Posts from the ‘RUPA-RUPA TULISAN’ Category

SEORANG PEMIMPIN PERTAMA-TAMA ADALAH SEORANG PELAYAN

SEORANG PEMIMPIN PERTAMA-TAMA ADALAH SEORANG PELAYAN

(Bacaan Injil Misa Kudus, TRI HARI PASKAH: KAMIS PUTIH – 1 April 2021)

Pengantar

Dalam bacaan Injil malam Kamis Putih (Yoh 13:1-15) kita mendengar tentang Yesus yang terus saja melakukan yang tidak lazim, malah bertentangan dengan apa yang diterima sebagai benar dalam masyarakat, suatu penjungkir-balikan nilai-nilai dunia: pada saat makan Paskah, Yesus membasuh kaki para pengikut terdekat-Nya. Hal ini diperingati/diperagakan pada setiap malam Kamis Putih, namun pada hari yang bersejarah di Yerusalem pada waktu itu, segalanya dilakukan oleh Yesus sendiri, tidak ada petugas-petugas – seperti putera altar – yang membantu.

Awal dari bagian kedua Injil Yohanes

Seperti kita ketahui, para pakar Kitab Suci membagi Injil Yohanes ke dalam dua bagian besar. Bab 1 sampai dengan bab 12 memuat berbagai catatan dan narasi mengenai manifestasi Yesus kepada dunia, sedangkan bab 13-20 memuat pernyataan-pernyataan Yesus secara istimewa kepada pada murid-Nya berkaitan dengan “saat-Nya” (Yoh 13:1), yakni berkaitan dengan kematian-Nya dan kebangkitan-Nya.

Karena cerita upacara “pembasuhan kaki para murid” ini ditampilkan pada awal bagian  kedua dari Injil ini, maka boleh kita memandangnya sebagai suatu peristiwa yang memiliki signifikansi dalam keseluruhan ajaran Yesus, dan merupakan suatu ajaran yang melampaui sekadar ajaran moral. Agar kita memahami peristiwa ini sepenuhnya, maka kita  harus memandangnya sebagai peristiwa yang sangat berkaitan dengan sengsara Yesus dan latar belakang Ekaristi serta Paskah.

Datang untuk melayani, bukan untuk dilayani

Pembasuhan kaki para murid dilakukan oleh Yesus untuk dijadikan contoh, untuk menyampaikan suatu pengajaran yang bersifat vital. Yesus, sang Guru dan Tuhan mereka, lewat peristiwa ini ingin mengukir dalam memori dan pikiran para murid-Nya, suatu kenyataan bahwa Dia telah datang ke dunia untuk melayani dan bukan untuk dilayani (Mat 20:28; Flp 2: 6-11). Hidup-Nya di dunia dari awal sampai dengan akhirnya diinspirasikan oleh kasih (Yoh 13:1), kasih yang bersifat ilahi (agapĕ), pemberian diri.

Melalui “pembasuhan kaki para murid”, Yesus menunjukkan pelayanan-Nya yang total kepada umat manusia yang  diwujudkan dalam bentuk pemberian hidup-Nya pada kayu salib di Kalvari. Melalui upacara pembasuhan kaki ini, Yesus menyatakan kepada kita personalitas-Nya yang lebih dalam: Dia adalah seorang Pribadi yang hidup untuk orang lain (a man for  others), seseorang yang memposisikan diri-Nya sebagai pelayan bagi para saudari dan saudara-Nya.

Pada tahapan ini baiklah kita membayangkan apa yang terjadi sekitar 2.000 tahun lalu itu: ketika para murid sampai di rumah tempat perjamuan Paskah, mereka dapat mencium aroma dari anak domba yang dipanggang dan juga roti yang baru dikeluarkan dari panggangan. Di ruang atas, mereka juga melihat ruang perjamuan yang sudah dipersiapkan dengan baik – meja berbentuk U di atas lantai kayu, permadani-permadani dan bantal-bantal untuk berbaring dan bersandar. Ada juga baskom untuk menampung air basuhan, ada kendi berisikan air, dan handuk yang dilipat.  Air dan handuk seharusnya digunakan oleh budak/pelayan yang paling rendah posisinya dalam rumah itu untuk membasuh kaki-kaki para tamu, satu per satu. Namun pada malam itu tidak seorang pun hamba/pelayan yang kelihatan.

Para murid belum memahami pengajaran Yesus tentang pemimpin yang melayani

Dan sekarang, tidak ada seorang pun dari para murid yang secara sukarela mau mengambil inisiatif menjadi hamba/pelayan untuk mereka semua. Rupanya tidak seorang pun dari mereka yang masih ingat akan pesan/pengajaran Yesus tentang arti pelayanan dalam kepemimpinan (lihat Mrk 10:42-45; bdk. Mat 20:25-28). Ini terjadi dalam perjalanan rombongan Yesus menuju Yerusalem, setelah pemberitahuan ketiga tentang penderitaan-Nya; dan juga setelah Yakobus dan Yohanes meminta kedudukan penting dalam pemerintahan Yesus, sang Mesias (dalam Injil Matius ibunda mereka juga terlibat). Dalam Injil Lukas, topik “siapa yang paling besar” dapat kita lihat dalam percakapan waktu Perjamuan Malam (Luk 22:24-27).

Pada malam Perjamuan Terakhir itu, setelah tiga tahun lamanya para murid hidup segalang-segulung bersama Yesus, sang Guru, melihat dari dekat gaya hidup-Nya yang walk the talk (bukan NATO), menjadi pendengar pengajaran-pengajaran-Nya dari jarak dekat, dan menyaksikan sendiri hikmat-Nya serta segala mukjizat dan tanda heran yang dibuat-Nya, terlihat bahwa benak mereka masih saja dipenuhi dengan berbagai pemikiran duniawi tentang kekuasaan dan status. Barangkali ketika sampai di ruang atas ada murid yang sudah membayangkan dirinya sebagai Perdana Menteri atau Menko dll. yang pantas untuk duduk di dekat sang Mesias Raja. Inilah kiranya yang ada dalam benak para murid ketika naik menuju ruang atas. Jadi, tidak mengherankanlah jika tidak ada seorang pun murid yang dengan sukarela mau membasuh kaki murid-murid yang lain.

Apa yang terjadi di TKP

Setelah Yesus hadir di tempat itu, semuanya menjadi berubah. Ketika mereka sedang makan bersama, Iblis telah  membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia. Yesus tahu bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah Yoh 13:3-4).  Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Dia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah baskom dan mulai membasuh kaki para murid-Nya, kemudian menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggan-Nya itu (Yoh 13:4-5). Hal ini diperingati setiap malam Kamis Putih, namun pada hari yang bersejarah di Yerusalem pada waktu itu, segalanya dilakukan oleh Yesus sendiri, tidak ada petugas-petugas – seperti putera altar – yang membantu-Nya.

Mari kita merenungkan apa yang terjadi. Yesus, sang Guru, membasuh kaki para murid-Nya., satu persatu. Yesus, Putera Allah, membasuh kaki para makhluk ciptaan-Nya. Ini adalah pekerjaan budak-budak, bukan pemilik rumah atau anggota rumah tangga bersangkutan; apalagi Tuhan sendiri.

Jalan pemikiran Simon Petrus dan ulah rasul yang satu ini

Kita kiranya mengetahui kelanjutan cerita ini. Ketika tiba giliran Simon Petrus, dia berkata kepada Yesus: “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” (Yoh 13:6). Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengerti kelak” (Yoh 13:7). Kata Simon Petrus kepada Yesus: “Engkau tidak akan pernah membasuh kakiku sampai selama-lamanya”. Yesus menjawab lagi: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku”  (Yoh 13:8). Wah, sungguh suatu dialog yang cukup menegangkan. Harap anda membaca sendiri kelanjutan dialog ini. Simon Petrus akhirnya mengikuti kehendak Yesus untuk membasuh kakinya. Permintaan Simon Petrus dalam Yoh 13:9 terasa “lebay”, tetapi memang begitulah Simon Petrus.

Memang sukar bagi kita untuk menyalahkan Simon Petrus dan jalan pemikirannya. Yesus adalah sang Mesias, Raja yang akan datang. Dari perspektif Petrus, seorang raja tidak akan membasuh kaki seorang nelayan. Para raja memerintah kerajaan-kerajaan. Mereka adalah panglima tertinggi pasukan serdadu kerajaannya. Petrus mngkin saja berpikir bahwa Yesus telah kehilangan akalnya. Tidak seorang pemimpin pun akan melakukan tugas yang dina sedemikian. Yang tidak disadari oleh Petrus adalah kenyataan bahwa Yesus sedang mendefinisikan-kembali apa esensi dari kepemimpinan, kekuasaan, dan kebesaran (greatness). Dengan menciptakan peranan dari pemimpin yang melayani (servant leader), Yesus memberi contoh dari jawaban Tuhan kepada Paulus yang kemudian ditulis oleh sang rasul dalam salah satu suratnya: “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru  dalam kelemahanlah Kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor 12:9).

Ada kemungkinan bahwa Petrus telah melupakan apa yang terjadi ketika Yakobus dan Yohanes “minta kedudukan penting” dalam pemerintahan-Nya yang penuh kemuliaan di masa mendatang. Bacalah kembali Mrk 10:42-45 dan/atau Mat 20:25-28. Dengan membasuh kaki para murid-Nya Yesus telah mendemonstrasikan apa yang dimaksudkan-Nya ketika sebelumnya Dia pernah mengatakan: “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa bertindak sebagai tuan atas rakyatnya, dan para pembesarnya bertindak sewenang-wenang atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan siapa saja ingin menjadi yang pertama di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu , sama seperti Anak Manusia ……” (Mat 20:25-28). Inilah martabat pelayan (servanthood) dari seorang pemimpin. Sesungguhnya, seorang pemimpin pertama-tama adalah seorang pelayan.

Petrus sebagai pemimpin Gereja

Ternyata Petrus adalah pribadi yang mau belajar dari pengalaman! Sebagai seorang pemimpin/pemuka Gereja yang masih muda usia, sang rasul menulis suratnya kepada para penatua Gereja yang isinya sangat relevan bagi para panatua pada masa itu dan juga kita semua yang hidup pada abad XXI ini (bacalah dengan serius 1 Ptr 5:1—11). Ini adalah Petrus yang berbeda dengan Petrus pada malam makan Paskah tersebut, paling sedikit pada saat sebelum dibasuh kakinya. Sebagai pemimpin di masa awal Gereja, Petrus mengalami kematian yang sama seperti Tuhan dan Gurunya,  mati di kayu salib, namun dengan posisi terbalik, yaitu dengan kepalanya di bagian bawah, seorang martir Kristus yang kita dapat pungkiri kenyataannya.

Perintah untuk meneladan Yesus

Sekarang, marilah kita mundur  sekitar 2.000 tahun dan kembali ke TKP. Setelah kembali ke tempat-Nya di ruang perjamuan itu, Yesus mengatakan: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling  membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan satu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu (Yoh 13:12-15). Sayang sekali, banyak orang yang hidup dalam budaya modern, bahkan para pemimpin Gereja sendiri, melihat “kepemimpinan yang melayani” sebagai suatu tanda kelemahan. Tidak demikian halnya dengan pandangan Yesus, yang sudah dipraktekkan-Nya sendiri. Sesungguhnya, “kepemimpinan yang melayani” (Servant Leadership) adalah suatu tanda kekuatan. Hal ini seringkali menuntut kekuatan internal yang lebih, menuntut karakter yang lebih, untuk mau dan mampu melayani daripada dilayani.

Yesus selalu berinteraksi dengan orang-orang dari posisi kekuatan dan pengendalian-diri. Namun Ia mempraktekkan kekuatan itu tidak dengan mendominasi, melainkan dengan melayani. Dalam upacara “pembasuhan kaki”, Yesus memberikan wawasan ke dalam sumber dari kekuatan-Nya: “Yesus tahu bawa bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” (Yoh 13:3).  Kerendahan hati (kedinaan) dan martabat diri-Nya mengalir dari Bapa-Nya, yang secara lengkap dan mutlak menguatkan Dia. Hal itu membebaskan Yesus untuk melayani orang-orang dengan baik, bagaimanapun cara pengungkapannya.

Dalam memimpin para pengikut-Nya, Yesus tidak mencari-cari respek dari orang lain, melainkan justru memberi respek itu. Sebaliknya para murid pada waktu itu – barangkali seperti kita juga pada zaman NOW ini – memimpin dengan kekuatan sendiri berjuang mati-matian demi kedudukan yang terhormat dan kehormatan, namun menolak untuk melayani. Mereka belum belajar bagaimana menemukan identitas mereka dalam Kristus. Yesus tidak berjuang untuk mengejar (nguber-nguber) posisi kehormatan karena Bapa-Nya telah mencurahkan kehormatan ke atas diri-Nya. Sekarang Dia justru menghormati para murid-Nya,

Dalam tindakan membasuh kaki para murid, Yesus melakukan lebih daripada sekadar upaya “bersih-bersih”. Sebenarnya Yesus mengangkat para murid ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan lebih tinggi daripada diri-Nya sendiri. Ini dilakukan-Nya bahkan kepada Yudas Iskariot, si pengkhianat. Jika sang Mesias sendiri membungkuk untuk melayani mereka betapa tinggi nilai para murid-Nya itu jadinya.

Bayangkanlah, setelah kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke surga, para murid sering berefleksi atas peristiwa pembasuhan kaki ini. Kita tidak usah meragukan lagi bahwa dengan menyadari kasih dan respek Yesus kepada mereka, terbakarlah semangat mereka untuk mendedikasikan hidup mereka mengemban misi yang diamanatkan kepada mereka, sampai mati sebagai martir sekalipun.

Kita harus melayani dengan hati dan sikap seperti Yesus

Tantangan Yesus kepada para murid-Nya lewat acara pembasuhan kaki pada dasarnya merupakan panggilan untuk melayani orang-orang lain dengan sikap seperti Kristus (Christ-like attitude). Yesus mempersiapkan para murid-Nya untuk pergi melayani orang-orang lain dengan hati seperti hati-Nya sendiri (hati Allah). Ini adalah instruksi sekaligus tantangan dari Yesus bagi para pengikut-Nya dari generasi ke generasi. Tujuan Yesus dengan jenis kepemimpinan ini adalah guna menyiapkan para pengikut-Nya untuk ikut serta mendorong perkembangan Kerajaan Allah di atas bumi ini pada waktu Dia sudah tidak lagi bersama mereka. Para murid-Nya yang awal diharapkan untuk mampu mempersiapkan “kelahiran” pemimpin-pemimpin baru yang memimpin seturut hati Allah; mereka harus memimpin seperti Yesus memimpin. Barangkali inilah mengapa beberapa kata-Nya yang terakhir sebelum kenaikan-Nya ke surga berbunyi sebagai berikut: “… dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20).

Patut dicatat di sini cuplikan dari tulisan seorang imam Benediktin, Demetrius R. Dumm, seorang professor Perjanjian Baru, yang mengatakan bahwa tindakan pembasuhan kaki itu mengantisipasi sengsara Yesus, di mana Dia boleh dikatakan akan membasuh kaki segenap umat manusia. Dan Yesus juga mengatakan kepada para murid-Nya (dan kita juga) bahwa pelayanan penuh kasih sedemikian akan menyumbang lebih banyak kepada kesejateraan umat manusia daripada semua kekuatan yang kita manusia cari-cari dan hargai (Demetrius R. Dumm, hal. 9). Pandangan serupa dicetuskan oleh seorang Yesuit – pengajar Perjanjian Baru juga – yang mengatakan sebagai berikut: “Through the unusual gesture of the washing of the feet He already manifests the total service of mankind which He will render by giving His life for it on the cross” (Nil Guillemette SJ, hal. 168).

Setelah pembasuhan kaki para murid-Nya, Yesus mengidentifikasikan si pengkhianat dan Yudas Iskariot pun meninggalkan lingkaran yang dipenuhi aura terang dan kasih itu, dan dia pun beralih memasuki dunia kegelapan (Yoh 13:30).

Acara selanjutnya setelah pembasuhan kaki adalah serangkaian pengajaran Yesus khusus kepada para murid-Nya yang terdekat ini, jadi bukan kepada orang banyak. Pada dasarnya ini merupakan pengajaran-pengajaran tentang KASIH dan perintah untuk saling mengasihi; janji akan kedatangan Parakletos, yaitu Roh Kudus untuk menolong kita, ajaran tentang  Pokok anggur yang benar, dll., semua sebagai pembekalan bagi para murid, jika Yesus sudah tidak lagi hidup di dunia sebagai manusia., pengajaran-pengajaran final (final discourses) Ada pula yang menyebutnya sebagai pengajaran-pengajaran perpisahan (farewell discourses).

Ada yang hilang

Sebagai catatan akhir corat-coret ini, perlu saya kemukakan, bahwa ada sesuatu yang hilang dalam narasi Injil Yohanes perihal acara Yesus makan Paskah dengan para murid-Nya (perjamuan terakhir). Dalam ketiga Injil Sinoptik, penetapan Ekaristi Kudus sangat ditekankan sebagai bagian dari Perjamuan Terakhir (lihat Mrk 14:23-25; Mat 26:26-29; Luk 22:15-20; bdk. 1 Kor 11:23-25). Tidak demikian halnya dengan Injil Yohanes. Tidak ada narasi sedikit pun tentang penetapan Ekaristi Kudus. Sebaliknya Injil Yohanes berbicara mengenai pembasuhan kaki para murid oleh Yesus yang samsekali tidak disinggung dalam ketiga Injil Sinoptik.

Mengapa penulis Injil Yohanes sama sekali tidak menyinggung narasi perihal penetapan Ekaristi Kudus dalam Injilnya? Jelas Yohanes tidak lupa akan hal ini. Ada beberapa pendapat yang telah diajukan oleh para pakar Kitab Suci. Ada yang mengatakan bahwa Yohanes tidak mau mengulangi apa yang sudah sangat jelas dalam ketiga Injil Sinoptik. Ada pula yang mengatakan bahwa pengajaran Yesus dalam Yoh 6 tentang Roti Kehidupan, sudah lebih dari cukup untuk menggaribawahi pentingnya Ekaristi Kudus bagi para pengikut Kristus.

Catatan penutup

Jelaslah bahwa dengan memegang tradisi Yahudi, Yesus merayakan Perjamuan Paskah bersama para murid-Nya. Yesus mengetahui bahwa saat-Nya sudah tiba untuk pergi dari dunia ini kepada Bapa di dalam surga (Yoh 13:1). Dia mengambil kesempatan ini untuk memberikan pengajaran terakhir, pesan perpisahan-Nya; didahului oleh acara  “pembasuhan kaki para murid” yang juga merupakan pengajaran. Sebelumnya Yesus banyak berkhotbah/ memberi pengajaran kepada orang banyak. Sekarang, Ia  hanya akan mengajar kepada sekelompok kecil orang, yaitu para rasul-Nya. Maksud Yesus adalah untuk memberikan kepada mereka pengajaran terakhir (bersifat final) yang harus dipegang sepanjang hari-hari kehidupan mereka.

DOA: Bapa surgawi, kami melihat kesempurnaan kasih-Mu bagi kami dalam diri Putera-Mu, Yesus, yang mengosongkan diri-Nya sehingga diri kami  dapat diisi oleh-Nya. Kami membuka hati kami agar dapat menerima segala sesuatu yang Engkau ingin berikan kepada kami. Roh Kudus, bukalah mata hati kami agar dapat melihat Yesus dalam diri orang-orang di sekeliling kami. Bentuklah kami agar dapat menjadi orang-orang yang dapat menunjukkan kasih-Mu kepada dunia di sekeliling kami. Amin.

Catatan: Tulisan yang agak panjang ini adalah hasil kompilasi dari coretan-coretan saya dalam “retret pribadi Masa Prapaskah” yang saya lakukan sendiri dalam keheningan di ruang kerja (merangkap ruang tidur) tempat tinggal kami, dengan ditemani Alkitab dan beberapa buku dari perpustakaan saya, khusus dipilih untuk tujuan “retret pribadi” ini.

Narasi Injil Yohanes tentang pembasuhan kaki pada murid Yesus memang masih saya geluti terus, terutama dilihat dari sudut “kepemimpinan yang melayani” (servant leadership). Untuk informasi, buku-buku itu termaksud adalah sbb.:

  • Bill Perkins, “THE JESUS EXPERIMENT – What Happens when you follow in His footsteps?”, Bandra, Mumbai: St. Paul Press Training, 2011.
  • Bishop Cirilo R. Almario, Jr., D.D., “Jesus in the Fourth Gospel”, Philippines: 2001.
  • David Hass, “PRAYING WITH THE WORD – Lent, Holy Week and Easter”, Cincinnati, Ohio: ST. ANTHONY MESSENGER PRESS,  1997.
  • Dale Roach, “The Servant-Leadership Style of Jesus – A Biblical Strategy for Leadership Development”, Bloomington, Indiana: West Bow – A Division of Thomas Nelson & Zondervan, 2016.
  • Demetrius R. Dumm, “A Mystical Portrait of Jesus – New Perspectives on John’s Gospel”, Collegeville, Minnesota: THE LITURGICAL PRESS, 2001.
  • Nil Guillemette, SJ, “HUNGRY NO MORE – JOHN, SUNDAY READINGS – EXEGECIS-REFLECTIONS”, Makati, Philippines: ST. PAUL PUBLICATIONS, 1989.
  • Geerad P. Weber & Robert Miller, “BREAKING OPEN THE GOSPEL OF JOHN”, Cincinnati, Ohio: ST. ANTHONY MESSENGER PRESS, 1995.
  • Laurin J. Wenig, “40 DAYS OF GRACE – Lenten Prayers and Reflections”, Bandra, Mumbai: St. Paul Press Taining School, 2017.

Cilandak,  28 Maret 2021 [HARI MINGGU PALMA MENGENANGKAN SENGSARA TUHAN]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

SALIB DAN EKSISTENSI KITA SEBAGAI PARA PENGIKUT/MURID KRISTUS

SALIB DAN EKSISTENSI KITA SEBAGAI PARA PENGIKUT/MURID KRISTUS

“Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23)

“Pesta Salib Suci” baru akan kita rayakan pada tanggal 14 September mendatang, namun seperti kita ketahui topik “Salib Kristus” akhir-akhir ini menjadi viral dalam berbagai media sosial. Dengan demikian ada baiknya bagi kita – umat Kristiani – untuk dalam keheningan merenungkan makna Salib Kristus bagi kita masing-masing (anda dan saya) sebagai para pengikut/murid Kristus. Semoga Allah Tritunggal Mahakudus memperkenankan permenungan kali ini disusul dengan permenungan-permenungan lain tentang Salib Kristus.

Petikan Injil di atas diambil dari bacaan di mana Yesus untuk pertama kali memberitahukan kepada para murid-Nya tentang  penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya dan apa saja syarat-syarat untuk mengikut Dia (Luk 9:22-25). Ayat-ayat lain yang menguatkan ayat di atas adalah Mat 10:38 dan Luk 14:27.

Baiklah kita awali permenungan kita dengan mempertanyakan “Siapakah sebenarnya Yesus itu?”  Apakah Dia sekadar seorang baik, barangkali bahkan seorang nabi, yang peri kehidupan-Nya harus kita teladani? Atau, Dia adalah Putera Allah yang menjadi manusia agar supaya kita dapat menjadi anak-anak Allah? Apakah Dia seorang hakim yang kaku-keras, yang siap untuk menghukum setiap dosa kita? Ataukah Dia sang “Anak Domba Allah” yang menyerahkan hidup-Nya sendiri agar kita dapat dibebaskan dari dosa dan ditransformasikan menjadi “gambar dan rupa-Nya” sendiri? 

Apakah pilihan yang ditawarkan oleh Yesus? Apakah ini pilihan untuk menghayati suatu kehidupan yang terus-menerus melibatkan penderitaan: “menyangkal diri dan memikul salib kita” dari hari ke hari, dan secara pasif menerima pencobaan apa saja yang datang menimpa, dengan pengharapan bahwa Allah akan menerima kita? Jawabannya adalah “Tidak!”  Pilihan yang riil adalah untuk mengikuti jejak Yesus Kristus dan menerima apa saja yang dituntut oleh pilihan itu. Sebuah pilihan untuk memusatkan pandangan mata kita pada Yesus Kristus, yang rindu untuk mencurahkan kasih-Nya kedalam hati kita setiap hari. Ini adalah pilihan untuk percaya bahwa dengan dan bersama Yesus kita dapat mengatasi segala halangan, tantangan, atau kesulitan yang bermunculan – baik secara internal maupun eksternal.

Yesus  – dan tentunya para rasul dan murid-Nya yang pertama – mempunyai banyak hal yang ingin diceritakan terkait misteri Salib. Salib-Nya di sini tidaklah terbatas pada salib yang dipikul-Nya dari istana Pilatus menuju bukit Kalvari, melainkan mencakup seluruh kehidupan Yesus dan juga seluruh kehidupan setiap orang Kristiani sejati, sebuah tugas yang diberikan Allah untuk kita lakukan. Santo Paulus meyakinkan kita bahwa Salib Kristus adalah sukacita kita dan kemuliaan kita, dan ia menulis dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus: “Kami memberitakan Kristus  yang disalibkan: Untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1Kor 1:23-24).

Salib adalah jalan kasih yang sempurna dan dedikasi yang total. Keempat kitab Injil membuat jelas: Salib adalah inti kehidupan Yesus sendiri dan akan menjadi inti kehidupan para rasul-Nya dan para murid/pengikut-Nya yang sejati sepanjang masa. Yesus tidak pernah memikirkan segala sesuatu demi kepentingan diri-Nya sendiri. Keprihatinan-Nya senantiasa menyangkut pekerjaan yang diberikan oleh Bapa surgawi kepada-Nya, yakni menyelamatkan umat Allah.

Penderitaan dan pengorbanan memang tidak dapat dipisahkan dari kemuliaan hidup orang Kristani, dengan demikian membuat kita ikut ambil bagian dalam karya penebusan Kristus. Kita tidak menolong saudari dan saudara kita yang menderita agar supaya mereka lepas dari Salib, melainkan untuk membuat diri kita dan saudari-saudara kita itu lebih serupa dengan Kristus, sempurna dalam kasih dan diselamatkan dari si Jahat.

Saudari dan Saudaraku, kita seharusnya merasa bahagia ikut ambil bagian dalam Salib Kristus karena kita mencintai karya-Nya di atas bumi, yaitu memulihkan dan mendamaikan relasi Allah dengan umat-Nya, dan membawa segenap ciptaan kembali kepada keindahannya semula. Marilah sekarang kita berdoa:

Tuhan Yesus Kristus, kami memilih untuk memanggul salib kami setiap hari dan mengikuti jejak-Mu pada hari ini dan hari-hari sepanjang hidup kami. Kami menerima janji-Mu tentang kehidupan. Tuhan, terima kasih penuh syukur kami haturkan kepada-Mu karena telah mengundang kami untuk berada bersama dengan-Mu selalu. Amin.

Cilandak,  1 September 2019 [HARI MINGGU BIASA XXII – TAHUN C]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

FATIMA [Peringatan S.P. Maria dari Fatima – 13 Mei]

FATIMA [Peringatan S.P. Maria dari Fatima – 13 Mei] 

our-lady-of-fatimaPada hari ini Gereja memperingati penampakan Bunda Maria 99 tahun lalu, yaitu pada tahun 1917 kepada tiga orang anak desa Fatima, Portugal. Nama tiga orang anak itu adalah Lucia dos Santos, dan dua orang sepupunya: Francisco Marto dan Jacinta. Penampakannya sendiri terjadi di dekat Fatima, di dataran yang bernama Cova da Iria.

Saya masih ingat ketika masih sekolah di SR Budi Mulia, Jalan Mangga Besar di tahun 50-an, pada suatu malam banyak sekali anak-anak yang menonton film hitam putih tentang peristiwa Fatima ini di halaman terbuka Gereja Mangga Besar (S. Petrus dan Paulus) yang masih bangunan darurat – dengan menggunakan layar tancap. Sebuah film yang bagus, mengasyikkan dan sungguh membekas.

Selama penampakan-penampakannya, Bunda Maria memberi instruksi kepada anak-anak itu untuk melaksanakan prosesi guna menghormati Maria yang dikandung tanpa noda dan untuk mempromosikan doa Rosario agar sering-sering dilakukan, berdoa untuk pertobatan Rusia, dan beberapa instruksi lainnya. Pada penampakannya yang terakhir, tanggal 13 Oktober, Maria menyatakan dirinya sebagai “Ratu Rosario”: di hadapan 50.000 – 70.000 orang yang hadir, dan sebuah mukjizat yang telah dijanjikannya terjadi, yaitu suatu gejala alam yang dijuluki sebagai matahari yang berputar-putar.

Bunda Maria berjanji, bahwa jika permintaan-permintaannya diikuti, maka Rusia akan bertobat, sebuah peperangan dahsyat akan dapat dihindari, banyak jiwa akan diselamatkan, dan perdamaian dunia dapat tercapai. Francisco meninggal dunia di tahun 1919, disusul oleh Jacinta di tahun 1920. Lucia, yang belakangan masuk Ordo Karmelites, menerima penampakan yang ke tujuh kalinya pada tanggal 18 Juni 1921.

Setelah penyelidikan selama tujuh tahun, pada tahun 1930, para uskup Portugal mendeklarasikan bahwa penampakan-penampakan Bunda Maria di Fatima sebagai otentik. Persetujuan diberikan atas devosi kepada S.P. Maria dari Fatima dengan judul Ratu Rosario.

Sekarang pertanyaannya, “Mengapa Maria justru menampakkan dirinya di Fatima?” Pada awal abad ke-20, Fatima, sebuah desa kecil di negeri Portugal, praktis tidak dikenal oleh dunia. Mengapa? Karena desa itu tidak memiliki signifikansi apa pun bagi dunia luar. Bahkkan desa ini pun tidak ada dalam peta yang biasa digunakan oleh masyarakat Portugis sendiri. Fatima terletak di daerah pegunungan yang bernama Serra de Aire, sebuah desa penuh damai seakan tak tersentuh oleh dunia luar yang hiruk pikuk. Nama Fatima sendiri adalah kenangan akan masa lampau di mana bangsa Moor (Islam) masih berkuasa di negeri itu.

fatima_02Pada hari ini, apa yang dikatakan di atas semuanya telah berubah. Pada hari ini Fatima tidak mengenal perbatasan. Orang-orang percaya dari seluruh dunia berlutut dan bersembah sujud di sana. Kemasyhurannya dan kemuliaannya dipublikasikan dalam hampir seluruh bahasa nasional yang ada di dunia. Mengapa hal ini sampai terjadi perubahan yang begitu besar? Karena di sana pada tahun 1917, S.P. Maria tak bernoda (Maria Imakulata), Ratu Surga, datang secara pribadi ke tempat terpencil yang miskin ini untuk berbicara dengan manusia yang murni, jiwa-jiwa pilihan, dengan kata-kata penuh afeksi, penuh simpati, memberi nasihat-nasihat dan janji, bahkan juga peringatan. Namun pada dasarnya Bunda Maria mengunjungi Fatima sebagai seorang bentara damai dan kasih.

Gereja di Fatima hanyalah sebuah gereja paroki yang kecil, dan sejak tahun 1920 berada di bawah Keuskupan Leiria yang sangat miskin, kurang lebih 75 mil sebelah utara Lisboa (ibu kota Portugal). Kalau diperhatikan dengan baik, Fatima yang berlokasi di provinsi Estremadura, berada hampir di titik pusat Portugal. Dari semua provinsi di Portugal, provinsi Estremadura menyajikan topografi yang paling luarbiasa. Landskapnya sangat tidak beraturan. Setiap aspek wilayah ini mempunyai karakteristik yang khusus, yang jelas kelihatan berpengaruh atas temperamen dan adat-kebiasaan penduduknya.

Orang yang berangkat dari Lisboa ke arah utara dapat menikmati keindahan panorama sampai ke Alcobaca. Lalu, membentanglah lembah Batalha dan Leiria yang indah. Namun, begitu orang itu memasuki jalan yang langsung menuju Fatima, pemandangan berubah secara drastis menjadi kebalikan dari yang sebelumnya. Tanahnya menjadi semakin tidak rata, lebih gersang dan pemandangan pun tak lagi penuh warna-warni. Serra da Aire mulai terlihat. Pemandangan yang suram, tanah kering dan tidak produktif. Kawanan domba dapat terlihat di sana-sini, namun tak ada banyak tetumbuhan, kecuali kelompok-kelompok tipis pohon ek dan pohon zaitun di sepanjang punggung bukit, hal mana membantu meringankan monotomi yang menekan. Di lereng gunung, di tempat tinggi di Serra, terletak desa kecil yang bernama Fatima diliputi suasana kesendirian yang mendalam, seakan tempat bagi orang-orang yang terbuang. Di dekat situ ada dataran bebatuan yang dikenal sebagai Cova da Iria. Tempat ini dikuduskan oleh kehadiran Ratu Surga dan dipilih oleh Penyelenggaraan Ilahi untuk memancarkan cinta kasih dan berkat ke segala penjuru dunia sebagai balasan terhadap devosi kepada Maria Imakulata.

srlucia_jovenPenduduk pegunungan yang di tinggal di Fatima berbicara sedikit, terasa dingin tanpa hati. Akan tetapi seluruh hidup mereka berpusat pada tiga cinta kasih yang besar: cinta kasih kepada Allah, keluarga, pekerjaan kasar (bukan pekerjaan di belakang meja). Rumah-rumah mereka kecil dan kasar dengan jendela-jendela yang rendah dan sempit/kecil. Dapur dalam rumah mereka sederhana yang tidak berisikan apa-apa kecuali sebuah meja kayu, tempat untuk menaruh peralatan masak dan perapian. Ruang keluarga dan ruang tidur juga sederhana. Di sebelah luar, tetapi masih berhubungan dengan rumah adalah tempat untuk kawanan domba, barangkali ada juga sebatang pohon ara atau pohon zaitun atau sejumah pohon ek di dekat rumah.

Kehidupan penduduk Fatima itu keras. Mereka bekerja di gunung atau di ladang dengan penghasilan minim. Pakaian mereka layaknya orang miskin, kecuali pada hari pesta di mana mereka memakai topi, jas pendek dengan bordiran, dan celana panjang ketat di pinggang namun semakin lebar ke bawah. Para perempuan bertugas mengatur rumah. Mereka menyiapkan makanan, memintal dan melakukan tugas-tugas rumah tangga dan memperhatikan dengan serius pertumbuhan fisik maupun spiritual dari anak-anak mereka.

Pekerjaan menggembalakan domba dipegang oleh anak-anak. Mereka meninggalkan rumah pagi-pagi sekali sambil membawa makanan siang mereka. Mereka tak akan kembali ke rumah sampai sore ketika lonceng memanggil mereka untuk berdoa Angelus (Malaikat Tuhan). Sedikit dari mereka yang pernah belajar membaca dan menulis. “Sekolah” mereka hanyalah terdiri dari pengetahuan elementer dan kebenaran-kebenaran menyangkut agama, dan keterampilan-keterampilan rumah tanggal yang diturunkan oleh sang ibu rumah tangga.

Hanya untuk waktu singkat di malam hari, setelah makan malam dan pekerjaan yang melelahkan sepanjang hari, semua anggota keluarga menikmati keintiman hidup berkeluarga. Mengapa? Karena mereka harus  tidur cepat agar dapat cukup beristirahat dan disegarkan kembali untuk bekerja di esok hari. Ada adat-kebiasaan umum bahwa sebelum tidur seluruh keluarga bersama-sama berdoa Rosario. Sang ayah memimpin doa dengan perlahan-lahan dan dengan sikap penuh hormat, sementara sang ibu dan anak menanggapi dengan semangat penuh pengabdian yang sama. Doa Rosaria disusul dengan doa-doa memohon berkat Allah atas keluarga. Akhirnya didoakan “De Profundis” (Mzm 130). Kehidupan seperti ini, devosi yang bersifat konstan seperti ini, kemurnian dan kesederhanaan hidup inilah yang kiranya menarik ke bawah afeksi dari Maria, Ratu Rosario dari atas sana.

Bagian dari bumi yang kecil ini, bagian dari Portugal yang tidak signifikan ini, dipisahkan dan dipilih oleh Hikmat ilahi yang tak mungkin kita mengerti berdasarkan akal budi semata, seperti Israel di masa lampau, guna membantu – sebagai sebuah instrumen yang kuat – untuk melanjutkan penebusan Allah dan pengudusan-Nya atas dunia melalui Maria, ibunda-Nya, yang dikandung tanpa noda dosa.

Cardinal-Manuel-Goncalves-CerejeiraKardinal Emanuel Goncalves Cerejeira, Patriarkh dari Lisboa pada tahun 1931 mengatakan: “Ratu Surga turun ke tanah yang adalah miliknya sejak awal, suatu negeri yang dikonsekrasikan kepadanya dengan kelahiran bangsa dan dinamakan Terra de Santa Maria, tanah dari Santa Maria.” Bunda Allah bersedia menampakkan dirinya dengan kelemahlembutan yang luarbiasa kepada umat yang cinta pada tugas mereka ini. Bunda Maria berhasrat untuk menempatkan orang-orang seperti itu ke bawah perlindungannya yang penuh kuat-kuasa. Bunda Maria memang senantiasa dekat dengan orang-orang yang tidak pernah lelah menghormatinya dalam doa Rosario yang indah itu.

Bunda Maria berketetapan hati untuk mendirikan takhtanya di Fatima, di dalam teritori yang telah menjadi miliknya sejak berabad-abad. Dari takhta penuh kemuliaan tersebut ia ingin mengirimkan sebuah pesan universal: bahwa tidak hanya Portugal, melainkan semua bangsa harus didekasikan kepadanya; bahwa dia akan mendengarkan seruan-seruan dari dunia yang bertobat dan sudah lelah dengan keributan dan memberikan perdamaian bagi bangsa-bangsa yang saling berperang – suatu perdamaian besar dan tahan lama setelah penghukuman dijatuhkan atas orang karena kekerasan hatinya.

Akan tetapi Bunda Maria juga mengingatkan akan bencana-bencana lebih besar yang  akan menimpa dunia apabila umat manusia terus saja sibuk dengan sensualitas yang semakin merosot, dan juga “nasib” buruk dari para pendosa yang pantas diadili oleh sang Hakim kekal.

Akhirnya, Bunda Maria datang untuk memberitahukan dunia bahwa hatinya yang penuh cintakasih dan tak bernoda senantiasa merupakan tempat perlindungan yang aman bagi jiwa-jiwa yang tersobek-sobek oleh goncangan-goncangan dan kesedihan, dan bahwa dia tidak pernah tidak akan menolong orang-orang yang mencari pertolongannya dengan memanggilnya sebagai “Santa Perawan dari Fatima”, “Hati Maria yang tak bernoda”, dan “Ratu Rosario.”

Sumber: (1) Alphonse M. Cappa, S.S.P, (terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh William H. Lyden), “FATIMA – Cove of Wonders”, Boston, Ma.: St. Paul Editions, 1979, hal. 18-23; (2) Matthew Bunson (Illustrated by Margaret Bunson; foreword by: Archbishop Oscar H. Lipscomb), “Our Sunday Visitor’s Encyclopedia of Catholic History”, Huntington, Indiana: Ou Sunday Visitor, Inc., 1955, hal. 312-313.

Jakarta, 13 Mei 2016

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS 

RAHMAT YANG BERLIMPAH: BEBERAPA CATATAN TENTANG DOA

RAHMAT YANG BERLIMPAH: BEBERAPA CATATAN TENTANG DOA 

ROHHULKUDUSDoa adalah suatu karunia atau anugerah.  Mengapa karunia? Karena doa Kristiani adalah berdasarkan pengenalan kita dengan Tuhan Yesus Kristus dan kita mempunyai kuasa Roh Kudus yang menggerakkan dan mengurapi kita, dan bergerak melalui diri kita dalam doa. Doa didasarkan pada kenyataan bahwa kita adalah bagian dari Tubuh Kristus dan berada bersama Yesus dalam doa. Bersatu dengan para malaikat dan para orang kudus di hadapan takhta Allah Bapa, kita mampu untuk menyembah, tidak pernah sendiri, namun selalu sebagai bagian dari komunitas besar yang akan memerintah selamanya bersama dengan Tuhan. Jadi doa adalah suatu karunia yang sungguh luarbiasa.

Kita harus memiliki hasrat mendalam untuk berdoa. Kita harus memiliki rasa dahaga akan doa, mengambil keputusan-keputusan untuk berdoa dan bertobat apabila hidup rohani kita tidak seturut apa yang telah kita putuskan. Karunia doa diberikan kepada kita agar kita dapat bersatu dengan Allah. Melalui karunia doa, kita dapat dipenuhi dengan kasih Allah.

Fondasi yang paling penting

DOA PRIBADIKita berdoa kepada Allah. Barangkali fondasi yang paling penting dari doa adalah bahwa kita memahami siapa Allah itu sebenarnya. Ada banyak aspek terkait pemahaman siapa  Allah itu: Allah itu tanpa kesalahan; Ia tidak pernah berubah pikiran atau berbuat salah; Ia kekal dan penuh kuat-kuasa; Dia Mahatahu dan tanpa kekurangan sedikit pun. Namun di atas segalanya, atribut terbesar Allah adalah kasih-Nya yang sempurna. Kasih Allah itu kekal-abadi; ada sejak sediakala, jauh sebelum kita dilahirkan, dan kasih-Nya itu tidak pernah akan memudar atau luntur. Kasih Allah adalah kasih yang membawa kebebasan dan sukacita kepada anak-anak-Nya. Kasih Allah adalah kasih yang menggerakkan-Nya untuk menyatakan (mewahyukan) diri-Nya kepada umat manusia,  untuk mengundang setiap orang masuk ke dalam relasi kasih dengan diri-Nya. “Mengenal” Allah harus mencakup pengalaman akan kasih-Nya yang mengalir dari hati Tritunggal Mahakudus.

Pada tingkat yang paling dasariah dan mendalam, doa berarti masuk ke dalam kontak dengan Allah, yang adalah kasih (1Yoh 4:8,16). Kasih Allah dapat dilihat secara paling jelas dalam relasi Bapa dengan Yesus, sang Putera. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Kolose, ada tertulis bahwa seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Kristus (Kol 1:19). Bapa mengasihi Putera sedemikian penuh sehingga secara kekal-abadi Ia mencurahkan keseluruhan pribadi-Nya ke dalam diri sang Putera, kepenuhan hidup-Nya sendiri – Sakramen Bapa.

Karena kasih-Nya kepada sang Putera, Bapa menciptakan keseluruhan ciptaan, termasuk manusia. Dalam Kristus, dan sejak sediakala, Bapa mengenal dan mengasihi setiap orang. Ketika Dia memanggil nabi Yeremia, Allah-YHWH bersabda, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau”  (Yer 1:5). Sang pemazmur juga berdoa: “… Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. … Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, … dan  dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentukk sebelum ada satupun dari padanya” (Mzm 139:13,15-17).

Melihat sejarah

Sepanjang pelayanan-Nya di depan publik, Yesus mencerminkan kasih sempurna Allah Bapa dan hasrat-Nya untuk mengumpulkan umat-Nya di sekeliling-Nya. Pada perjamuan terakhir, Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita”  (Luk 22:15). Ini adalah suatu kerinduan yang penuh gairah, sebuah hati yang sepenuhnya dipersiapkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Ini adalah jenis kasih yang berkobar-kobar dalam diri Yesus bagi umat-Nya.

st-augustine-1Dalam sejarah Gereja, Allah terus menyatakan diri-Nya sebagai seorang Bapa yang memiliki hasrat mendalam untuk memanggil anak-anak-Nya dan membentuk mereka menjadi milik-Nya sendiri yang istimewa. Kita dapat melihat ini dalam kehidupan Santo Augustinus dari Hippo [354-430]. Orang kudus ini mengalami kasih Allah yang terus “mengejar”-nya, bahkan ketika dia masih terlibat dalam relasi penuh dosa atau menjadi pengikut aliran bid’ah. Walaupun ada berbagai penghalang seperti ini, Bapa surgawi terus saja “mengejar” Augustinus, untuk menariknya kepada diri-Nya. Akhirnya, Allah menang, seperti diakui oleh Augustinus di kemudian hari:

Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, wahai Keindahan setua lagi semuda ini, betapa lambat Kau kucintai! Engkau waktu itu di dalam dan aku di luar dan di sanalah Kau kucari. Keanggunan benda-benda yang telah Kaubuat itulah yang kuserbu, aku yang kehilangan keanggunan. Engkau bersamaku dan aku tidak bersama-Mu; aku tertahan jauh dari-Mu olehnya, oleh benda-benda itu, yang jika tidak berada dalam diri-Mu, tidaklah bakal ada! Engkau telah mengajak dan memanggil, dan memecahkan ketulianku. Engkau bersinar, Kau cemerlang dan menghalau kebutaanku. Engkau menyebar wangi, aku menghirup, dan terengah-engah Kau kudambakan. Aku telah mencicipi dan aku lapar dan aku haus. Kausentuh aku dan aku berkobar mendambakan kedamaian-Mu. (Pengakuan-Pengakuan,  Kitab X, XXVII.38, terjemahan Ny. Winarsih Arifin dan Dr. Th. Van den End, Yogyakarta/Jakarta: PENERBIT KANISIUS/BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 308-309) 

San-Damiano-1-336x330Dalam hasrat-Nya untuk menarik semua anak-Nya kepada diri-Nya, Allah mencari hati yang akan berkata “ya” kepada-Nya. Santo Fransiskus dari Assisi [1181-1226] adalah suatu contoh yang indah bagaimana sebuah “ya” yang sederhana dapat membawa dampak besar atas seluruh Gereja. Ketika Fransiskus untuk pertama kali mendengar panggilan Allah untuk membangun Gereja-Nya, dia sungguh tidak mempunyai bayangan bagaimana menanggapi panggilan Allah tersebut kecuali dengan mencoba memperbaiki sebuah gereja kecil San Damiano yang sudah berantakan tak terurus. Namun “ya”-nya Fransiskus yang penuh ketaatan memperkenankan Allah untuk membawa suatu pembaharuan besar dalam Gereja pada abad ke-13. Hari ini, Allah masih aktif dan dinamis dalam hasrat-Nya untuk menarik kita kepada diri-Nya, dan melalui doa-lah kita disentuh oleh kerinduan Allah ini.

Duduk bersimpuh di dekat kaki Yesus

Mengutip Injil Yohanes, Katekismus Gereja Katolik (KGK) berbicara mengenai rahmat yang mengalir dari surga apabila kita berdoa: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah” (Yoh 4:10). Mukjizat doa justru menunjukkan diri di sana, di pinggir sumur, tempat kita mengambil air. Di sana Kristus bertemu dengan setiap orang; Ia mencari kita, sebelum kita mencari Dia, dan Ia meminta: “Berilah Aku minum!” Yesus kehausan; permohonan-Nya datang dari kedalaman Allah yang merindukan kita. Entah kita tahu atau tidak, di dalam doa kehausan Allah menemui kehausan kita. Allah merasa haus akan kehausan kita akan Dia  (KGK, 2560). Allah ingin agar kita memandang doa bukan sebagai sebuah beban, melainkan sebagai sebuah tanggapan penuh kasih. Kita mengasihi Allah dan rindu untuk ada bersama dengan-Nya karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita (1Yoh 4:9-10). Doa dimaksudkan untuk memperoleh dua aspek ini: Kita menerima kasih Bapa surgawi, dan kita menjadi lebih dekat kepada-Nya dan kita pun mengasihi Dia sebagai balasan.

2013_LT-MarthaCerita tentang Marta dan Maria menggambarkan sikap yang begitu menyenangkan Yesus (lihat Luk 10:38-42). Kedua perempuan kakak-beradik itu sungguh bergairah untuk menyambut kedatangan Yesus ke dalam rumah mereka, namun dengan dua sikap dan perilaku berbeda satu sama lain. Maria mengesampingkan urusan-urusan (tetek bengek) sehari-hari selama kehadiran Yesus dan ia duduk bersimpuh dekat kaki Yesus dan mendengarkan pengajaran dari Yesus. Yesus sangat senang dengan sikap Maria itu dan memujinya ketika menjawab pertanyaan Marta: “Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari dia” (Luk 10:42). Tentu saja Yesus tidak menginginkan kita mengabaikan berbagai tanggung jawab kita, namun Ia sangat senang dalam mengajar siapa saja yang mau duduk bersimpuh di dekat kaki-Nya untuk mendengarkan suara-Nya.

KAKI YESUS DIBERSIHKAN DI RUMAH FARISI SIMONSebuah cerita yang lain di mana kita melihat seseorang berada di dekat kaki Yesus adalah cerita tentang seorang perempuan berdosa yang mengurapi Yesus (Luk 7:36-50). Perempuan ini tidak terkendala oleh pandangan orang-orang lain tentang dirinya dalam melakukan tindakannya, walaupun ia mengetahui bahwa dirinya akan menghadapi oposisi dari orang-orang Farisi. Hasratnya akan Yesus mengatasi segala rasa takut akan dihina dan diolok-olok oleh orang-orang munafik tersebut. Bayangkan betapa bahagia Yesus karena perempuan itu membasahi kaki Yesus dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi yang mahal harganya.

MARIA DAN YOHANES DI KAKI SALIB YESUSOrang-orang yang terakhir berada di dekat kaki Yesus di Kalvari adalah ibu-Nya dan saudara ibu-nya, Maria (isteri Klopas), Maria Magdalena dan murid yang dikasihi-Nya, Yohanes (lihat Yoh 19:25). Mereka memandangi Yesus yang tersalib, yang membawa pengampunan dan kesembuhan bagi seluruh umat manusia. Mereka menyaksikan Yesus yang memenuhi sabda-Nya sendiri pada perjamuan terakhir: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya”  (Yoh 15:13).

Seperti orang-orang percaya yang disebutkan di atas, kita (anda dan saya) pun diundang untuk duduk bersimpuh di dekat kaki Yesus selagi kita datang menghadap Dia dalam doa setiap hari. Selagi kita berada di dekat-Nya dan merenungkan sabda-Nya yang disampaikan kepada kita, Yesus akan mengajar kita sebagaimana Dia mengajar Maria (saudari dari Marta). Bilamana kita menyembah Yesus dalam doa pribadi kita, kita mengungkapkan kasih kita dan rasa terima kasih penuh syukur kepada-Nya. Kita mencurahkan hidup kita kepada-Nya, serupa apa yang dilakukan oleh perempuan berdosa yang mengurapi Yesus. Seperti Maria (ibu-Nya) dan yang lain-lain menyaksikan persembahan kurban kasih-Nya di atas kayu salib, kita pun dapat menerima tubuh dan darah-Nya dalam Ekaristi dan merayakan kasih-Nya bagi kita semua, para sahabat-Nya.

Kuasa untuk melakukan transformasi dan pembaharuan

God the FatherKetika anak-anak Allah datang menghadap hadirat-Nya, maka kehidupan mulai berubah. Orang yang sepenuhnya menggantungkan diri pada bukti ilmiah dapat melihat doa sebagai sesuatu yang memiliki “placebo effect”, yaitu hanya memberi manfaat bagi mereka yang ingin percaya bahwa doa itu efektif. Namun dengan mata iman, umat Kristiani melihat hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah – bahwa Bapa surgawi mendengar setiap doa dan mencurahkan rahmat-Nya atas mereka yang mencari Dia dengan segenap hati (lihat Yer 29:13).

Jadi, justru dalam doalah pergumulan-pergumulan dan masalah-masalah berukuran seperti gunung-gunung dapat diatasi. Cerita tentang Ayub menunjukkan bagaimana seseorang yang datang ke hadirat Allah dapat ditransformasikan secara dramatis. Kesusahan-kesusahan yang dialami Ayub sungguh luarbiasa berat: Ia kehilangan segala miliknya; anak-anaknya semua mati secara tragis; dan Ayub sendiri diterpa penyakit yang menjijikkan mata orang yang melihat. Setelah menjalani perjuangan yang cukup lama dengan para sahabatnya yang mencoba dengan sia-sia menasihati Ayub, orang saleh ini mengalami kehadiran Allah (Ayb 38-42). Semua kekhawatiran tentang kondisinya, segala kepahitannya terhadap Allah, semua ratapannya, berakhir pada saat dia memberi tanggapan: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”  (Ayb 42:5). Sungguh sebuah pengalaman akan Allah yang sangat indah. Mengalami banyak penderitaan sebagai pewarta Injil Yesus Kristus, rasul Paulus menulis: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:19-20). Ini pun merupakan kesaksian tentang pengalaman akan Allah (Kristus) yang sungguh luarbiasa.

Hidup kita dapat ditransformasikan selagi kita mengalami kasih Allah dan kehadiran-Nya dalam doa. Rasa takut, keragu-raguan, kebencian, dan keterikatan pada dosa akan menyerah kepada kuasa Allah dan kasih-Nya. Dalam doa, kita dipersatukan secara intim dengan Kristus; oleh karena itu kita mulai mengasihi seperti Dia mengasihi, untuk mengampuni seperti Dia mengampuni, untuk menolak dengan efektif godaan seperti yang telah dilakukan-Nya, dan untuk menggantungkan diri pada Bapa surgawi seperti yang dilakukan-Nya. Doa memang mampu mentransformasikan keberadaan kita!

Cilandak, 26 Juni 2015

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

NATAL MENDAMAIKAN DAN MEMBERI HARAPAN

nativity_scene_murillo

Natal Mendamaikan dan Memberi Harapan

Franz Magnis-Suseno – Rohaniwan *) 

SETIAP tahun di malam dan siang tanggal 25 Desember, umat  Kristen Indonesia bersama umat Kristen di seluruh dunia merayakan Natal. Namun, kini kita harus membedakan. Sudah sejak beberapa minggu mal-mal di mana saja penuh dengan atribut Natal, di antaranya ada pohon Natal dan Santa (Sinterklas) dengan topi merah. 

Namun, atribut itu semua tidak ada kaitannya dengan misteri yang dirayakan umat Kristen pada Hari Natal. Atribut-atribut tersebut sebenarnya sisa-sisa zaman kekafiran prakristiani yang merayakan 25 Desember sebagai hari matahari mulai lagi naik lebih tinggi di cakrawala. Sekarang atribut-atribut itu sudah merangsang konsumerisme masyarakat. 

Yang betul-betul dirayakan umat Kristen pada Hari Natal ialah kelahiran Yesus. Dalam Injil ditulis, Maria melahirkan di Betlehem, tetapi terpaksa meletakkan bayi itu dalam palungan ternak, di sebuah kandang. 

Rupa-rupanya, Yusuf dan Maria, orangtua Yesus, terlalu miskin untuk membayar ongkos di penginapan. Kandang seperti itulah yang di waktu Natal dibangun di banyak gereja dalam bentuk ‘gua Natal’ yang dihias bagus-bagus. 

Umat Kristen memperingati kelahiran Yesus dengan hati gembira dan terharu karena ia percaya bahwa dalam bayi itu Tuhan sendiri masuk ke dunia. Manusia tidak lagi sendirian berhadapan dengan segala masalah, malapetaka, kedosaan, kengerian. Ternyata Tuhan beserta kita (arti nama Emmanuel). 

Dengan memandang saja gua denggan Yusuf, Maria, dan jabang bayi Yesus mata hati orang beriman menjadi terbuka. Ia menangkap bahwa Tuhan tidak datang melalui kekuasaan, kekayaan, kemewahan, bahwa Tuhan tidak perlu memamerkan kekuatan. 

Tempat Tuhan justru di antara orang kecil dan miskin. Yang besar di hadapan manusia tidak besar di hadapan Allah dan yang besar di hadapan Allah ialah kecil dan ‘tak berarti’ di hadapan manusia. 

Dengan melihat jabang bayi itu, pendoa dapat kagum terharu. Bukankah bayi adalah manusia paling tidak berdaya, yang seluruhnya bergantung pada kebaikan orang lain? Tuhan, kok, berani ambil risiko itu? Demi kita! Kita bisa mulai menyadari bahwa kasih lebih kuat daripada kebencian dan pengampunan lebih kuat daripada balas dendam. 

Ada pesan sangat mendalam dalam peristiwa Natal, yatu bahwa kalau kita mau diberkati Tuhan, kita mesti melepaskan segala sikap sombong, arogan, keras, curiga, iri, dan dendam. 

Tanda kedekatan dengan Tuhan ialah kalau orang gembira karena kebaikan, kalau ada kasih, keramahan, kesediaan untuk memaafkan dan untuk mohon maaf, rasa belas kasih, dan solidaritas dengan mereka yang miskin, sakit, dan menderita. 

Natal berpesan bahwa keagamaan hanya benar kalau memancarkan kebaikan, cinta kasih, belas kasihan, dan pengampunan. Bahwa agama harus muncul dalam bentuk yang tidak menakutkan, tidak mengintimidasi, dengan bersih dari segenap kekerasan. 

Natal mendorong agama-agama untuk, di mana pun, menjadi unsur yang memperdamaikan dan memberi harapan. 

*) Diambil dari MEDIA INDONESIA – RABU, 24 DESEMBER 2014/ NO. 12290/ TAHUN XLV/ halaman 1.

SURAT PERMOHONAN MAAF KEPADA PARA PEMBACA BLOG SANG SABDA

SURAT PERMOHONAN MAAF KEPADA PARA PEMBACA BLOG SANG SABDA

Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus,

Saya mohon maaf kepada anda sekalian, karena dalam beberapa hari terakhir saya tidak dapat datang dengan tulisan baru yang up-to-date menurut kalender liturgi Gereja. Sebabnya adalah karena sakit flu saya yang cukup serius. Semoga saya dapat mulai menulis lagi untuk bacaan HARI MINGGU BIASA VII, tanggal 23 Februari 2014 dan seterusnya. Posting ke dalam blog PAX ET BONUM masih dilakukan karena bahan-bahannya berasal dari bacaan-bacaan di blog SANG SABDA pada tahun-tahun sebelumnya.

Marilah sekarang kita berdoa bersama sang pemazmur: “Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga. Kesetiaan-Mu dari keturunan ke keturunan; Engkau menegakkan bumi, sehingga tetap ada. Menurut hukum-hukum-Mu semuanya itu ada sekarang, sebab segala sesuatu melayani Engkau. Sekiranya Taurat-Mu tidak menjadi kegemaranku, maka aku telah binasa dalam sengsaraku. Untuk selama-lamanya aku tidak melupakan titah-titah-Mu, sebab dengan itu Engkau menghidupkan aku. Aku kepunyaan-Mu, selamatkanlah aku, sebab aku mencari titah-titah-Mu (Mzm 119:89-94)”. Amin.

Terima kasih untuk perhatian dan cinta anda sekalian pada sabda Allah yang terdapat dalam Kitab Suci. Semoga berkat Allah Tritunggal Mahakudus, senantiasa menyertai anda sekalian, Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus. Amin.

Cilandak, 20 Februari 2014

Salam persaudaraan,

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

TERIMA KASIH UNTUK BANTUAN ANDA SEKALIAN!

Cilandak, 13 Januari 2014

Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus,

Hal: Terima kasih untuk bantuan anda sekalian!

Pada hari ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada anda sekalian untuk dukungan anda – teristimewa dukungan doa – selama ini terhadap upaya “evangelisasi” kecil-kecilan yang saya lakukan melalui 3 (tiga) buah situs/blog pewartaan yang saya kelola sejak tahun 2010; dua dalam Bahasa Indonesia dan satu dalam Bahasa Inggris.

Empat tahun lalu, tepatnya pada tanggal 13 Januari 2010, atas anjuran salah seorang anak laki-laki saya, mulailah saya melakukan “posting” (tanpa pengetahuan tentang blogging samasekali) ke dalam situs/blog SANG SABDA https://sangsabda.wordpress.com. Sebelumnya, sejak Juli 2009, saya hanya mengirimkan tulisan-tulisan saya berkaitan dengan Kitab Suci kepada sejumlah orang saja – lewat e-mails. Pada tanggal 19 Januari 2010 “posting” mulai dilakukan ke dalam situs/blog kedua, yaitu PAX ET BONUM http://catatanseorangofs.wordpress.com.

Situs/blog SANG SABDA dimaksudkan untuk mengajak umat Kristiani (teristimewa umat Katolik) untuk lebih mencintai firman/sabda Allah yang terdapat dalam Kitab Suci, kemudian mempraktekkan apa yang diajarkan dalam Kitab Suci itu. Situs/blog PAX ET BONUM terutama digunakan untuk menyimpan tulisan-tulisan saya yang berhubungan dengan Fransiskanisme (sejak 1996) yang selama itu berceceran dan tidak sedikit yang sudah hilang softcopy-nya. Situs/blog PAX ET BONUM ini juga memuat coret-coretan sehubungan dengan Kitab Suci. Tidak ada yang mengherankan memang, karena Kitab Suci adalah salah satu dari lima pilar penunjang spiritualitas Fransiskan. Pilar-pilar lainnya adalah “inkarnasi Tuhan”, “sengsara Yesus”, “Ekaristi” dan “Bunda Maria”.

Saya bersyukur bahwa kedua situs/blog dalam bahasa Indonesia masih cukup sering mendapatkan kritikan/cercaan dari berbagai pihak, karena dengan demikian saya yakin tidak sedikit Saudari-Saudara beriman lain yang juga suka mengunjungi kedua situs/blog tersebut. Tugas saya hanyalah menaburkan benih-benih sabda Allah sesuai dengan apa yang saya imani. Hanya Roh Kudus-lah yang mampu mengubah seseorang.

Juga saya mohon maaf, apabila komentar-komentar, kritik-kritik dan/atau pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan tidak diladeni – termasuk dari saudari-saudara yang Kristiani fundamentalis, karena kedua situs/blog ini bukanlah dimaksudkan untuk pelayanan di bidang “apologetika”.

Puji Tuhan, pertumbuhan 2 (dua) situs/blog yang saya kelola tersebut dinilai baik oleh WORDPRESS, dan semuanya ini tentunya berkat rahmat Allah dan doa-doa Saudari-Saudara sekalian tentunya. Anda dapat membaca komentar/evaluasi mereka di bawah kategori: “BLOG PERFORMANCE REVIEW” yang ada dalam situs/blog masing-masing. Seturut sabda-Nya, saya hanya dapat berkata: “Saya adalah hamba yang tidak berguna; saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan” (lihat Luk 17:10).

Dalam kesempatan ini saya juga berterima kasih kepada dua orang mantan rekan kerja saya di dunia bisnis dahulu, yang telah membantu pelayanan Sabda ini dengan sebuah lap top Lenovo baru ketika lap top lama mulai sakit-sakitan. Semoga Roh Kudus – Allah – senantiasa menyertai mereka dan bisnis mereka.

Sekali lagi, terima kasih banyak untuk bantuan doa anda. Jangan bosan ya, karena tanpa bantuan doa anda sekalian, tak mampulah saya melakukan semua ini. Biarlah nama Allah Tritunggal Mahakudus, Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, senantiasa dipuji dan dimuliakan oleh segenap makhluk, di atas bumi seperti di dalam surga.

Salam persaudaraan,

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

SELAMAT TAHUN BARU 2014

SELAMAT TAHUN BARU 2014

selamat-tahun-baru-2014-_-Happy-New-Year-2014

Cilandak, 1 Januari 2014

Sdr. F. Indrapradja, OFS

PESAN NATAL BERSAMA PGI AND KWI TAHUN 2013

PESAN NATAL BERSAMA PGI DAN KWI TAHUN 2013

“Datanglah, ya Raja Damai” (Bdk. Yes. 9:5)

Saudara-saudari terkasih, segenap umat Kristiani Indonesia,

Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus

Kita kembali merayakan Natal, peringatan kelahiran Yesus Kristus Sang Juruselamat di dunia. Perayaan kedatangan-Nya selalu menghadirkan kehangatan dan pengharapan Natal bagi segenap umat manusia, khususnya bagi umat Kristiani di Indonesia. Dalam peringatan ini kita menghayati kembali peristiwa kelahiran Yesus Kristus yang diwartakan oleh para Malaikat dengan gegap gempita kepada para gembala di padang Efrata, komunitas sederhana dan terpinggirkan pada jamannya (bdk. Luk. 2:8-12). Selayaknya, penyampaian kabar gembira itu tetap menggema dalam kehidupan kita sampai saat ini, dalam keadaan apapun dan dalam situasi bagaimanapun.

Tema Natal bersama PGI dan KWI kali ini diilhami suatu ayat dalam Kitab Nabi Yesaya 9:5 “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita; seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang; Penasehat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”.

Kekuatan pesan sang nabi tentang kedatangan Mesias dibuktikan dari empat gelar yang dijabarkan dalam nubuat tersebut, yaitu: 1). Mesias disebut “Penasihat Ajaib”, karena Dia sendiri akan menjadi keajaiban adikodrati yang membawakan hikmat sempurna dan karenanya, menyingkapkan rencana keselamatan yang sempurna. 2). Dia digelari “Allah yang Perkasa”, karena dalam Diri-Nya seluruh kepenuhan keallahan akan berdiam secara jasmaniah (bdk. Kol. 2:9, bdk. Yoh. 1:1.14). 3). Disebut “Bapa yang Kekal” karena Mesias datang bukan hanya memperkenalkan Bapa Sorgawi, tetapi Ia sendiri akan bertindak terhadap umat-Nya secara kekal bagaikan seorang Bapa yang penuh dengan belas kasihan, melindungi dan memenuhi kebutuhan anak-anak-Nya (Bdk. Mzm. 103:3). 4). Raja Damai, karena pemerintahan-Nya akan membawa damai dengan bagi umat manusia melalui pembebasan dari dosa dan kematian (bdk. Rm. 5:1; 8:2).

Seiring dengan semangat dan tema Natal tahun ini, kita menyadari bahwa Natal kali ini tetap masih kita rayakan dalam suasana keprihatinan untuk beberapa situasi dan kondisi bangsa kita. Kita bersyukur bahwa Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama. Namun, dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, kita masih merasakan adanya tindakan-tindakan intoleran yang mengancam kerukunan, dengan dihembuskannya isu mayoritas dan minoritas di tengah-tengah masyarakat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan kekuasaan. Tindakan intoleran ini secara sistematis hadir dalam berbagai bentuknya.
Selain itu, di depan mata kita juga tampak perusakan alam melalui cara-cara hidup keseharian yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan seperti kurang peduli terhadap sampah, polusi, dan lingkungan hijau, maupun dalam bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap alam melalui proyek-proyek yang merusak lingkungan.

Hal yang juga masih terus mencemaskan kita adalah kejahatan korupsi yang semakin menggurita. Usaha pemberantasan sudah dilakukan dengan tegas dan tidak pandang bulu, tetapi tindakan korupsi yang meliputi perputaran uang dalam jumlah yang sangat besar masih terus terjadi.

Hal lain yang juga memprihatinkan adalah lemahnya integritas para pemimpin bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa integritas moral para pemimpin bangsa ini kian hari kian merosot. Disiplin, kinerja, komitmen dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat digerus oleh kepentingan politik kekuasaan. Namun demikian, kita bersyukur karena Tuhan masih menghadirkan beberapa figur pemimpin yang patut dijadikan teladan. Kenyataan ini memberi secercah kesegaran di tengah dahaga dan kecewa rakyat atas realitas kepemimpinan yang ada di depan mata. 3. Karena itu, Gema tema Natal 2013 “Datanglah, Ya raja Damai” menjadi sangat relevan. Nubuat Nabi Yesaya sungguh memiliki kekuatan dalam ungkapannya. Seruan ini mengungkapkan sebuah doa permohonan dan sekaligus harapan akan datangnya sang pembawa damai dan penegak keadilan (bdk. “Penasihat Ajaib”).

Doa ini dikumandangkan berangkat dari kesadaran bahwa dalam situasi apapun, pada akhirnya “Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal,” Dialah yang memiliki otoritas atas dunia ciptaan-Nya. Dengan demikian, semangat Natal adalah semangat merefleksikan kembali arti Kristus yang sudah lahir bagi kita, yang telah menyatakan karya keadilan dan perdamaian dunia, dan karenanya pada saat yang sama, umat berkomitmen untuk mewujudkan kembali karya itu, yaitu karya perdamaian di tengah konteks kita. Tema ini sekaligus mengacu pada pengharapan akan kehidupan kekal melalui kedatangan-Nya yang kedua kali sebagai Hakim yang Adil. Semangat tema ini sejalan dengan tekad Gereja-gereja sedunia yang ingin menegakkan keadilan, sebab kedamaian sejati tidak akan menjadi nyata tanpa penegakan keadilan.

Karena itu, dalam pesan Natal bersama kami tahun ini, kami hendak menggarisbawahi semangat Kedatangan Kristus tersebut dengan sekali lagi mendorong Gereja-gereja dan seluruh umat Kristiani di Indonesia untuk tidak jemu-jemu menjadi agen-agen pembawa damai di mana pun berada dan berkarya. Hal itu dapat kita wujudkan antara lain dengan:

a) Terus mendukung upaya-upaya penegakkan keadilan, baik di lingkungan kita maupun dalam lingkup yang lebih luas. Hendaklah kita menjadi pribadi-pribadi yang adil dan bertanggung jawab, baik dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, gereja, masyarakat dan di mana pun Allah mempercayakan diri kita berkarya. Penegakkan keadilan, niscaya diikuti oleh sikap hidup yang berintegritas, disiplin, jujur dan cinta damai.
b) Terus memberi perhatian serius terhadap upaya-upaya pemeliharaan, pelestarian dan pemulihan lingkungan. Mulailah dari sikap diri yang peduli terhadap kebersihan dan keindahan alam di sekitar kita, penghematan pemakaian sumber daya yang tidak terbarukan, serta bersikap kritis terhadap berbagai bentuk kegiatan yang bertolak belakang dengan semangat pelestarian lingkungan. Dengan demikian kita juga berperan dalam memberikan keadilan dan perdamaian terhadap lingkungan serta generasi penerus kita.
c) Semangat cinta damai dan hidup rukun menjadi dasar yang kokoh dan modal yang sangat penting untuk menghadapi agenda besar bangsa kita, yaitu Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden-Wakil Presiden tahun 2014 yang akan datang.

Saudara-saudara terkasih,

Marilah kita menyambut kedatangan-Nya sambil terus mendaraskan doa Santo Fransiskus dari Asisi:
Tuhan, Jadikanlah aku pembawa damai, Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan,
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang,
Tuhan semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur,
Memahami dari pada dipahami, mencintai dari pada dicintai,
Sebab dengan memberi aku menerima
Dengan mengampuni aku diampuni
Dengan mati suci aku bangkit lagi, untuk hidup selama-lamanya.
Amin

SELAMAT NATAL 2013 DAN TAHUN BARU 2014

Jakarta, 18 November 2013

Atas nama
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
Pdt. Dr. A. A. Yewangoe (Ketua Umum)
Pdt. Gomar Gultom, M.Th. (Sekretaris Umum)
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
Mgr Ignatius Suharyo (Ketua Umum)
Mgr J. M. Pujasumarta (Sekretaris Jenderal)

Sumber: KOMPASIANA

NATAL DAN MIMPI PERDAMAIAN

NATAL DAN MIMPI PERDAMAIAN

Oleh: I. Suharyo

Mgr_Ignatius_Suharyo_01Kita mimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda damai dan persaudaraan.”

Kalimat ini merupakan bagian dari lirik lagu “The Prayer” yang sejak diperdengarkan untuk pertama kali sampai sekarang tetap sangat popular. Kata-kata kunci yang terdapat di dalam lagu itu, seperti keadilan, harapan, damai, persaudaraan, dan bebas dari kekerasan, merupakan kata-kata yang sangat dekat dengan kerinduan hati terdalam setiap pribadi manusia. Selain karena melodinya indah, lagu itu amat popular karena kata-katanya mampu menyentuh rasa perasaan manusia yang paling dalam.

Dalam Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia bersama dengan Konferensi Waligereja Indonesia. Tahun 2013, semua umat Kristiani diajak berdoa mohon damai, khususnya bagi Tanah Air tercinta Indonesia, dan damai untuk seluruh umat manusia.

Dalam sejarah sampai sekarang, umat manusia tidak pernah bebas dari berbagai macam konflik, kekerasan, perang, dan berbagai kejahatan yang merusak wajah Allah Sang Kasih, merendahkan martabat manusia dan merusak lingkungan hidup. Semuanya itu menghalangi terwujudnya damai yang sejati. Damai sejati adalah keadaan ketika relasi manusia dengan Allah, relasi manusia dengan manusia, dan relasi manusia dengan alam serasi, harmonis, tidak tercederai apa pun.

Tiga masalah
Damai adalah realitas kompleks yang menyangkut semua segi dari relasi-relasi itu. Dengan latar blekang inilah, PGI dan KWI menyebut tiga masalah yang dianggap menyebabkan damai masih jauh dari yang dicita-citakan di negeri kita: intoleransi, korupsi, dan perusakan alam. Berita mengenai intoleransi amat seering dikabarkan di sejumlah media massa. Beberpa komunitas pegiat HAM tak kenal lelah mendesak pemerintah menuntaskan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Lembaga Bantuan Hukum Bandung mencatat, sejak Januari sampai 10 Desember 2013, di Jawa Barat saja terjadi 72 kasus pelanggaran HAM terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. Yang tampil ke permukaan sebagai masalah agama, bisa saja menyembunyikan masalah lain, seperti ketidakadilan sosial atau politik kekuasaan. Namun, akhirnya yang amat menentukan adalah keyakinan mengenai agama itu sendiri. Ada bahaya bahwa agama tidak dilihat dan diyakini sebagai kumpulan ajaran, kepercayaan, norma, dan nilai, tetapi sekadar sebagai pengelompokan sosial.

Kalau demikian, agama hanya menjadi kelompok yang terbentuk oleh keanggotaan, tidak sampai menjadi komunitas yang disatukan nilai yang diyakini dan dianut bersama. Dengan paham seperti itu, dengan mudah, dengan mudah, orang tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah agama. Agama dibela, bahkan dengan kekerasan, kalau perlu dengan mengorbankan manusia yang dianggap berbeda kelompoknya.

Dalam keadaan seperti ini, kebebasan beragama dan berkayakinan berada dalam bahaya dan damai sejahtera yang kita rindukan akan sulit dirasakan. Dalam konteks ini, kebebasan beragama dan berkayakinan harus diyakini sebagai jalan menuju damai yang sejati (Benediktus XVI, Hari Perdamaoian Sedunia, 1 Januari 2011).

Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Dalam rangka menyambut peringatan itu, Ketua KPK Abraham Samad menuliskan di Papan Harapan Menuju Indonesia Tanpa Korupsi, “Jauhkan hidup dari keserakahan dan ketamakan karena keserakahan adalah cikal bakal dari perilaku korupsi” (Kompas, 11/12/2013, hlm 3). Keserakahan memang cikal bakal korupsi, tetapi lebih daripada itu adalah berhala (Ef 5:5) yang semakin banyak penyembahnya.

Warga masyarakat biasa sering bertanya, bagaimana mungkin ketika KPK begitu gencar mengejar koruptor, tetap saja korupsi terjadi di mana-mana dan terkesan meluas? Amat sedih membaca catatan Kementerian Dalam Negeri yang mengatakan bahwa sejak tahun 2005 sampai 2013, terdapat 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi.

Adapun anggota DPRD yang terjerat hukum sudah mencapai 3.000 orang (Suara Pembaharuan, 9/12/2013, hlm 1). Menurut Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia ada di urutan ke 114 dari 177 negara dengan angka 32.

Munculnya istilah peyoratif trias koruptika atau regenerasi korupsi mencerminkan betapa seriusnya masalah korupsi di negeri kita ini. Kejahatan korupsi adalah realitas yang amat kompleks yang asal-usulnya dari berbagai macam elemen, dari agama, pendidikan, sistem, pribadi, dan hukum.

Dengan demikian, kejahatan korupsi harus dikeroyok dari berbagai macam jurusan dan oleh berbagai macam lapisan. Memperingati Hari Antikorupsi dapat menjadi gerakan bersama yang akan berbuah pada waktunya.

Kehancuran lingkungan
Luasnya masalah kerusakan dan perusakan lingkungan hidup dapat dirasakan kalau disadari bahwa lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup, termasuk manusia, berupa benda, daya, dan keadaan yang mempengaruhi kelangsungan makhluk hidup, baik langsung maupun tidak langsung (UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Kerusakan lingkungan hidup yang saat ini terjadi antara lain disebabkan aktivitas pengambilan sumber daya alam yang tidak terkendali di sejumlah bidang, seperti pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Pencemaran tanah, pencemaran udara, serta pencemaran air dan sampah membuat lingkungan hidup semakin tidak bersahabat, bahkan mengancam hidup manusia (Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2013, hlm 8-22).

Sekadar contoh, kadar timbal di udara Jakarta mencapai 29 mg/m3, sedangkan standar WHO 0,5 mg/m3. Kerusakan lingkungan hidup ini juga dengan mudah menjadi penghambat besar bagi damai sejati. Kalau kita ingin mengalami damai, kita dituntut menjaga`kelestarian alam ciptaan dan bertumbuh dalam solidaritas antargenerasi (Benediktus XVI, Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 2010).

Munculnya komunitas-komunitas kreatif dapat sangat membantu menyebarluaskan dan memperdalam keadaran akan tanggung jawab melestarikan keutuhan ciptaan (Kompas, 17/12/2013). Dengan demikian, merayakan Natal berarti ikut mengambil tanggung jawab untuk mendatangkan damai, dengan menyingkirkan hambatan-hambatannya. Damai yang seperti itu adalah tugas yang tidak akan pernah selesai dikerjakan. Selamat Natal 2013 dan selamat menyongsong Tahun Baru 2014.

I. Suharyo
Konferensi Waligereja Indonesia

Sumber: KOMPAS, SELASA, 24 DESEMBER 2013