Easter”, Cincinnati, Ohio: ST. ANTHONY MESSENGER PRESS, 1997.
- Dale Roach, “The Servant-Leadership Style of Jesus – A Biblical Strategy for Leadership Development”, Bloomington, Indiana: West Bow – A Division of Thomas Nelson & Zondervan, 2016.
- Demetrius R. Dumm, “A Mystical Portrait of Jesus – New Perspectives on John’s Gospel”, Collegeville, Minnesota: THE LITURGICAL PRESS, 2001.
- Nil Guillemette, SJ, “HUNGRY NO MORE – JOHN, SUNDAY READINGS – EXEGECIS-REFLECTIONS”, Makati, Philippines: ST. PAUL PUBLICATIONS, 1989.
- Geerad P. Weber & Robert Miller, “BREAKING OPEN THE GOSPEL OF JOHN”, Cincinnati, Ohio: ST. ANTHONY MESSENGER PRESS, 1995.
- Laurin J. Wenig, “40 DAYS OF GRACE – Lenten Prayers and Reflections”, Bandra, Mumbai: St. Paul Press Taining School, 2017.
Cilandak, 28 Maret 2021 [HARI MINGGU PALMA MENGENANGKAN SENGSARA TUHAN]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS